Sabtu, 30 Juni 2012

RESEP “BPR” UNTUK BPR

Resep “BPR” untuk BPR



Oleh : Kardi JFI*
            Berdasarkan data historis, eksistensi BPR (Bank Perkreditan Rakyat) atau rural bank,  sudah lama menjalankan kegiatan usahannya di sini. Dibandingkan dengan industri finansial lainnya, seperti, bank umum, asuransi, perusahaan pembiayaan, pegadaian, reksa dana, maka dapat dikatakan BPR telah memiliki usia yang relatif tua dan lama.  Tetapi dari sisi perkembangannya,  BPR masih termasuk inperior dibandingkan dengan usaha lembaga finansial lainnya.
            Memang tak dapat dipungkiri denyut pertumbuhan dan perkembangan BPR  terasa dan kentara dalam enam tahun terakhir. Hingga April 2012,  jumlah BPR 1.667 dengan  volume usaha BPR secara nasional sudah mencapai angka Rp 58  Triliun atau sekitar  1%  dari total volume usaha industri finansial secara nasional.
            Bila dibandingkan dengan perkembangan industri finansial lainnya, maka perkembangan yang dialami dan dijalani BPR masih relatif kecil, dan cenderung berada pada tataran deret hitung, sementara industri finansial lainnya cenderung bertumbuh pada deret ukur.  Padahal, diperkiran potensi pasar BPR atau kredit untuk Usaha Mikro, Kecil dan  Menengah (UMKM) masih relatif besar.
            Berangkat dari hal-hal yang disebutkan diatas, maka dapat dikatakan masih perlu dilakukan perubahan-perubahan besar di lingkungan bisnis BPR untuk dapat merealisasikan pertumbuhan dan perkembangan yang luar biasa atau berada pada tataran deret ukur.
            Salah satu upaya yang relevan dilakukan untuk itu adalah melalui strategi Business Process Reengineering (selanjutnya disingkat : “BPR”). Pengertian “BPR” menurut Michael Hammer dan James Champy (1993), is the fundamental rethinking and radical redesign of business system to achieve dramatic improvements in critical, contemporary measures of performance, such as cost, quality,  service and speed.  Dari pengertian tersebut dapat dikatakan, “BPR” meliputi perubahan orientasi bisnis, reformasi aturan, dan kreasi dalam penggunaan teknologi, yang kesemuannya mendorong pergeseran atau perubahan secara mendasar, radikal, berproses, dan dramatis.   Dengan demikian ada empat kata kunci karakteristik perubahan dalam dalam pelaksanaan “BPR”, termasuk tentunya untuk BPR, yaitu : 1) fundamental; 2) radikal; 3) proses; 4) dramatis. Dengan perubahan yang dimaksudkan misalnya, maka akan didapatkan perbaikan proses yang signifikan;  pengurangan biaya secara drastis;  dan dapat meningkatkan kecepatan, mutu, produk dan jasa.
 Karena perubahan yang terjadi adalah besar dan signifikan  maka sebelum melakukan “BPR” untuk BPR, perlu dilakukan persiapan-persiapan yang baik dan matang terlebih dahulu. Tak dapat  disangkal, fakta emperik menyatakan disamping telah banyak perusahaan yang telah berhasil menjalani “BPR”, yang mengakibatkan mereka mendapatkan kinerja yang berkelipatan pada deret ukur, ada juga tentunya perusahaan yang mengalami kegagalan ketika melakukanya.
Menurut James Champy ( Reegineering Management, The Mandate for New Leadership, 1995 ), ada beberapa isu dalam pelaksanaan “BPR”. Pertama, isu tentang tujuan. Pengurus perusahaan/BPR harus dapat menetapkan tujuan bisnis yang konsisten dengan proses, produk, tugas-tugas, kelompok kerja.
Kedua, isu tentang budaya. Budaya perusahaan harus berubah total ke arah lingkungan budaya yang saling percaya pada keberhasilan menyeluruh.
Ketiga, isu proses dan kinerja. Pelaksanaan “BPR” memerlukan perubahan tujuan yang radikal, melalui kepemimpinan bisnis, dan kemampuan politis untuk mencapainnya.
Keempat, isu tentang masyarakat. Masyarakat diupayakan harus menerima “BPR” secara bulat dalam kebersamaan.
Mengingat perubahan yang dijalankan bersifat fundamental dan radikal, maka lazimnya keputusan untuk melakukan ”BPR” bersifat top down, seperti pemegang saham (Rapat Umum Pemegang Saham),  Dewan Komisaris, Dewan Direksi. Walapun begitu, bila sebuah BPR menjalankan “BPR” maka supaya berhasil maka sebaiknya juga diikuti dengan upaya perbaikan secara berkesinambungan (continiuous improvement), dengan menerapkan Total Quality Management (TQM). Bagian yang terakhir ini biasanya lebih mudah dilakukan oleh BPR, karena TQM bersifat botton up. TQM merupakan cara meningkatkan kinerja secara terus menerus pada setiap level operasi atau proses, dalam setiap area fungsional dari suatu organisasi, dengan menggunakan semua sumber daya manusia dan modal yang tersedia.  Dalam rangka menerapkan TQM sudah ada beberapa konsep yang dapat diterapkan untuk mendukungnya,  seperti konsep Kaizen, Six Sigma, MBNQA (The Malcolm Baldrige National Quality Award), dan lain-lain.
Bagaimana resep menjalankan “BPR” pada BPR ? Tentu bisa mengacu kepada konsep menjalankan langkah-langkah “BPR” sebagai sebuah alternatif, sebagaimana yang  dikedepankan Andrews dan Susan K. Stalick ( Business Reengineering : The Survival Guide, 1994). Langkah yang dimaksudkan terdiri dari : 1) membuat kerangka “BPR”; 2) menciptakan visi, nilai dan tujuan; 3) membuat desain baru mengenai operasi bisnis; 4) pembuktian konsep; 5) merencanakan implementasi; 6) memperoleh persetujuan implementasi; 7) implementasi perubahan ; 8) transisi ke tahap continius improvement.

Faktor Pendukung
            Jika “BPR” dengan baik dijalankan pada industri BPR, maka dapat digunakan sebagai salah satu resep untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan usaha BPR pada tataran deret ukur, diantara industri finansial lainnya. Sehingga, masyarakat akan semakin banyak menikmati kehadiran BPR, dan kegiatan usaha BPR pun akan high return bagi para stage holder-nya.
            Tak dapat dipungkiri  peraturan perundang-undangan  dikeluarkan  instansi atau lembaga terkait, sudah ada beberapa yang mendukung pelaksanaan ”BPR” untuk BPR, seperti persamaan skim penjaminan simpanan untuk BPR dan Bank Umum;  diperbolehkannya BPR menjalankan produk-produk bank yang terkait dengan fee base income, seperti ATM (Anjungan Tunai Mandiri), payment point; penerapan perkembangan teknologi informasi pada penyampaian laporan bulanan BPR ke Bank Indonesia, Sistem Informasi Debitur; permodalan BPR; kian luasnya wilayah operasional BPR (sebelumnya dipusatkan di daerah kecamatan), dan lain-lain.
            Dalam pada itu, supaya implementasi pengembangan BPR lebih kondusif pada masa yang akan datang, termasuk tentunya dalam menerapkan “BPR”, maka masih dibutuhkan  faktor-faktor pendukung lainnya, khususnya dari sisi pengaturan. Hal-hal yang terkait dengan faktor pendukung yang dimaksudkan akan dikedepankan pada uraian berikut.
Pertama,  dimungkinkannya BPR melakukan penyertaan. Salah satu faktor yang masih diperlukan dalam pelaksanaan Apex Bank adalah perihal diperbolehkannya BPR untuk melakukan penyertaan. Dalam pada itu, faktor ini juga penting bagi BPR untuk melakukan restrukturisasi kredit, seperti menerapkan convert loan to equity di kemudian hari.  
Kedua,  perlunya  ketentuan perluasan wilayah geografis jaringan kantor BPR, misalnya lintas antar propinsi, khususnya propinsi yang masih dalam satu kawasan (Seperti di kawasan Jabodetabek saat ini). Ada beberapa alasan dikatakan demikian, misalnya 1) dengan dapat diterapkan ATM bagi BPR, seperti lewat sarana ATM bersama, tentu memerlukan segmentasi geografis yang kian luas; 2) dengan mulai diterapkannya beberapa perkembangan teknologi informasi pada pengawasan BPR, seperti pada penyampaian laporan bulanan BPR, penerapan Sistem Informasi Debitur pada BPR, akan mendukung efektifitas berjalannya pengawasan  BPR, walapun satu BPR memiliki jaringan kantor yang semakin luas. Dengan adanya pengaturan seperti ini, maka BPR yang telah memiliki keunggulan produk BPR, akan leluasa mengembangkan usahannya ke wilayah lain.
Ketiga, dimungkinkannya BPR memiliki objek hak tanggungan untuk periode tertentu, khususnya dalam rangka penyelamatan kredit.   
Keempat, adanya pengaturan insentif untuk restruksisasi usaha BPR, seperti kemudahan melakukan merger/konsolidasi maupun akuisisi, insentif perpajakan, kelonggaran dalam penerapan ketentuan BMPK atau legal lending limit untuk transisi pelaksanaan restrukturisasi usaha BPR yang dilakukan pihak terkait. Dalam pada itu, untuk melakukan restrukturisasi usaha BPR, maka sudah sebaiknya dikedepankan sistem pelayanan perizinan yang transparan dan sistematis.
( *Penulis adalah Training Leader di JFI )

Senin, 25 Juni 2012

BPR : Time is Life dan Life is Short, Kembangkan/Modifikasi Produk dan Lakukan Penjualan secara All Out



BPR : Time is Life dan Life is Short, Kembangkan/Modifikasi Produk  dan
                                          Lakukan Penjualan secara All Out          
Oleh : Kardi Jfi*
            Dari dulu  telah kerap didengar ungkapan yang menyatakan Time is money. Sesungguhnya tidak sepenuhnya pengertian itu benar. Contohnya, kalau hari ini kita memiliki target mendapatkan uang Rp 300 ribu, jika kita tidak mendapatkannya hari ini, dengan upaya ekstra, maka kemungkinan besok atau lusa uang tersebut masih mungkin didapat.  Tetapi, jika waktu saat ini, atau hari ini tidak  digunakan dengan baik, maka jangan harapkan besok atau lusa itu dapat digunakan. Untuk mempertegas pemahaman tersebut, disini dikedepankan sebuah pepatah Cina yang menyatakan :”We can never step into the same river twice” (Kita tidak pernah melewati sungai yang sama dua kali). Begitulah sesungguhnya waktu, yang sudah berlalu, tidak dapat lagi dijangkau, karena waktu tak pernah menunggu. Memang  makna waktu secara penuh itu adalah hidup. Ya, Time is Life.
Masalahnya hidup itu relatif singkat ( Life is short ). Dari berbagai pendapat yang telah mengemuka, maka rata-rata hidup seseorang di sini adalah 65 tahun. Angka 65 tahun seolah-olah menyatakan hidup adalah panjang, padahal tidak. Kalau saat ini   seseorang berusia 35 tahun, maka sisa hidupnya tinggal 30 tahun misalnya. Kalau dihitung penggunaan waktu yang benar-benar digunakan untuk berkarya adalah sekitar 15 tahun. Pengurangnya waktu tidur yaitu 1/3-nya, sisanya mungkin bersahabat dengan kemacetan jalan raya, arisan, kondangan, nongrong, dan lain-lain.
Mengingat hal tersebut, maka sudah sepantasnya waktu yang ada digunakan untuk hal-hal yang positif, produktif dan konstruktif, untuk menciptakan dan merangkai rantai nilai. Kalaupun sampai datang godaan emosi negatif, yang bernegasi dengan  produktivitas seseorang, seperti marah, takut, benci, depresi, sombong, maka sudah sebaiknya, pencetus emosi tersebut diidentifikasi, ditata, dan dimotivasi supaya jadi positif. Dalam pada itu, mengingat waktu yang ada, maka  berupaya lah jatuh cinta setiap hari terhadap apa yang telah dimiliki, seperti pekerjaan, istri/suami, anak dan juga meningkatkan cinta kepada sesama dan lingkungan hidup. Karena cinta dapat memacu tenaga yang luar biasa untuk berkarya dan untuk memberi.
Bagaimana dengan pengembangan BPR (Bank Perkreditan Rakyat), di selah-selah waktu yang ada, yang masih termasuk institusi keuangan terkecil volume usahannya diantara industri finansial. Supaya tampil melakukan perubahan-perubahan besar dengan kinerja yang prima, maka setiap pelaku-pelaku BPR yang ada haruslah secara inovatif dan kreatif melakukan berbagai hal yang harus dilakukan.
Dalam konteks pengembangan atau modifikasi produk, baik produk di sisi landing, funding atau fee base income,  karena pengaruh regulasi atau kebijakan baru, seperti perubahan BI Rate, LPS Rate, pengaruh krisis finansial dari eksternal atau variabel lainya seperti inflasi, atau karena produk sudah mengalami decline, kalau memang harus dilakukan, lakukanlah segera.
Pengembangan atau modifikasi produk BPR tidak selalu harus didasarkan pada hasil penelitian yang lama dan mahal, masih banyak hal di depan mata yang masih dapat dimodifikasi, baik di sisi internal maupun eksternal. Dalam lingkup internal aspek yang bisa dilakukan inovasi dalam rangka modifikasi produk, seperti proses, kesuksesan penjualan, kegagalan yang pernah dialami. Aspek proses misalnya, kalau pencairan kredit misalnya selama ini masih relatif lama dan mahal, dapat dibuat proses lebih cepat,  dengan harga yang lebih terjangkau, untuk memuaskan nasabah dengan tetap memitigasi resiko-resiko yang ada secara baik.
Dari sisi eksternal yang dapat diinovasi dalam rangka modifikasi produk, seperti pada aspek geografis, demografis maupun dari sisi psikografis. Teliti dengan baik, aspek mana saja yang dapat diakomodir  untuk keperluan modifikasi produk.
Supaya inovasi untuk modifikasi produk BPR lebih cenderung berhasil dan berkelanjutan, maka sebaiknya dilakukan kerjasama yang kohesif antar bagian. Pekerjaan tersebut, tidak merupakan porsi bagian pemasaran semata, tetapi juga adalah buah kerjasama dengan bagian operasional. Untuk menentukan pricing produk hasil modifikasi misalnya, perlu laporan keuangan BPR  yang akurat dari bagian operasional, seperti maturity profile dana pihak ketiga, LDR, CAR, Cash Ratio,  ROA, dan lain-lain.
Dalam pada itu, karena modifikasi produk BPR adalah untuk para nasabah, maka ada baiknya dari awal kegiatan modifikasi, diakomodir hal-hal yang menjadi kebutuhan dan keinginan mereka.
Hal yang perlu juga diperhatikan untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan inovasi untuk modifikasi produk adalah kegiatan promosi. Harus direncanakan secara baik pelaksanaan promosi produk, baik yang dilakukan melalui above the line atau promosi lewat lini atas, seperti TV, Radio, Koran/Tabloid, Majalah, maupun melalui below the line (seperti sponshorship, pameran). Promosi yang dilakukan akan mendukung meningkatnya brand equity maupun brand image dari produk. Sehingga pada suatu saat, akan ada nantinya produk-produk BPR yang termasuk memiliki top brand.
Akhirnya, setelah modifikasi produk BPR  siap diluncurkan maka mengingat Time is life dan Life is short, lakukanlah penjualan secara all out. Penjualan secara all out di sini mengintegrasikan antara unsur fisik, mental, moral, emosional oleh seluruh tim SDM BPR. Pertama, fisik. Seorang atlet, seperti atlet Bulu Tangkis, bisa menjadi pemenang, karena mempersiapkan aspek fisiknya secara baik sebelum bertanding melalui latihan dan asupan gizi yang baik. Begitu pula dengan aspek fisik para pemasar di BPR, haruslah secara baik dipersiapkan untuk melakukan penjualan. Kalau pemasar atau marketer sering sakit atau penampilannya kurang pas dengan para nasabah, sangat riskan melakukan penjualan produk secara maksimal.
Kedua, aspek mental/intelektual. Aspek mental merupakan kekuatan dalam melakukan penjualan yang bersumber dari intelektual atau pengetahuan tim pemasar atau Account Officer  BPR. Oleh karena itu, supaya penjualan produk dapat dilakukan secara maksimal dan berkesinambungan maka BPR atau pemasar harus proaktif meng-up grade atau meningkatkan aspek intelektual atau pengetahuannya, khususnya menyangkut bidang-bdang yang terkait dengan penjualannya, seperti pengetahuan produk, komunikasi, presentasi, baik secara personal maupun institusional, seperti rajin membaca, sering bertanya kepada yang lain, atau mengikuti pelatihan.
Ketiga, aspek moral. Kekuatan ini mencakup sikap dan nilai-nilai spritual yang dimiliki BPR atau tim pemasar. Kekuatan dalam penjualan dari aspek ini memadukan unsur kultur, motivasi, integritas dan penerapan kecerdasan spiritual.  Para Pemasar yang akan melakukan penjualan secara all out, tidak hanya cukup didorong dengan  motivasi yang tinggi, tetapi harus juga diiringi dengan   integritas dan implementasi nilai-nilai spritual yang dimiliki.
Keempat, aspek emosional. Kecerdasan emosional merupakan unsur yang dominan  dalam keberhasilan melaksakan penjualan. Robin, pernah berkata :”Emotion create Motion”. Jadi, Emosi sangat menentukan jenis tindakan yang akan dilakukan. Emosi Positif melahirkan aksi yang positif, begitu juga sebaliknya. Untuk itu, para pemasar senantiasa harus mengembangkan kompetensinya dalam mengenali, menata, dan memotivasi emosi diri sendiri maupun emosi orang lain, seperti tim kerja maupun nasabah. Karena Life is short, maka tak ada waktu lagi hidup berlama-lama dengan emosi negatif, kalau pun emosi negatif pun datang menghampiri, harus segera ditata supaya digantikan dengan pikiran dan emosi positif. Karena dari pikiran dan emosi yang positiflah dapat dilakukan penjualan secara all out.
Penjualan yang dilakukan secara all out, tidak hanya penting untuk meningkatkan kinerja BPR, tetapi juga penting untuk menyesuaikan pricing produk BPR dengan perubahan lingkungan bisnis, seperti perubahan BI Rate, ataupun LPS Rate. Kecenderungan perubahan suku bunga BI Rate ataupun LPS Rate, menghendaki adanya penurunan suku bunga produk kredit. Variabel dalam pricing produk kredit atau Base Landing Rate itu adalah Cost of Fund, Overhead Cost, Cost of Money, Credit Risk, Margin.  Misalnya formula Overhead Cost itu adalah Total Biaya Operasional dikurangi dengan Biaya Bunga selama 12 bulan dibagi Rata-rata Aktiva Produktif selama 12 bulan terakhir, baru hasilnya dikali 100%. Dengan demikian, jika penjualan produk, khususnya hasil modifikasi, dilakukan secara all out, maka akan cenderung meningkatkan kapasitas realisasi penjualan para pemasar atau AO. Berarti biaya, khususnya variabel cost akan cenderung menurun. Bila itu terjadi, disamping berpeluang meningkatkan ekspansi berarti dapat meningkatkan margin keuntungan sekaligus berpeluang menurunkan harga suku bunga, baik pada sisi funding maupun landing.
( *Penulis adalah Training Leader di JFI )

BPR : Implikasi Penerapan Kebijakan Perkreditan


BPR : Implikasi Penerapan Kebijakan Perkreditan







Oleh : Kardi Jfi*

            Dari waktu ke waktu pertumbuhan dan perkembangan BPR masih cenderung bertumbuh diantara industri finansial lainnya. Sampai Maret 2012  total asset BPR nasional sudah berada pada posisi Rp 57 Triliun, dengan kredit yang disalurkan sebesar Rp 44 Triliun. Data tersebut menunjukkan, bahwa volume usaha BPR sudah kian terasa pada industri finansial nasional, serta semakin menunjukkan peranannya dalam kegiatan pembangunan.
            Dari perkembangan volume usaha BPR dan angka penyaluran kredit tersebut, maka penting juga menata lingkungan usaha BPR , supaya setiap resiko yang mungkin terjadi, seperti pengaruh resiko kredit dapat diantisipasi secara baik. Penataan yang dimaksudkan, disamping dapat meningkatkan kinerja, daya saing BPR, juga diharapkan dapat meningkatkan going concern atau kesinambungan usaha BPR.
            Salah satu bagian penting yang perlu diterapkan pada industri BPR , sebagai bagian dikeluarkannya PBI No.13/26/PBI/2011, adalah tentang Kebijakan Perkreditan BPR. Pada pasal 2A ayat 1 PBI tersebut dikatakan :”Dalam rangka penyediaan dana dalam bentuk kredit, BPR wajib memiliki Pedoman Kebijakan secara Tertulis”.  Landasan hukum lainnya tentang keberadaan kebijakan perkreditan bagi BPR diatur pada pasal 15 jo pasal 8 ayat 2 UU No.10/1998. Disana dikatakan :”BPR wajib memiliki dan menerapkan Pedoman Perkreditan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia”.
            Adapun latar belakang perlunya kebijakan perkreditan adalah 1) bahwa kepentingan dan kepercayaan masyarakat wajib dilindungi dan dipelihara, karena BPR melakukan kegiatan usaha dengan menggunakan dana masyarakat; 2) pemberian kredit merupakan kegiatan utama BPR; 3) supaya pemberian kredit dilaksanakan berdasarkan azas-azas perkreditan yang sehat.
            Sedangkan sasaran Kebijakan Perkreditan BPR paling tidak diarahkan pada dua hal utama. Pertama, mengoptimalkan pendapatan dan mengendalikan resiko BPR dengan cara menerapkan asas-asas perkreditan yang sehat. Kedua, BPR terhindar dari kemungkinan penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
            Ruang lingkup atau komponen kebijakan perkreditan terdiri dari 6 bagian, yaitu 1) Penerapan prinsip kehatia-hatian dalam perkreditan; 2) organisasi dan manajemen perkreditan; 3) Kebijaksanaan persetujuan kredit, 4) Dokumentasi dan Administrasi kredit; 5) Pengawasan Kredit; 6) Penyelesaian Kredit Bermasalah.
            Penerapakan kebijakan perkreditan tentu dapat menimbulkan beberapa implikasi penting bagi BPR, sebagian diantaranya dikedepankan pada uraian berikut. Pertama, penyempurnaan sistem dan prosedur kredit. Standar atau pedomanan yang sama bagi BPR akan terbentuk dengan diaturnya kebijakan perkreditan. Pengaturan tersebut dipastikan memiliki implikasi pada penyempurnaan sistem dan prosedur kredit.
            Kedua, SDM perkreditan.  Supaya kebijakan perkreditan efektif dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan industri BPR, maka sudah sebaiknya secara berkesinambungan dilakukan pengembangan SDM perkreditan, yang karenanya dapat meningkatkan profesionalisme dan integritas SDM BPR. Adapun profil SDM perkreditan yang terbentuk  dari pengembangan itu adalah karakteris SDM yang jujur, memiliki motivasi yang tinggi, obyektif, kompeten,  cermat, baik yang berada di jajaran pemasaran maupun operasional BPR.
            Ketiga, struktur organisasi. Struktur organisasi BPR merupakan bagian penting dari bentuk organisasi BPR mencapai tujuan di bidang perkreditan. Oleh karenanya, perlu diakomodasikan perubahan yang perlu dilakukan pada struktur yang ada kaitannya pada penerapan kebijakan perkreditan, baik  yang berkaitan dengan sisi Dewan Komisaris, Dewan Direksi, maupun pada sisi pejabat-pejabat perkreditan BPR, yang disinkronisasikan dengan kultur organisasi BPR, seperti pada integrasi pelayanan dan aspek lainnya.   


(*Penulis adalah Training Leader pada JFI )