DOKUMENTASI TRAINING JFI :"MANAJEMEN OPERASIONAL BPR" DI HOTEL NALENDRA 24 DESEMBER 2011
Senin, 30 Januari 2012
Kamis, 26 Januari 2012
IZIN USAHA BPR : Sumsel kebanjiran izin usaha BPR baru
IZIN USAHA BPR
Sumsel kebanjiran izin usaha BPR baru
dibaca sebanyak 296 kali
0 Komentar
PALEMBANG. Sumatera bagian selatan dan Bangka Belitung alias Sumselbabel kebanjiran izin usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) baru. Buktinya, belum juga genap dua pekan tahun ini berjalan, sudah ada sedikitnya tiga surat masuk untuk perizinan baru. Itu belum termasuk empat izin usaha yang sedang dalam proses.
Deputi Pengawasan 2 Bank Indonesia (BI) Dudi Iskandar mengungkapkan, per akhir tahun lalu, pihaknya mencatat ada 21 BPR di wilayah Sumselbabel. "Tiga diantaranya merupakan pemain baru yang telah memperoleh izin regulator dan mulai resmi beroperasi pada 2011," ujarnya ditemui KONTAN, Kamis (12/1).
Sementara, empat sisanya masih dalam proses perizinan, serta tiga calon pelaku usaha BPR yang sudah melakukan pendekatan dan pembicaraan awal. Seluruhnya, terlebih dahulu harus memenuhi syarat administrasi, di antaranya modal disetor sebesar Rp 500 juta, sebelum permohonan mereka dipertimbangkan.
Menurut Dudi, hal ini merupakan cerminan pertumbuhan positif perekonomian nasional, khususnya wilayah Sumselbabel. Toh, pangsa pasarnya masih terbuka lebar. Dengan demikian, pilihan sumber pendanaan masyarakat sekitar menjadi lebih banyak. Ujung-ujungnya, bakal meningkatkan usaha masyarakat.
Dudi mengaku, menyambut baik calon pendatang baru di industri perkreditan rakyat tersebut. Dengan catatan, pelaku usaha ini memiliki komitmen kuat untuk menciptakan praktek usaha yang sehat, dan kompetitif. "Terutama, harus memberi kontribusi terhadap perkembangan daerahnya," imbuh dia.
Sekadar informasi saja, sebelumnya Direktur Direktorat Kredit, BPR, dan UMKM BI Edy Setiadi mengklaim, tengah mengkaji model bisnis BPR. Beberapa BPR bakal dijadikan proyek percontohan, dengan kriteria antara lain, rasio kecukupan modal (CAR) BPR harus di atas 10% dan loan to deposit ratio (LDR) sekitar 94%.
Tidak hanya itu, penyaluran kreditnya harus terus tumbuh, namun dapat tetap mempertahankan rasio kredit macet alias non performing loan (NPL) di bawah 5%. "Di samping, melihat diversifikasi risikonya. Misalnya, tidak terkonsentrasi di sektor konsumsi saja, tetapi juga memberikan kredit modal kerja," terang Edy.
Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), 2005 hingga September 2011, terdapat 44 BPR yang dilikuidasi. Sebagian besar tumbang selama di akhir 2008-2009 ketika krisis. Di 2011, LPS menutup 13 BPR di wilayah Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Dengan total dana pihak ketiga (DPK) mencapai Rp 1,06 triliun.
Deputi Pengawasan 2 Bank Indonesia (BI) Dudi Iskandar mengungkapkan, per akhir tahun lalu, pihaknya mencatat ada 21 BPR di wilayah Sumselbabel. "Tiga diantaranya merupakan pemain baru yang telah memperoleh izin regulator dan mulai resmi beroperasi pada 2011," ujarnya ditemui KONTAN, Kamis (12/1).
Sementara, empat sisanya masih dalam proses perizinan, serta tiga calon pelaku usaha BPR yang sudah melakukan pendekatan dan pembicaraan awal. Seluruhnya, terlebih dahulu harus memenuhi syarat administrasi, di antaranya modal disetor sebesar Rp 500 juta, sebelum permohonan mereka dipertimbangkan.
Menurut Dudi, hal ini merupakan cerminan pertumbuhan positif perekonomian nasional, khususnya wilayah Sumselbabel. Toh, pangsa pasarnya masih terbuka lebar. Dengan demikian, pilihan sumber pendanaan masyarakat sekitar menjadi lebih banyak. Ujung-ujungnya, bakal meningkatkan usaha masyarakat.
Dudi mengaku, menyambut baik calon pendatang baru di industri perkreditan rakyat tersebut. Dengan catatan, pelaku usaha ini memiliki komitmen kuat untuk menciptakan praktek usaha yang sehat, dan kompetitif. "Terutama, harus memberi kontribusi terhadap perkembangan daerahnya," imbuh dia.
Sekadar informasi saja, sebelumnya Direktur Direktorat Kredit, BPR, dan UMKM BI Edy Setiadi mengklaim, tengah mengkaji model bisnis BPR. Beberapa BPR bakal dijadikan proyek percontohan, dengan kriteria antara lain, rasio kecukupan modal (CAR) BPR harus di atas 10% dan loan to deposit ratio (LDR) sekitar 94%.
Tidak hanya itu, penyaluran kreditnya harus terus tumbuh, namun dapat tetap mempertahankan rasio kredit macet alias non performing loan (NPL) di bawah 5%. "Di samping, melihat diversifikasi risikonya. Misalnya, tidak terkonsentrasi di sektor konsumsi saja, tetapi juga memberikan kredit modal kerja," terang Edy.
Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), 2005 hingga September 2011, terdapat 44 BPR yang dilikuidasi. Sebagian besar tumbang selama di akhir 2008-2009 ketika krisis. Di 2011, LPS menutup 13 BPR di wilayah Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Dengan total dana pihak ketiga (DPK) mencapai Rp 1,06 triliun.
Rabu, 11 Januari 2012
|
|
Langganan:
Postingan (Atom)