Catatan Hukum :
Perihal Kompetensi Absolut Pengadilan untuk
PenangananPerkara Klaim Penjaminan Nasabah pada LPS
Oleh : Kardi Pakpahan*
Salah satu bagian penting akibat dilakukannya pencabutan izin usaha bank adalah
pada aktivitas pembayaran klaim simpanan nasabah pada bank yang dicabut izin
usahanya, baik produk tabungan, deposito, maupun giro. Institusi yang melakukan
penjaminan simpanan nasabah di bank saat ini di sini adalah Lembaga Penjaminan
Simpanan (LPS). Pada pasal 10 UU No.24/2004 sebagaimana diubah dengan UU
No.7/2009, yang disebut juga dengan UU LPS, disebutkan :”LPS menjamin Simpanan
nasabah bank yang berbentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan,
dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu ".
Masalahnya, klaim simpanan nasabah sebagai
konsekusensi ditutupnya sebuah bank, sering harus berakhir di Pengadilan,
gegara simpanan dinyatakan tidak layak bayar menurut LPS. . Selama ini, klaim
simpanan itu dilakukan melalui pengadilan umum atau pengadilan Negeri. Tetapi
ada juga wacana belakangan ini yang menyatakan bahwa pengadilan yang berhak
untuk memproses klaim tersebut adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Apakah memang demikian ?
Pada
pasal 16 ayat 3 UU LPS, disebutkan : “LPS wajib menentukan Simpanan
yang layak dibayar, setelah melakukan rekonsiliasi dan verifikasi atas data
Nasabah Penyimpan dan informasi lain, yang diperoleh LPS dari LPP (Lembaga
Pengawas Perbankan) dan/atau Bank dalam rangka penghitungan dan pembayaran
klaim Penjaminan selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung
sejak izin usaha bank dicabut”.
Simpanan
yang tidak layak bayar itu dapat diketahui dari batasan yang diatur pada pasal
19 ayat 1 UU LPS. Disana dikatakan :”Klaim Penjaminan dinyatakan tidak layak
dibayar apabila berdasarkan hasil rekonsiliasi dan/atau verifikasi : a) data
Simpanan nasabah dimaksud tidak tercatat pada bank; b) Nasabah Penyimpan
merupakan pihak yang diuntungkan secara tidak wajar; dan/atau; c) Nasabah
Penyimpan merupakan pihak yang menyebabkan keadaan bank menjadi tidak sehat”.
Dalam
hal Nasabah Penyimpan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) UU LPS,
merasa dirugikan maka nasabah dimaksud dapat melakukan upaya hukum
melalui pengadilan ( Vide : Pasal 20 ayat 1 huruf b UU LPS). Masalahnya
baik dalam UU LPS atau penjelasannya tidak ditentukan kompetensi absolut
pengadilan apa yang memeriksa dan mengadili sengketa klaim
penjaminan simpanan pada LPS.
Kompetensi absolut merupakan pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan
dilihat dari macamnya pengadilan yang meliputi pemberian
kekuasaan untuk mengadili. Saat ini kompetensi absolut pengadilan dibagi dalam
4 (empat) lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum (mengadili perkara pidana
dan perdata), peradilan agama (khususnya mengadili perkara perkawinan dan
kewarisan bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam), peradilan militer
(mengadili militer yang melakukan kejahatan), dan peradilan tata usaha negara
(mengadili sengketa tata usaha negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan
tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku).
Apakah dimungkinkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk mengadili
perkara klaim Penjaminan simpanan setelah LPS menentukan simpanan yang layak
bayar atau simpanan yang tidak layak bayar melalui serangkaian
rekonsiliasi dan verifikasi data simpanan yang diperoleh LPS dari LPP dan/atau
Bank yang dicabut izin usahannya ? Kalau dilihat dari konteks UU LPS di
satu sisi dan UU No.5/1986, sebagaimana diubah dengan UU No.9/2004 dan UU
No.51/2009 yang disebutkan juga dengan UU Peradilan Tata Usaha Negara atau UU
PTUN di sisi lain, maka dapat dikatakan dari sisi kompetensi absolut Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN) tidaklah berwenang mengadili perkara klaim simpanan
kepada LPS. Apa alasan dikatakan demikian ?
Pertama,
LPS sebagai salah badan tata usaha negara hanya menentukan simpanan
yang layak bayar atau tidak layak bayar berdasarkan data transaksi keuangan
nasabah penyimpanan dana dari bank yang dicabut izin usahanya dengan melakukan
rekonsiliasi dan verifikasi, tidaklah mengandung penetapan (beschikking)
maupun pernyataan kehendak (wilsorming). Sehingga peristiwa hukum
tersebut adalah peristiwa hubungan hukum perdata, bukanlah merupakan keputusan
badan atau pejabat tata usaha negara. Sehingga kalau nasabah penyimpan
memperkarakan keberatannya karena LPS menyatakan simpannya pada bank yang
ditutup tidak layak bayar, haruslah kepada Pengadilan Negeri atau Peradilan
Umum.
Ikatan transaksi keuangan simpanan nasabah
pada bank yang dicabut izinya adalah dalam konteks hubungan hukum perdata, yang
mengandung fasilitas penjaminan dari LPS kalau bank dicabut izinya . Perikatan
nasabah penyimpan dana dengan bank dalam hal transaksi keuangan simpanan
bersumber dari persetujuan atau perjanjian (vide : pasal 1320 KUHper jo pasal
1338 KUHPer). Sedangkan ikatan nasabah penyimpan dana di bank dengan LPS yang
wajib diikutkan dalam program penjaminan merupakan perikatan yang timbul
dari sisi undang-undang (Vide : pasal 1233 KUHPer).
Dapat dikatakan, tugas LPS dalam menentukan
simpanan nasabah Penyimpan yang layak atau tidak layak bayar merupakan
instrument hukum publik pemerintah yang tidak memiliki sifat sepihak dan
individual, karena dalam program penjaminan ada nasabah penyimpan dan bank
(baik bank konvesional maupun syariah). Kalau LPS melakukan kesalahan atau
kelalaian, , baik sengaja maupun kealpaannya, dalam menjalankan ketentuan atau
peraturan sehubungan dengan tugas, fungsi dan wewenangnya dalam melaksanakan
penjaminan kepada simpanan nasabah penyimpan, maka tidaklah masuk dalam
kompetensi absolut PTUN, tetapi adalah kompetensi absolute Peradilan atau
Pengadilan Negeri atau pengadilan umum.
Dari sisi lapisan produk, maka dapat dikatakan
fasilitas penjaminan LPS pada produk simpanan perbankan merupakan lapisan yang
ketiga dan untuk itu perbankan membayar kontribusi kepesertaan dan premi
penjaminan kepada LPS serta menyerahkan dokumen-dokumen penjaminan. Lapisan
pertamanya, nama produk simpanan (Tabungan, Deposito, Giro), Lapisan Keduanya
perhitungan ekonomis produk simpanan. Dengan demikian, fasilitas penjaminan LPS
pada produk simpanan pada bank, yang terikat secara perdata karena perjanjian
(Vide : Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata/KUHPer), yaitu perjanjian
produk simpanan (tabungan, deposito, giro) dan terikat karena Undang-undang,
yang berdasarkan pasal 8 ayat 1 UU LPS setiap Bank yang melakukan kegiatan
usaha di wilayah Negara Republik Indonesia wajib menjadi peserta Penjaminan
(Vide : Pasal 1233 KUHPer). Dengan demikian, wilayah putusan tata usaha
negara yang dilaksanakan LPS dalam menentukan simpanan Penyimpan Dana di Bank,
yang layak bayar atau tidak layak bayar, berasal dari Perbuatan Hukum
Perdata yang karenanya bukanlah obyek gugatan PTUN (Vide : Pasal 2 angka
1 UU No.9/2004 jo UU No.5/1986).
Kedua,
masalah ganti rugi. Besarnya ganti rugi yang diperoleh Penggugat pada
PTUN berdasarkan pasal ayat 1 PP No.43/1991, paling banyak Rp 5 juta.
Pada kenyataannya tuntutan ganti rugi klaim penjaminan oleh Nasabah Penyimpan
dapat jauh lebih besar dari Rp 5 Juta. Sebagai contoh, Tuan B
merupakan nasabah deposan pada bank yang dicabut izin usahanya, yaitu di PT BPR
ABC (DL) dengan nilai Rp 2 Milyar (sebagaimana diketahui nilai simpanan yang
dijamin LPS setiap nasabah berdasarkan pasal 1 PP No.66/2008 paling banyak Rp 2
M). LPS baru dapat menentukan dan mengumumkan bahwa deposito Tuan B, 90 hari
setelah izin PT BPR ABC (DL) dicabut, dan saat itu suku bunga penjaminan
LPS untuk BPR adalah 7,75% per tahun. Setelah pengumuman tersebut, Tuan B
melakukan upaya keberatatan ke LPS yang memakan waktu 1 bulan misalnya, dengan
jawaban LPS bahwa simpanan Tuan B, tetap tidak layak bayar. Maka selanjutnya
menyusun gugatan dengan nilai ganti rugi berdasarkan suku bunga 7,75 pa, untuk
4 bulan atas deposito Rp 2 Milyar dan setelah dikurangi PPh, yaitu sebesar Rp
41.333.332,-. Dengan demikan tidak tepat didaftar perkarannya ke PTUN.
Jadi, tepatnya pengadilan yang dimaksud pada Pasal 20 ayat 1 huruf
b UU LPS, adalah Pengadilan Negeri, sebagaimana dimaksud pada pasal 1
angka 1 UU No.2/1986, yang telah diubah dengan UU No.49/2009 tentang Peradilan
Umum. Tentu pada Pengadilan Negeri atau peradilan umum, disamping dapat
melakukan gugatan perdata umum untuk klaim penjaminan kepada LPS, terbuka juga
dilakukan gugatan perdata khusus melalui pengadilan niaga jika obyek simpanan
yang diklaim sudah menjadi boedel pailit (Vide : Pasal 26 ayat
1 UU Kepailitan) dan melalui gugatan sederhana jika klaim penjaminan simpanan
paling banyak Rp 500 juta, sebagaimana diatur pada Perma No.2/2015/ jo
Perma No.4/2019.
(Penulis adalah seorang Pengamat Hukum &
Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
#HakNasabah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar