Minggu, 27 Oktober 2013

Sumber Motivasi SDM BPR dari Sumpah Pemuda

Seri Motivasi :

SUMBER  MOTIVASI SDM BPR  
DARI  SUMPAH PEMUDA


Oleh : Kardi Pakpahan*

Tepatnya 28 Oktober 1928, para pemuda yang antara lain yang diprakarsai Budi Utomo, mengikrarkan Sumpah Pemuda, dengan kandungan utama : 1) bertanah air satu; 2) berbangsa satu; 3) berbahasa satu, yaitu Indonesia. Sumpah Pemuda, tak dapat dipungkiri merupakan bagian penting dalam pembentukan Negara Indonesia, yang dilandasi dengan semangat persatuan dan kesatuan nasional. Mungkin saja, kalau tidak ada Sumpah Pemuda, proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sulit terealisasi.
Apa makna Sumpah Pemuda masa kini ? Sebetulnya banyak sumber motivasi yang terkandung di sana, yang kalau dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan dapat mendukung pencapaian kualitas sukses dalam berbagai bidang. Diantaranya, pada kesempatan ini dikedepankan 4 sumber motivasi dari Sumpah Pemuda.
 Pertama, membuat bermakna. Sebagian besar masyarakat di sini pasti mengetahui bahwa 28 Oktober itu ada hari Sumpah Pemuda. Kenapa ? Karena Sumpah Pemuda merupakan simpul penting dalam sejarah perjuangan Indonesia. Dengan demikian, Sumpah Pemuda memiliki makna yang penting. Semakin bermakna, semakin mudah diingat. Rencana, target, action plan, berbagai ketentuan di BPR misalnya, akan mudah diingat manakala SDM telah membuat dan menyakini bahwa BPR adalah bermakna. Kenapa sesuatu bisa bermakna ? Karena BPR bisa menjadi mitra atau bagian untuk meraih sukses, bukan ? Jadi, kalau NPL jatuh atau ROA turun, manakala kinerja menurun, maka perlu  memaknai kembali BPR. Sesuatu yang bermakna pada dasarnnya dapat menginspirasi atau memotivasi supaya lebih baik.
Kedua, tidak mudah putus asa. Lingkungan perjuangan Pemuda pada 28 Oktober 1928 adalah sangat berat. Mereka dapat mengikrarkan Sumpah Pemuda ditengah-tengah tantangan yang sangat berat dari Kolonial Belanda dan mereka tidak takut salah. Kondisi ini juga dihadapi BPR sekarang kan ?  Jadi, jangan pernah mudah putus asa dan jangan takut salah di tengah-tengah tantangan membangunan karya di BPR. Try…Try….Try…Don’t Cry. Tetap miliki antusiasme yang tinggi dan tekad yang membaja.
Ketiga, emosi positif. Emosi positif dari para pemuda pada 28 Oktober 1928 telah mampu membangun roh kebanggaan dan keberanian untuk mengikrarkan sumpah pemuda. Emosi positif mereka itu antara lain adalah bangga menjadi Pemuda Indonesia, tidak takut, tidak kuatir, tidak  lekas marah-marah, tidak sombong, tidak mudah depresi, mampu mengatasi kebosanan, tidak rendah diri tetapi mereka rendah hati. Menurut Anthony Robins, emotion creates motion. Jadi, emosi positif pada akhirnya menghasilkan hal yang positif. Jadi, perlu setiap hari memprogram atau menata emosi supaya positif. Dengan mengelola emosi yang positif, tidak terfokus pada sikap "merasa bisa" lagi tetapi juga memiliki sikap "bisa merasa", anatara lain bisa merasa masih banyak yang perlu disempurnakan untuk kemajuan.
Keempat, bekerjasama. Semangat kerjasama sangat dibutuhkan untuk mengukir prestasi di BPR. Pemuda Indonesia, walapun terdiri dari berbagai suku, golongan, bahasa, daerah, agama, sampai mengikrarkan Sumpah Pemuda melalui kerjasama, dan menghindari bekerja atau berjuang sendiri. Sumber motivasi tersebut dapat dijadikan setiap insan BPR, dalam menguwujudkan berbagai perubahan ke tempat yang lebih baik. Untuk mengefektifkan kerjasama pada organisasi BPR, setiap insan BPR, harus terbiasa mendengar satu sama lain, terbuka, menyamakan persepsi, komunikasi yang efektif dan untuk kondisi tertentu dibuka peluang komunikasi empat mata. Satu lidih mudah dipatahkan, tetapi seikat lidih sangat susah dipatahkan. Kinerja BPR akan tinggi dengan pilar yang kuat manakala sikap bekerjasama sudah menjadi karakter SDM BPR. Dirgahayu Sumpah Pemuda. Jadikan sumber motivasi Sumpah Pemuda untuk memelihara kinerja BPR. Semoga


 (*Penulis adalah Trainer, Advokat, WA = 0813-2895-0019, IG = kardi_pakpahan)

DOKUMENTASI TRAINING JFI DI HOTEL AMARIS PEKANBARU 15 AGUSTUS 2013


DOKUMENTASI TRAINING JFI :"PENILAIAN AGUNAN KREDIT" DI DI HOTEL AMARIS  PEKANBARU  15 AGUSTUS  2013


Selasa, 15 Oktober 2013

Catatan Training Leader JFI :"Keterkaitan Produk Asuransi dengan BPR"

Keterkaitan Produk Asuransi dengan BPR
Oleh : Kardi JFI*

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) merupakan salah satu bisnis institusi keuangan yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang signifikan, khususnya dalam enam tahun terakhir. Mengingat hal tersebut, maka diperlukan berbagai upaya supaya bisnis BPR dapat bertumbuh dan berkembang secara lebih baik lagi. Salah satu upaya lain yang dapat ditempuh untuk mengwujudkan hal tersebut adalah semakin meningkatkan keterkaitan (linkage) bisnis BPR dengan bisnis lembaga-lembaga keuangan lainnya, seperti asuransi misalnya.  Karena tak dapat dipungkiri keterkaitan bisnis Asuransi dan BPR masih belum maksimal dilakukan selama ini.
            Bila dicermati keterkaitan antara Bank Umum dan Asuransi dapat dikatakan sudah berlangsung dalam waktu yang lama. Sebagian besar penyaluran dana premi dari nasabah asuransi, baik dari asuransi jiwa maupun dari asuransi umum atau kerugian,  ditempatkan pada instrumen Deposito pada Bank Umum. Keterkaitan produk bank umum dengan asuransi selama ini di sini dikenal dengan istilah bancassurance.
            Apa saja keterkaitan bisnis yang dapat dilakukan perusahaan asuransi dengan BPR, khususnya dalam membentuk rantai nilai (value chain) yang saling menguntungkan.  Pertumbuhan kredit yang disalurkan BPR dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami pertumbuhan. Untuk untuk pertumbuhan portofolio kredit yang relative besar  itu, tentu diperlukan juga prospek bisnis asuransi, baik dalam produk asuransi jiwa kredit maupun asuransi jaminan kredit. Sudah sebaiknya potensi yang baik tersebut dapat digarap oleh industri asuransi.
            Produk asuransi, seperti asuransi jiwa kredit maupun asuransi untuk menjamin agunan kredit, memang diperlukan oleh BPR dalam rangka mengelola resiko kredit bagi BPR. Hanya saja selama ini, masih belum begitu tinggi penetrasi promosi produk asuransi kepada BPR.  Mengingat hal tersebut, maka untuk menciptakan keterkaitan usaha yang produktif, sudah sebaiknya perusahaan asuransi dengan baik menangani  implementasi produk asuransi bagi BPR. Disamping itu, seiring dengan perkembangan yang semakin kentara pada BPR, para pekerja BPR tentunya membutuhkan produk asuransi, seperti asuransi jiwa, ansuransi pensiun, asuransi kesehatan, dan lain-lain.


Terganjal KMK        
Dari sisi BPR, apa kira-kira produk yang dapat dipergunakan oleh perusahaan asuransi. Tentu, jawabnya adalah produk yang terkait dengan produk funding, seperti Deposito berjangka.  Hanya saja, hubungan mesra antara perusahaan asuransi dengan BPR saat ini terganjal dengan salah satu Keputusan Menteri Keuangan (KMK), yaitu  KMK No : 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, sebagaimana disempurnakan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 135/PMK.05/2005. Ketentuan tersebut kurang mendukung perusahaan asuransi untuk menempatkan deposito pada BPR, yaitu tidak diperhitungkan dalam penentuan Risk Base Capital (RBC) asuransi, karenanya sampai saat ini, perusahaan asuransi belum leluasa menempatkan dananya pada BPR. Marilah kita simak isi pasal 1 ayat 1 KMK No.424/KMK.06/2003. Disana dikatakan :”Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Perbankan”. Jadi, pengertian bank pada KMK tersebut, tidak termasuk BPR. Dalam KMK yang dimaksudkan, diatur batasan penempatan Deposito perusahaan asuransi yang diikutkan dalam perhitungan RBC adalah penempatan Deposito perusahaan asuransi pada Bank Umum. Berdasarkan pasal 1 ayat 1 KMK No.424/KMK.06/2003,  kalau perusahaan asuransi menempatkan deposito pada BPR tidak diiuktsertakan dalam perhitungan RBC (sejenis CAR diperbankan).
            Untuk mendukung keterkaitan sistem finansial, maka menteri keuangan ada baiknya menyempurnakan ketentuan pembatasan bagi perusahaan asuransi untuk menempatkan dananya di BPR. Tentu, ada beberapa alasan yang berkenaan dengan hal tersebut. Pertama, ditengah-tengah telah berlakunya ketentuan Lembaga Penjaminan Simpanan  (LPS) di perbankan sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 24/2004, maka ketentuan KMK No.424/KMK.06/2003  membatasi perusahaan asuransi melakukan penempatan dalam bentuk deposito di BPR sebaiknya segera diperbaharui. Saat ini, dana simpanan di Bank Umum dan BPR sudah sama-sama dijamin.
Kedua, kecenderungan semakin baiknya pengawasan BPR oleh Bank Indonesia, khususnya melalui Direktorat pengawasan BPR. Disamping terus meningkatkan penagawasan BPR, saat ini Bank Indonesia, juga aktif mendukung pengaturan untuk semakin efektifnya penagawasan BPR, seperti melalui PBI (Peraturan Bank Indonesia) Nomor : 7/51/PBI/2005 jo Surat Edaran Direktorat Pengawasan BPR Bank Indonesia Nomor : 8/7/DPBPR/2006 tentang Laporan Bulanan BPR, sudah disampaikan secara elektronis kepada Bank Indonesia. Dalam pada itu, untuk mendukung transparansi keuangan BPR, semenjak 5 Oktober 2006 yang lalu Bank Indonesia, telah mengundangkan PBI No 8/20/PBI/2006 tentang Transparansi Kondisi Keuangan BPR.  Dalam pada itu, system akuntansi pada BPR sudah menerapkan pedomanan akutansi yang baru melalui penerapan SAK ETAP dan PA BPR.
Pada masa lalu, memang ada BPR yang sulit melakukan pencairan Deposito para nasabahnya, tetapi untuk saat ini, hal seperti itu sudah tipis kemungkinan terjadinya, apalagi dengan berlakunya lembaga pejaminan simpanan (LPS), PBI No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah, PBI No.7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
Diperkirakan ketika pengawasan BPR beralih ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maka pengawasan pada usaha BPRberpotensi  cenderung semakin baik.
Ketiga, suku bunga. Suku bunga deposito di BPR, masih cenderung lebih baik bila dibandingkan dengan bank umum. Dengan demikian, return investasi deposito di BPR masih cenderung lebih menarik.
Keempat, untuk mendukung terciptanya kesetimbangan volume usaha diantara industri finansial, maka perlu diberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi untuk dapat menempatkan deposito di BPR. Fakta emperik menyatakan, ketika sebagian besar bank umum bermasalah di penghujung tahun 1997 sampai tahun 1998 yang lalu, menimbulkan krisis ekonomi yang relatif lama. Saat itu volume usaha industri finansial berada di tangan bank umum.
Akhirnya,  penempatan dana  perusahaan asuransi akan cenderung lebih besar ke BPR  kalau ketentuan KMK No.424/KMK.06/2003 yang membatasi perusahaan asuransi membatasi penempatan depositonya pada BPR dapat diperbaiki. Untuk hal tersebut, sudah sebaiknya Menteri Keuangan dapat menyempurnakan ketentuan pasal 1 ayat 1 KMK No.424/KMK.06/2003 yang berisi batasan  bagi perusahaan asuransi untuk menempatkan deposito pada BPR. Bila hal tersebut dapat dilakukan, penyebaran portofolio investasi pada industri keuangan akan kian tersebar dengan, sehingga resikonya pun cenderung lebih mudah dikendalikan secara nasional.
            Supaya keterkaitan antara perusahaan asuransi dengan BPR dapat menciptakan rantai nilai yang saling menguntungkan, maka masing-masing para pihak haruslah menyajikan pelayanan prima dan saling menguntungkan. Misalnya, kalau muncul resiko yang diasuransikan BPR, maka diharapkan perusahaan asuransi dengan cepat dapat melayaninya sesuai dengan kontrak polis asuransi. Begitu juga BPR yang mengelola portofolio deposito perusahaan asuransi misalnya, sudah sebaiknya melakukan penghitungan dan pembayaran bunga secara akurat dan tepat waktu.
            Peningkatan keterkaitan perusahaan  asuransi dengan BPR akan besar artinya dalam mendukung peningkatan volume usaha perusahaan asuransi dan BPR. Oleh karena itu, instansi yang terkait dengan pembinaan dan penagawasn asuransi, sudah seharusnya melakukan berbagai kebijakan yang positif dan konstruktif untuk mendukung peningkatan keterkaitan perusahaan asuransi dengan BPR. Semoga.

( *Penulis adalah Training Leader pada JFI  dan Advokat, serta  Alumnus Program Hukum Kegiatan Ekonomi FH-UI,  PIN BB = 27DA4B26, Email = jfipusat@gmail.com )

DOKUMENTASI TRAINING JFI DI HOTEL BISANTA BIDAKARA SURABAYA 6 JULI 2013


DOKUMENTASI TRAINING JFI :"PENILAIAN AGUNAN KREDIT DI BPR" DI HOTEL BISANTA BIDAKARA SURABAYA 6 JULI 2013




Minggu, 06 Oktober 2013

Catatan Training Leader JFI : "Fungsi dan Efektivitas Pelatihan di BPR"

Fungsi dan Efektivitas Pelatihan di BPR   
Oleh : Kardi JFI*
            Pelatihan merupakan salah satu fungsi menajemen Sumber Daya Manusia (SDM) pada sebuah organisasi atau perusahaan, termasuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dengan berjalannya secara baik fungsi pelatihan, maka kinerja SDM  dan/atau  BPR  akan cenderung berada pada tataran yang tinggi. Dalam rangka menghadapi kecenderungan peningkatan iklim persaingan usaha, fungsi pelatihan memiliki arti yang penting dan strategis dalam membangun daya saing, kinerja dan efisiensi BPR.
Cakupan Pelatihan
            Dalam implementasi manajemen SDM pada sebuah perusahaan, seperti di BPR, antara kata-kata pelatihan dan pengembangan SDM sering dipergunakan. Sasaran pelatihan adalah menyangkut dengan pekerjaan masa kini, jadi memiliki sasaran jangka pendek. Hal itu bisa diketahui dari pengertian pelatihan itu sendiri. Menurut R. Wayne M.dan Robert M.None (1991), pelatihan atau training adalah those activities that serve to improve an individual’s performance on currently held job or related to it. Dale S. Beach(1980), menyatkan pelatihn adalah ‘’the organized procedure by wich people learn knowledge and/or skills for a definite pur pose. Sedangkan sasaran pengembangan SDM atau karyawan berfokus pada peningkatan keahlian SDM untuk masa yang akan datang atau memiliki lingkup jangka panjang.
            Lingkup substansi sasaran pelatihan dan pengembangan SDM dibagi tiga bagian utama yaitu 1) unsur pengetahuan atau kognitif, 2) unsur ketrampiran atau phisicomotor; 3) sikap atau afektif. Artikulasi utama pelatihan adalah pada unsur keterampilan. Idealnya, pelatihan dan pengembangan SDM dikatakan berhasil jika bisa meningkatkan unsur; pengetahuan, keterampilan, sikap dari karyawan yang mengikutinya. Sebagai contoh karyawan yang telah terampil dan berpengetahuan luas supaya produktif harus memiliki sikap yang baik di perusahaan, seperti memiliki etos kerja atau motivasi dan integrasi yang tinggi, bertanggung jawab dan memiliki disiplin yang tinggi.
            Dalam pencapaian lingkup substansi pelatihan tersebut, pelatihan yang dilaksanakan haruslah, tetap disesuaikan dengan tahap-tahap kemampuan karyawan atau SDM. Dengan mengacu kepada Tahap kemampuan SDM menurut Bennet silalahi (1993),  maka tahap kemampuan SDM BPR dibagi menjadi lima bagian. Pertama, tahap karyawan baru (novice). Pada bagian ini Pekerja atau SDM BPR sudah mengetahui prinsip dan prosedur sesuatu pekerjaan dalam konteks yang bebas, yakni tanpa referensi. Ia mengetahui sebab dan akibat sesuatu dan kegiatan, tetapi ia belum mampu menerapkannya.
            Kedua, tahap karyawan pemula (beginner). Seseorang karyawan pemula menerapkan apa yang diketahui dengan bantuan suatu matriks kerja atau Sisdur dan seorang Pengawas. Ia belum bisa dilepas begitu saja tanpa konsekwensi yang merugikan BPR atau fatal. Hasil kerjanya harus disetujui pengawas, kalau tidak ia bisa menyimpang dari sasaran kerja atau Sisdur Pekerjaan yang telah ditetapkan.
            Ketiga, tahap karyawan cakap dan tangkas (competence). Dengan pengalaman, seorang karyawan pemula akan berkembang menjadi pekerja yang tangkas. Dalam berbagai hal, Ia sudah tidak melihat matriks kerja dan pengawasan. Bahkan, ia sudah mampu menggunakan inisiatif untuk memperkaya atau meningkatkan mutu pekerjaannya.
            Keempat, tahap karyawan mahir (proficiency). Seseorang Karyawan atau SDM mahir tidak lagi bekerja sesuai dengan petunjuk tertulis atau lisan. Ia sudah dapat membaca situasi dan menarik kesimpulan sendiri. Ia dapat membuat pilihan dari berbagai alternatif. Intuisinya sudah mulai berkembang, dan kadang-kadang dapat diterapkan dengan berhasil. Ia mampu berpikir secara kritis dan analitis, dan membuat kesimpulan dari pemikiran seperti itu.
            Kelima, tahap karyawan ahli (expert). Seseorang pekerja ahli memahami apa yang akan dilaksanakan berdasarkan pengertian dan pengalaman. Keahliannya sudah mendarah daging tanpa disadari sehingga alat-alat atau mesin yang digunakan sudah seperti bagian diri tubuhnya.
Persyaratan Pelatihan
            Program pelatihan di berbagai Bank Perkreditan Rakyat (BPR) telah banyak yang dijadikan sebagai bagian yang esensial dari implementasi fungsi manajemen SDM, tapi tak dapat dipungkiri masih banyak BPR  yang belum menjadikannya sebagai program yang penting. Kadangkala, disamping telah banyak BPR yang telah berhasil berkat menjalankan atau mengikuti program pelatihan, namun disisi lain ada juga pelatihan yang mengakibatkan beban bagi BPR karena tidak dipersiapkan secara baik.
            Supaya pelatihan  bisa efektif mencapai tujuan BPR, yaitu meningkatkan kinerja dan daya saing perusahaan, maka diperlukan beberapa persyaratan. Menurut Dale Yoda (1981), supaya pelatihan dan pengembangan SDM dapat berhasil dengan baik, maka harus diperhatikan beberapa hal, yaitu indivual differences, relation to job analysis, motivation, active participation, selection of traines, selection training, methods.
            Menurut D. Contifec ( 1993 ), supaya pelatihan berhasil dengan baik perlu dipenuhi langkah-langkah pelatihan yaitu, 1) menentukan kebutuhan pelatihan dan tujuannya; 2) memilih siapa yang memerlukan pelatihan; 3) menyusun program pelatihan; 4) melaksanakan evaluasi hasil-hasil pelatihan. Sedangkan menurut Gary Dessler (1993), diperlukan empat langkah untuk mengadakan pelatihan supaya bisa mencapai sasaran, yaitu 1) analisa apakah masalahnya terletak pada kemampuan atau ketidak kemampuan; 2) penyusunan tujuan pelatihan yang dapat diamati dan diukur; 3) pelaksanaan pelatihan dengan teknik-teknik yang tercakup dalam pelatihan, dalam pekerjaan dan belajar terprogram ;4) evaluasi untuk mengukur reaksi proses belajar/ latihan atau penilaian.
            Apa tujuan pelatihan bagi karyawan pada sebuah BPR ? Tujuan pelatihan pada prinsipnya tidak lepas dari lingkup sasaran pelatihan, yaitu peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap karyawan BPR. Tujuan itu bisa diwujudkan dalam beberapa hal diantaranya akan dikedepankan pada uraian berikut.
            Pertama, peningkatan produktivitas atau kinerja. Pelatihan yang dilaksanakan dengan baik bisa meningkatkan produktivitas SDM  dan/atau BPR. Sebagai contoh, bila sebelumnya seorang karyawan di sebuah BPR cuma bisa mengerjakan pembukuan tabungan 3 (tiga) per jam dengan pelatihan karyawan yang bersangkutan dimungkinkan bisa menghasilkan 6 (enam) Pembukuan tabungan per jam.
            Kedua, perencanaan SDM. Dengan adanya pelatihan maka akan penting artinya pada fungsi perencanaan SDM. Misalnya, kalau ada kebutuhan BPR akan karyawan baru, sudah bisa menggunakan tenaga-tenaga dari dalam perusahaan karena karyawan yang ada sudah terlatih.
            Ketiga, meningkatkan kualitas pekerjaan karyawan. Melalui hasil pelatihan, karyawan akan dipersiapkan untuk melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik, sehingga disamping produktivitas kian tinggi, maka efisiensi pun akan cenderung bertambah tinggi.
            Keempat , meningkatkan rasa percaya diri karyawan. Banyak karyawan di berbagai BPR yang kerap masih ragu-ragu atau kurang percaya diri dikarenakan kurang terampil melakukan pekerjaanya. Rasa percaya diri dan wibawa karyawan bisa dibangun melalui pelaksanaan pelatihan yang baik. Misalnya seorang AO di BPR, dengan mengikuti pelatihan Taksasi Jaminan atau Pengikatan Perjanjian dan Jaminan Kredit, akan cenderung lebih percaya diri dalam memasarkan kredit BPR kepada calon nasabah.
            Kelima, meningkatkan sikap positif. Bila perusahaan menyelenggarakan program pelatihan yang tepat dan baik maka iklim serta kondisi perusahaan pada umumnya akan menjadi lebih baik. Dalam suasana iklim kerja BPR yang baik maka sikap positif dari pekerja, seperti loyalitas dan integritas, semangat kerja sama dalam tim akan bisa cepat bertumbuh dan berkembang.
            Keenam, meningkatkan pemahaman karyawan dalam manajemen resiko. Usaha BPR, adalah usaha yang didalamnya melekat resiko, baik resiko operasional, resiko kredit maupun resiko pasar. Dengan berbagai pelaksanaan pelatihan terkait dengan BPR, maka kemampuan karyawan dalam menghadapi resiko dalam kegiatan usaha BPR akan cenderung lebih baik.
Karakteristik Karyawan.
            Unsur yang termasuk sangat esensional dalam pelatihan BPR adalah karakteristik karyawan. Dengan mengetahui karakteristik karyawan maka akan dapat diketahui dan diformulasikan jenis program pelatihan yang digunakan sehingga program pelatihan yang digunakan bisa mencapai tujuan pelatihan.
            Dengan mengacu pada hukum pareto dan matriks BCG (Boston Consulting Group,), Bennet silalahi (1993), membagi golongan atau karakteristik karyawan menjadi empat bagian. Hukum Pareto yang dimaksudkan menyatakan bahwa hanya 20 % produk suatu perusahaan yang menghasilkan 80 % pendapatan perusahan. Sedangkan matriks BCG yang dimaksudkan, yang biasanya dipakai sebagai salah satu bahan analisa dalam manejemen pemasaran, membagi kategori atau jenis produk perusahaan atas empat bagian, yaitu a) star (jenis bintang); b) cash cow (kategori tegar) ; c) dog  (kategori kayu lapuk ); d) question mark  ( kategori tanda tanya).
            Apa saja karekteristik karyawan yang dimaksud ? Pertama, kategori bintang. Biasanya karyawan seperti ini cepat menanjak produktivitasnya, tetapi cepat pula merosot. Sama seperti produk trendy, kategori karyawan pada bagian ini perlu dipertahankan, jika mungkin dari kategori lainnya pun harus diupayakan menjadi bintang. Program pelatihan yang sesuai dengan kategori ini adalah pelatihan Total quality Control (TQC),  Pengembangan Strategi Pemasaran, Pelatihan Rencana Bisnis, pengembangan keperibadian menurut Dale Carnagie,  dan sejenisnya.
            Kedua, kategori tegar. Sebagian dari karyawan pada bagian ini mungkin masih dapat dijadikan menjadi kategori bintang. Namun, mengingat umur dan masa kerja, ada baiknya mereka diikutsertakan dapat program pelatihan pengembangan manajemen, supervisi, hubungan antar manusia (human relation), pembentukan karakter yang efektif, Domain Kecerdasan Interpersonal, Motivasi, dan lain-lain.
            Ketiga, kategori kayu lapuk atau dahan mati. Karyawan-karyawan pada bagian ini perlu dibangkitkan kembali semangat kerja mereka. Sedangkan program pelatihan yang cocok pada katagori kayu lapuk ini adalah transaction analysis (T-Group), sentivity training dan sejenisnya.
            Keempat, kategori tanda tanya. Untuk memastikan arah perkembangan karyawan pada bagian ini, para karyawan perlu diikutsertakan dalam program pelatihan keterampilan, seperti teknik menjual, akuntansi BPR, komputer,  sistem dan prosedur, Kearsipan, dan sejenisnya.
            Pelatihan bagi karyawan pada BPR akan semakin memiliki arti yang penting dan strategis pada masa kini maupun pada masa yang akan datang, khususnya dalam meningkatkan peranan BPR diantara industri keuangan lainnya. Dapat dikatakan, kebijakan yang dikedepankan Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia nonor : 5/14/PBI/2003 tentang Kewajiban Penyediaan dana Pendidikan dan pelatihan untuk Pengembangan Sumber Daya Manusia Bank Perkreditan Rakyat, beberapa waktu yang lalu adalah hal positif dan konstruktif dalam pengembangan BPR. Oleh karena itu,p elaku industri BPR, sudah sewajarnya menerapkan dengan baik ketentuan PBI tersebut sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik SDM BPR dan dari sisi Bank Indonesia atau OJK nantinya,  sudah sewajarnya mengawasi pelaksanaannya secara kontiniu dan konsisten supaya semakin efektif.

( *Penulis adalah Training Leader JFI ).