Rubrik
Opini :
Mencermati Akselerasi Pertumbuhan
Usaha Fintech P2P Lending
Oleh : Kardi Pakpahan*
Bila
dicermati pertumbuhan usaha Financial Technology (Finctech), khususnya Peer to Peer Lending atau P2P
Lending, yang juga dikenal dengan istilah pinjaman dalam jaringan (Pindar),
dapat dikatakan berada pada zona
akselerasi, yang pertumbuhannya berada di atas rata-rata industri penyelenggara
jasa keuangan lainnya. Sebagai contoh, penyaluran Pinjaman melalui Fintech P2P Lending pada Juli 2018
sebesar Rp 9,21 Triliun, sedangkan pada bulan Juli 2019 total penyaluran pinjaman melalui 127
institusi Fintech P2P Lending sudah mencapai Rp 49,79 Triliun. Sampai Juli 2019, sekitar 70% nasabah
pembiyaan Fintech P2P Lending berusia
19 sd 34 tahun.
Beberapa
faktor turut mendukung akselerasi pertumbuhan usaha Fintech P2P Lending. Sebagian diantaranya dikedepankan pada uraian
berikut. Pertama, pengaturan. Pada
tanggal 28 Desember 2016 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan
Peraturan OJK atau POJK No.77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi. Setelah POJK tersebut diberlakukan atensi untuk
menyelenggarakan usaha Fintech P2P
Lending relatif besar dan sampai bulan Juli 2019 sudah 127 usaha Fintech
P2P Lending yang telah terdaftar di
OJK. Pengaturan lain yang sifatnya mendukung usaha Fintech P2P Lending adalah POJK No.13/POJK.02/2018 tentang Inovasi
Keuangan Digital (IKD) di sektor Jasa Keuangan.
Kedua, perizinan. Mekanisme kegiatan perizinan usaha Fintech P2P Lending dimulai dari proses
pendaftaran pada Direktorat Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK, setelah memenuhi persyaratan sebagaimana yang
telah ditentukan POJK No.77/POJK.01/2016, maka izin diberikan oleh OJK. Setelah
terdaftar di OJK, Fintech P2P Lending
sudah dapat menjalankan kegiatan usahanya.
Ketiga, modal besar. Berdasarkan data
yang dirilis oleh OJK belum lama ini, mengedepankan bahwa Indonesia memiliki
modal besar untuk mendukung perkembangan Fintech. Indikator modal tersebut,
sebagian diantaranya adalah a) 52 juta orang terkategori sebagai middle class, yang disebut juga dengan
ungkapan consuming class dan
menikmati bonus demografi pada tahun 2030; b) total pengguna internet 150 juta
atau tumbuh 13% (yoy) dengan penetrasi mencapai 56%; c) persentase pengguna mobile banking mencapai 61%; d) jumlah
milenial semakin banyak, yang saat ini sudah mencapai 88 juta.
Keempat, kebijakan strategis OJK. Salah
satu Kebijakan strategis OJK tahun 2019
dari 5 pilar utama, yang dapat dikatakan turut mendukung akselerasi pertumbuhan
usaha Fintech P2P Lending adalah
mempersiapkan industri jasa keuangan dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0,
yang didukung dengan program : a) digitalisasi produk dan layanan keuangan; b)
fasilitas pengembangan start up Fintech P2P
Lending dan equity crowdfunding;
c) pengaturan yang mendorong inovasi dan perlindungan konsumen; d) peningkatan
literasi masyarakat terhadap fintech; e) penegakan hukum bagi start up.
Kelima, belum wajib SLIK. Sebagai
penyelenggara jasa keuangan melalui penyediaan pinjaman dalam jaringan, Fintech
P2P Lending belum diwajibkan mengikuti Sistem Layanan Informasi Keuangan
(SLIK). SLIK merupakan pengganti dari SID (Sistem Informasi Debitur). SLIK
digunakan untuk pengecekan calon Debitur apakah memiliki pinjaman non lancar
atau fasilitas kredit bermasalah pada lembaga keuangan lainnya. Cenderung lebih
banyak calon peminjam menggunakan aplikasi Fintech
P2P Lending karena belum menerapkan SLIK.
Keenam, dukungan investor. Walapun usia
masih relatif mudah, namun mengingat akselerasi pertumbuhan Fintech P2P Lending minat investor
relatif besar. Tentu hal tersebut penting, karena modal bagi Fintech P2P Lending, ibaratnya sebagai
kaki meja yang keempat. Untuk pengembangan usaha Fintech P2P Lending supaya efisien, serta memiliki kinerja dan daya
saing tinggi memerlukan modal yang relatif besar.
Akselerasi
pertumbuhan Fintech P2P Lending perlu
dipelihara supaya terbuka kesempatan
semakin banyak anggota masyarakat menikmati jasa keuangan dan dapat mendorong
berbagai kegiatan ekonomi. Untuk memelihara atau meningkatkan pertumbuhan usaha
Fintech P2P Lending, maka pihak-pihak yang terkait perlu
mengupayakan beberapa upaya. Sebagian dari beberapa upaya yang dimaksudkan akan
dikedepankan pada uraian berikut.
Pertama, dukungan regulasi. Mengingat
kecenderungan pertumbuhan Fintech P2P
Lending pada masa yang akan datang, maka perlu pengaturan dalam
Undang-undang (UU), yang dapat diwujudkan dalam UU Fintech atau UU Perkreditan
– termasuk pengaturan pinjaman atau kredit dalam jaringan. Dengan UU yang
dimaksudkan, disamping mengedepankan substansi pengaturan yang terkait dengan
penyelenggaraan usaha Fintech, juga
sekaligus mengakomodir upaya mengantisipasi dan mengatasi praktek Fintech
Ilegal, yang dalam beberapa waktu terakhir sempat meresahkan masyarakat di
berbagai tempat di Nusantara.
Kedua, rekruitmen SDM unggul dari
perbankan. Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada pada struktur usaha Fintech P2P Lending selama ini, baik pada posisi puncak (top management) maupun pada jajaran lini
tengah organisasi (middle management),
maupun pada sisi lini pertama (first management) tidaklah semua
memiliki latar belakang dari usaha jasa keuangan/perbankan. Untuk memelihara
atau meningkatkan akselarasi pertumbuhan usaha, maka perlu dilakukan rekruitmen
SDM yang unggul yang relatif masih usia
muda serta menguasai teknologi informasi dari perbankan untuk membantu Fintech P2P Lending untuk penyusunan dan
pelaksanaan rencana bisnis/model bisnis, pengendalian resiko, cost & pricing untuk penghitungan
pengenaan dasar bunga pinjaman sehingga mendapatkan hasil optimal dengan tetap
menjaga keseimbangan aktiva dan pasiva.
Ketiga, kerjasama antara Fintech P2P Lending dengan penyelenggara
jasa keuangan lainnya. Supaya kehadiran Fintech
P2P Lending semakin positif maka perlu digalang kerjasama dengan
penyelenggara jasa keuangan lainnya. Kolaborasi dengan Bank Umum dan BPR (Bank Perkreditan
Rakyat) misalnya dapat diwujudkan dalam penyaluran kredit sindikasi (syndicated loan) maupun pola penerusan
kredit (Channeling). Kerjasama Fintech P2P Lending dengan usaha asuransi misalnya dapat
diwujukan dalam pengadaan jasa asuransi jiwa kredit atau asuransi benda jaminan
kredit.
Keempat, peningkatkan kualitas
perlindungan nasabah. Baik dari sisi
regulasi maupun upaya dari penyenggara Fintech
P2P Lending perlu dilakukan peningkatan kualitas perlindungan kepada
nasabah atau konsumen jasa Pindar atau Fintech Lending. Relevan dengan upaya
ini, maka ada baiknya RUU Data Pribadi perlu segera diundangkan atau diberlakukan.
Kehadiran UU Data Pribadi perlu untuk
mendukung perlindungan nasabah Fintech, sekaligus menjadi pegangan bagi
otoritas pengawas dan penyelenggara Fintech
P2P Lending.
Kelima, perluasan pasar. Fokus
pemasaran Fintech P2P Lending selama
ini dapat dikatakan masih lebih dominan di pulau jawa. Mengingat hal tersebut,
perlu perluasan pasar dan penyelenggara Fintech P2P Lending ke wilayah lainnya
di nusantara, untuk semakin membuka akses yang lebih luas jasa keuangan ke
masyarakat atau memperluas inklusi keuangan.
Keenam. Pengembangan SDM. Untuk
mendukung dan memelihara akselerasi
pertumbuhan uasaha, maka perlu dilakukan
program pengembangan SDM, baik yang diselenggarakan perusahan Fintech P2P Lending secara mandiri
maupun melalui asosiasi. Belum lama ini,
AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia) telah melakukan pelatihan
sertifikasi kompetensi untuk pemegang saham, direksi dan komisaris. Untuk
mendukung pengembangan SDM pada perusahaan Fintech
P2P Lending di lini tengah (middle
management), AFPI perlu memprakarsai, merencanakan dan
menyelenggarakan program pelatihan untuk
pengembangan kompetensi SDM di lini tengah.
Ketujuh, peningkatan kualitas pelayanan
perizinan. Untuk memastikan akselerasi pertumbuhan usaha Fintech P2P Lending,
maka perlu ditingkatkan kualitas pelayanan perizinan, seperti dalam percepatan
penyelesaian izin mulai dari pendaftaran.
Jika peningkatan kualitas perizinan dapat diwujudkan, maka investor yang
tertarik pada Fintech P2P Lending, baik dalam kegiatan investasi langsung
ataupun investasi tidak langsung (seperti pembelian saham), akan cenderung semakin
besar.
Kedelapan, standar laporan keuangan Fintech
P2P Lending. Dalam rangka mengwujudkan
transparansi dalam penyelenggaraan usaha Fintech P2P Lending, yang karenanya
dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat, terutama para Investor, maka perlu didepankan standar laporan
keuangan. Untuk mendukung hal tersebut maka AFPI perlu melakukan kordinasi
dengan OJK dan IAI untuk penyusunan standar akuntansi atau laporan keuangan Fintech
P2P Lending.
Kesembilan, keseimbangan dalam
memelihara pertumbuhan usaha. Sebagai usaha rintisan atau startup, usaha Fintech P2P Lending, perlu menjaga keseimbangan
unsur pengembangan usaha, seperti aspek financial, customer, internal proses,
pengembangan organisasi, supaya dipastikan sustainability
atau going concern dapat diwujudkan.
Misalnya saja, pertumbuhan volume usaha yang relatif tinggi, perlu diikuti dengan realisasi target yang seimbang
di bidang rasio profitabilitas, baik di sisi Return on Aset (ROA) maupun Return
on Equity (ROE). Dalam hal akselerasi program customer acquisition misalnya, perlu diikuti dengan program customer retention, customer value maupun customer
satisfaction. Jika meningkatkan teknologi platform aplikasi dalam meningkatkan mutu internal proses usaha Fintech P2P Lending, perlu dijaga
keseimbangan antara keandalan, keterpaduan dan kesinambungan. Untuk
pengembangan organisasi misalnya, ketika sudah menerima SDM, maka jangan lupa
mengembangkannya. Semoga
(*Alumnus Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Advokat, Trainer & Pengamat Fintech,
WA = 0813-2895-0019, IG = kardi_pakpahan)