Opini :
Penggunaan Cap Jempol pada Dokumen di
Bawah Tangan
(Transaksi Pengalihan Tanah dan Pendaftaran
Tanah pada Kantor Pertanahan)
Penggunaan Cap Jempol dalam berbagai pembuatan
dokumen di bawah tangan masih sering dilakukan. Dokumen yang dimaksudkan
misalnya pada Surat Perjanjian, Surat
Pernyataan, Surat Persetujuan, dan lain-lain. Sebagai contoh, penulis pernah
temukan sebuah dokumen perjanjian pengalihan tanah yang belum terdaftar (masih
status girik), dari pihak yang mengalihkan menggunakan cap jempol tanpa
dilegaslisasi Notaris, yang kemudian digunakan untuk pendaftaran tanah sampai
dikeluarkan status Sertifikat Hak Milik (SHM) pada sebuah kantor pertanahan.
Dari sisi hukum supaya cap jempol sah,
memerlukan syarat tertentu sebagaimana diatur pada pasal 1874 ayat 2 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KHUPer) jo pasal 286 ayat 2 RBg. Pada pasal 1874
ayat 2 KUHPer disebutkan :” Dengan
penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap
jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau
seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang yang menyatakan bahwa
pembubuhan cap jempol itu dikenal olehnya atau telah diperkenalkan kepadanya,
bahwa di akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap
jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan pejabat yang
bersangkutan. Pegawai ini harus membuktikan tulisan tersebut”. Sedangkan
pada pasal 286 ayat 2 RBg atau Reglement
Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura dinyatakan
:”Cap jari atau cap jempol yang
dibubuhkan di bawah surat di bawah tangan disamakan dengan tanda tangan asal
disahkan dengan suatu surat keterangan yang bertanggal oleh notaris atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang dan menerangkan bahwa ia mengenal
pemberi cap jari atau cap jempol yang diperkenalkan kepadanya, dan bahwa isi
akta itu telah dijelaskan kepada si pembubuh cap jari dan bahwa cap jari
tersebut dibubuhkan di hadapannya”. Dengan demikian, supaya dokumen di
bawah tangan - yang bukti persetujuannya melalui cap jempol disamakan dengan
tanda tangan manakala pembubuhan cap cempol dilaksanakan di hadapan notaris
atau pejabat lain yang diatur oleh Undang-undang dan tanggal pembubuhan cap jempol pada
dokumen tersebut di hadapan notaris, dihitung tanggal mulai berlakunya dokumen
di bawah tangan tersebut. Proses pengesahan tanda tangan atau cap jempol di
hadapan notaris, saat ini dikenal dengan istilah Legalisasi.
Notaris,
dalam jabatannya, berwenang mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian
tanggal surat di bawah tangan, dengan mendaftar dalam buku khusus. Ketentuan
ini, merupakan pengertian legalisasi terhadap akta di bawah tangan, yang dibuat
sendiri oleh orang perseorangan, atau oleh para pihak, di atas kertas yang
bermaterai cukup, dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus, yang disediakan
oleh Notaris. Ringkasnya, inti dari legalisasi ini adalah, para pihak membuat
suratnya, dibawa ke Notaris, lalu menandatanganinya di hadapan Notaris,
kemudian dicatatkan dalam Buku Legalisasi. Tanggal pada saat penandatanganan
dihadapan Notaris itulah, sebagai tanggal terjadinya perbuatan hukum, yang
melahiran hak dan kewajiban antara para pihak sebagaimana diatur pada pasal 15
ayat 2 hurtuf a UU No.30/2004 yang
diubah dengan UU No.2/2014 tentang UU Jabatan Notaris.
Legalisasi tentu berbeda dengan warmerking atau legalisir. Warmerking dilakukan Para Pihak
manakala atas perjanjian di bawah tangan yang sudah
ditandatangani beberapa hari atau waktu sebelumnya, dibawa ke Notaris
untuk didaftarkan dalam Buku Pendaftaran Surat di Bawah Tangan
(Vide : pasal 15 ayat 2 huruf b UU Jabatan Notaris).
Legalisir adalah kewenangan
Notaris pada proses pencocokan dokumen fotocopy dengan dokumen asli di bawah
tangan. Notaris akan memberikan cap atau stempel dan paraf di setiap halaman
fotocopy dan pada halaman paling belakang, Notaris akan memberikan tanda tangan
serta keterangan bahwa dokumen fotocopy tersebut sama dengan dokumen asli yang
diperlihatkan di hadapan Notaris (Vide : Pasal 15 ayat 2 huruf c UU Jabatan
Notaris).
Dengan
demikian, bagaimana sisi hukum bagi pihak ketiga yang dirugikan pada pengalihan
tanah, yang disinylair merupakan budel waris Pihak Ketiga dan belum terdaftar,
yang dilakukan dengan cap jempol yang dari pihak yang mengalihkan dan tidak
dilegalisasi Notaris, kepada pihak yang menerima pengalihan, dan digunakan
sebagai dokumen permohonan pendaftaran tanah pertama di kantor pertanahan
sampai terbit sertifikat Hak Milik ? Sisi
Hukum utamanya dapat dilihat dari 3 hal.
Pertama, tentang keabsahan dan kekuatan
mengikat perjanjian. Supaya sebuah Perjanjian, seperti Perjanjian di bawah
tangan atas pengalihan tanah yang belum terdaftar, supaya sah dan mengikat
(Vide : pasal 1320 KUHPer jo 1338 KUHPer) harus memenuhi 4 syarat, yaitu 2 syarat
subyektif yaitu a) adanya kata sepakat; b) pihak yang melakukan perjanjian
sudah Dewasa dan 2 syarat obyektif, yaitu a) hal tertentu; b) sesuatu yang halal atau
yang diperjanjikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika syarat
subyektif Perjanjian tidak dipenuhi, misalnya pihak yang mengalihkan lagi sakit keras dipaksa membubuhkan cap
jempolnya pada perjanjian pengalihan tanah maka perjanjian tersebut dapat
dibatalkan. Sedangkan bila syarat obyektif tidak dipenuhi, misalnya terhadap
perjanjian di bawah tangan pengalihan tanah yang belum terdaftar dengan cap
jempol dari pihak yang mengalihkan tidak
dilegalisasi Notaris, maka Perjanjian tersebut dapat dinyatakan batal demi
hukum, yang karenanya sertifikat hak milik, yang diperoleh dari perjanjian
pengalihan tersebut dapat dikatakan tidak sah atau tidak mengikat serta dapat
dimintankan pembatalannya.
Kedua, perbuatan melawan
hukum. Rangkaian peristiwa membuat Perjanjian di bawah tangan atas pengalihan
tanah yang belum terdaftar dengan menggunakan cap jempol dari pihak yang
mengalihkan dan tidak dilegalisasi Notaris, yang sesungguhnya masih obyek
sengketa waris dan menggunakannya sebagai dasar permohonan hak pada pendaftaran
tanah pertama sekali dan merugikan pihak ketiga, dapat dinyatakan adalah sebuah
perbuatan melawan hukum atau onrechmatige
daad, sebagaimana yang diatur pada pasal 1365 KUHPer, yang menyatakan :”Tiap perbuatan yang
melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian
tersebut“. Ada 4 unsur dari perbuatan
melawan hukum yaitu : a) ada perbuatan melawan hukum; b) ada kesalahan; c) ada hubungan
sebab akibat antara kerugian dan perbuatan; d) ada kerugian.
Dalam
konteks perjanjian di bawah tangan atas pengalihan tanah yang belum terdaftar
dengan penggunaan cap jempol oleh pihak yang mengalihkan tanpa dilegalisasi
Notaris, dan digunakan untuk mendaftarkan tanah di kantor pertanahan sehingga
terbit sertifikat Hak Milik dan merugikan pihak ketiga dapat dikatakan adalah
termasuk dalam perbuatan melawan hukum seperti yang diatur dalam pasal 1365
KUHPer, sehingga pihak-pihak yang terkait atau melakukan perbuatan melawan
hukum tersebut haruslah mengganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.
Ketiga,
jaminan ganti rugi dari sebuah perbuatan melawan hukum. Landasan perikatan
untuk melakukan ganti rugi dari pihak atau para pihak yang melakukan perbuatan
melawan hukum kepada pihak yang dirugikan tentu didasarkan sumber perikatan seperti yang
diatur pada pasal 1233 KUHPer, yaitu 1) karena perjanjian (Vide : pasal 1313
KUHPer) dan karena Undang-undang (Vide : pasal 1352 KUHPer). Dalam hal ini sumber perikatan untuk
melakukan ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum oleh pihak atau para pihak
yang melakukan perbuatan melawan hukum, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1365
KUHPer, adalah perikatan karena undang-undang akibat perbuatan orang. Dengan
demikian, jaminan yang bisa didapatkan oleh pihak yang dirugikan dalam sebuah
perbuatan melawan hukum, disamping pengembalian obyek yang dipersengkatakan
atau berupa pembayaran, adalah seluruh
aset (baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak) dari pihak yang
melakukan perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 1131 KUHPer,
yang dapat diperoleh dengan menempuh upaya gugatan perbuatan melawan hukum
dengan memohonkan penetapan atau putusan sita jaminan atas pihak atau para
pihak melakukan perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad).
Tentu
disamping tiga sisi hukum utama di atas, pihak yang dirugikan dari sebuah
peristiwa hukum pada pelaksanaan perjanjian di bawah tangan atas pengalihan
tanah ( yang belum terdaftar) dengan menggunakan cap jempol tanpa dilegalisasi
Notaris, seperti yang disampaikan pada uraian sebelumnya, maka sisi hukum yang
masih dapat digunakan adalah pada sisi pidana, manakala pihak yang melakukan
perbuatan melawan hukum, diduga juga menggunakan keterangan atau dokumen palsu
(Vide : pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP), atau sisi hukum
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dalam hal ada cacat yuridis pada penerbitan
sertifikat terkait.
(*Penulis adalah seorang
Advokat dan Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia)