Resep “BPR” untuk BPR
Oleh : Kardi JFI*
Berdasarkan
data historis, eksistensi BPR (Bank Perkreditan Rakyat) atau rural bank, sudah lama menjalankan kegiatan usahannya di
sini. Dibandingkan dengan industri finansial lainnya, seperti, bank umum,
asuransi, perusahaan pembiayaan, pegadaian, reksa dana, maka dapat dikatakan
BPR telah memiliki usia yang relatif tua dan lama. Tetapi dari sisi perkembangannya, BPR masih termasuk inperior dibandingkan dengan usaha lembaga finansial lainnya.
Memang tak dapat dipungkiri denyut
pertumbuhan dan perkembangan BPR terasa
dan kentara dalam enam tahun terakhir. Hingga April 2012, jumlah BPR 1.667 dengan volume usaha BPR secara nasional sudah
mencapai angka Rp 58 Triliun atau sekitar 1%
dari total volume usaha industri finansial secara nasional.
Bila dibandingkan dengan
perkembangan industri finansial lainnya, maka perkembangan yang dialami dan
dijalani BPR masih relatif kecil, dan cenderung berada pada tataran deret
hitung, sementara industri finansial lainnya cenderung bertumbuh pada deret
ukur. Padahal, diperkiran potensi pasar
BPR atau kredit untuk Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM) masih relatif besar.
Berangkat dari hal-hal yang
disebutkan diatas, maka dapat dikatakan masih perlu dilakukan
perubahan-perubahan besar di lingkungan bisnis BPR untuk dapat merealisasikan
pertumbuhan dan perkembangan yang luar biasa atau berada pada tataran deret
ukur.
Salah satu upaya yang relevan
dilakukan untuk itu adalah melalui strategi Business Process Reengineering (selanjutnya disingkat : “BPR”). Pengertian “BPR” menurut
Michael Hammer dan James Champy (1993), is
the fundamental rethinking and radical redesign of business system to achieve
dramatic improvements in critical, contemporary measures of performance, such
as cost, quality, service and speed. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan,
“BPR” meliputi perubahan orientasi bisnis, reformasi aturan, dan kreasi dalam
penggunaan teknologi, yang kesemuannya mendorong pergeseran atau perubahan
secara mendasar, radikal, berproses, dan dramatis. Dengan
demikian ada empat kata kunci karakteristik perubahan dalam dalam pelaksanaan
“BPR”, termasuk tentunya untuk BPR, yaitu : 1) fundamental; 2) radikal; 3)
proses; 4) dramatis. Dengan perubahan yang dimaksudkan misalnya, maka akan
didapatkan perbaikan proses yang signifikan; pengurangan biaya secara drastis; dan dapat meningkatkan kecepatan, mutu, produk
dan jasa.
Karena perubahan yang terjadi
adalah besar dan signifikan maka sebelum
melakukan “BPR” untuk BPR, perlu dilakukan persiapan-persiapan yang baik dan
matang terlebih dahulu. Tak dapat
disangkal, fakta emperik menyatakan disamping telah banyak perusahaan
yang telah berhasil menjalani “BPR”, yang mengakibatkan mereka mendapatkan
kinerja yang berkelipatan pada deret ukur, ada juga tentunya perusahaan yang
mengalami kegagalan ketika melakukanya.
Menurut James Champy ( Reegineering Management, The Mandate for New
Leadership, 1995 ), ada beberapa isu dalam pelaksanaan “BPR”. Pertama, isu tentang tujuan. Pengurus
perusahaan/BPR harus dapat menetapkan tujuan bisnis yang konsisten dengan
proses, produk, tugas-tugas, kelompok kerja.
Kedua, isu tentang budaya.
Budaya perusahaan harus berubah total ke arah lingkungan budaya yang saling
percaya pada keberhasilan menyeluruh.
Ketiga, isu proses dan kinerja.
Pelaksanaan “BPR” memerlukan perubahan tujuan yang radikal, melalui
kepemimpinan bisnis, dan kemampuan politis untuk mencapainnya.
Keempat, isu tentang
masyarakat. Masyarakat diupayakan
harus menerima “BPR” secara bulat dalam kebersamaan.
Mengingat perubahan yang dijalankan bersifat fundamental dan radikal,
maka lazimnya keputusan untuk melakukan ”BPR” bersifat top down, seperti pemegang saham (Rapat Umum Pemegang Saham), Dewan Komisaris, Dewan Direksi. Walapun
begitu, bila sebuah BPR menjalankan “BPR” maka supaya berhasil maka sebaiknya
juga diikuti dengan upaya perbaikan secara berkesinambungan (continiuous improvement), dengan
menerapkan Total Quality Management
(TQM). Bagian yang terakhir ini biasanya lebih mudah dilakukan oleh BPR, karena
TQM bersifat botton up. TQM merupakan
cara meningkatkan kinerja secara terus menerus pada setiap level operasi atau
proses, dalam setiap area fungsional dari suatu organisasi, dengan menggunakan
semua sumber daya manusia dan modal yang tersedia. Dalam rangka menerapkan TQM sudah ada beberapa
konsep yang dapat diterapkan untuk mendukungnya, seperti konsep Kaizen, Six Sigma, MBNQA
(The Malcolm Baldrige National Quality
Award), dan lain-lain.
Bagaimana resep menjalankan
“BPR” pada BPR ? Tentu bisa mengacu kepada konsep menjalankan langkah-langkah
“BPR” sebagai sebuah alternatif, sebagaimana yang dikedepankan Andrews dan Susan K. Stalick ( Business Reengineering : The Survival Guide,
1994). Langkah yang dimaksudkan terdiri dari : 1) membuat kerangka
“BPR”; 2) menciptakan visi, nilai dan tujuan; 3) membuat desain baru mengenai
operasi bisnis; 4) pembuktian konsep; 5) merencanakan implementasi; 6)
memperoleh persetujuan implementasi; 7) implementasi perubahan ; 8) transisi ke
tahap continius improvement.
Faktor Pendukung
Jika “BPR” dengan baik dijalankan pada
industri BPR, maka dapat digunakan sebagai salah satu resep untuk memacu
pertumbuhan dan perkembangan usaha BPR pada tataran deret ukur, diantara
industri finansial lainnya. Sehingga, masyarakat akan semakin banyak menikmati
kehadiran BPR, dan kegiatan usaha BPR pun akan high return bagi para stage
holder-nya.
Tak dapat dipungkiri peraturan perundang-undangan dikeluarkan
instansi atau lembaga terkait, sudah ada beberapa yang mendukung
pelaksanaan ”BPR” untuk BPR, seperti persamaan skim penjaminan simpanan untuk
BPR dan Bank Umum; diperbolehkannya BPR
menjalankan produk-produk bank yang terkait dengan fee base income, seperti ATM (Anjungan Tunai Mandiri), payment point; penerapan perkembangan
teknologi informasi pada penyampaian laporan bulanan BPR ke Bank Indonesia,
Sistem Informasi Debitur; permodalan BPR; kian luasnya wilayah operasional BPR
(sebelumnya dipusatkan di daerah kecamatan), dan lain-lain.
Dalam pada itu, supaya implementasi
pengembangan BPR lebih kondusif pada masa yang akan datang, termasuk tentunya
dalam menerapkan “BPR”, maka masih dibutuhkan
faktor-faktor pendukung lainnya, khususnya dari sisi pengaturan. Hal-hal yang terkait dengan faktor
pendukung yang dimaksudkan akan dikedepankan pada uraian berikut.
Pertama, dimungkinkannya BPR melakukan penyertaan. Salah
satu faktor yang masih diperlukan dalam pelaksanaan Apex Bank adalah perihal
diperbolehkannya BPR untuk melakukan penyertaan. Dalam pada itu, faktor ini
juga penting bagi BPR untuk melakukan restrukturisasi kredit, seperti
menerapkan convert loan to equity di
kemudian hari.
Kedua, perlunya
ketentuan perluasan wilayah geografis jaringan kantor BPR, misalnya
lintas antar propinsi, khususnya propinsi yang masih dalam satu kawasan
(Seperti di kawasan Jabodetabek saat ini). Ada beberapa alasan dikatakan
demikian, misalnya 1) dengan dapat diterapkan ATM bagi BPR, seperti lewat
sarana ATM bersama, tentu memerlukan segmentasi geografis yang kian luas; 2)
dengan mulai diterapkannya beberapa perkembangan teknologi informasi pada
pengawasan BPR, seperti pada penyampaian laporan bulanan BPR, penerapan Sistem
Informasi Debitur pada BPR, akan mendukung efektifitas berjalannya pengawasan BPR, walapun satu BPR memiliki jaringan kantor
yang semakin luas. Dengan adanya pengaturan seperti ini, maka BPR yang telah
memiliki keunggulan produk BPR, akan leluasa mengembangkan usahannya ke wilayah
lain.
Ketiga,
dimungkinkannya BPR memiliki objek hak tanggungan untuk periode tertentu,
khususnya dalam rangka penyelamatan kredit.
Keempat, adanya
pengaturan insentif untuk restruksisasi usaha BPR, seperti kemudahan melakukan
merger/konsolidasi maupun akuisisi, insentif perpajakan, kelonggaran dalam
penerapan ketentuan BMPK atau legal
lending limit untuk transisi pelaksanaan restrukturisasi usaha BPR yang
dilakukan pihak terkait. Dalam pada itu, untuk melakukan restrukturisasi usaha
BPR, maka sudah sebaiknya dikedepankan sistem pelayanan perizinan yang
transparan dan sistematis.
( *Penulis adalah Training Leader di JFI )