Fungsi dan Efektivitas Pelatihan di BPR
Oleh : Kardi JFI*
Pelatihan merupakan salah satu
fungsi menajemen Sumber Daya Manusia (SDM) pada sebuah organisasi atau
perusahaan, termasuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dengan berjalannya secara
baik fungsi pelatihan, maka kinerja SDM dan/atau BPR akan cenderung berada pada tataran yang
tinggi. Dalam rangka menghadapi kecenderungan peningkatan iklim persaingan
usaha, fungsi pelatihan memiliki arti yang penting dan strategis dalam
membangun daya saing, kinerja dan efisiensi BPR.
Cakupan Pelatihan
Dalam implementasi manajemen SDM pada sebuah
perusahaan, seperti di BPR, antara kata-kata pelatihan dan pengembangan SDM
sering dipergunakan. Sasaran pelatihan adalah menyangkut dengan pekerjaan masa kini, jadi
memiliki sasaran jangka pendek. Hal itu bisa diketahui dari pengertian
pelatihan itu sendiri. Menurut R. Wayne M.dan Robert M.None (1991), pelatihan atau training adalah those
activities that serve to improve an individual’s performance on currently held
job or related to it. Dale S. Beach(1980), menyatkan pelatihn adalah ‘’the organized procedure by wich people
learn knowledge and/or skills for a definite pur pose. Sedangkan sasaran
pengembangan SDM atau karyawan berfokus pada peningkatan keahlian SDM untuk
masa yang akan datang atau memiliki lingkup jangka panjang.
Lingkup substansi sasaran pelatihan
dan pengembangan SDM dibagi tiga bagian utama yaitu 1) unsur pengetahuan atau kognitif, 2) unsur ketrampiran atau phisicomotor; 3) sikap atau afektif. Artikulasi utama pelatihan
adalah pada unsur keterampilan. Idealnya, pelatihan dan pengembangan SDM
dikatakan berhasil jika bisa meningkatkan unsur; pengetahuan, keterampilan,
sikap dari karyawan yang mengikutinya. Sebagai contoh karyawan yang telah terampil
dan berpengetahuan luas supaya produktif harus memiliki sikap yang baik di
perusahaan, seperti memiliki etos kerja atau motivasi dan integrasi yang
tinggi, bertanggung jawab dan memiliki disiplin yang tinggi.
Dalam pencapaian lingkup substansi
pelatihan tersebut, pelatihan yang dilaksanakan haruslah, tetap disesuaikan
dengan tahap-tahap kemampuan karyawan atau SDM. Dengan mengacu kepada Tahap kemampuan SDM menurut Bennet silalahi (1993), maka tahap kemampuan SDM BPR dibagi menjadi
lima bagian. Pertama, tahap karyawan
baru (novice). Pada bagian ini Pekerja atau SDM BPR sudah mengetahui prinsip dan prosedur
sesuatu pekerjaan dalam konteks yang bebas, yakni tanpa referensi. Ia
mengetahui sebab dan akibat sesuatu dan kegiatan, tetapi ia belum mampu
menerapkannya.
Kedua, tahap
karyawan pemula (beginner). Seseorang
karyawan pemula menerapkan apa yang diketahui dengan bantuan suatu matriks
kerja atau Sisdur dan seorang Pengawas. Ia belum bisa dilepas begitu saja tanpa
konsekwensi yang merugikan BPR atau fatal. Hasil kerjanya harus disetujui
pengawas, kalau tidak ia bisa menyimpang dari sasaran kerja atau Sisdur
Pekerjaan yang telah ditetapkan.
Ketiga, tahap
karyawan cakap dan tangkas (competence).
Dengan pengalaman, seorang karyawan pemula akan berkembang menjadi pekerja yang
tangkas. Dalam berbagai hal, Ia sudah tidak melihat matriks kerja dan pengawasan.
Bahkan, ia sudah mampu menggunakan inisiatif untuk memperkaya atau meningkatkan
mutu pekerjaannya.
Keempat, tahap
karyawan mahir (proficiency).
Seseorang Karyawan atau SDM mahir tidak lagi bekerja sesuai dengan petunjuk
tertulis atau lisan. Ia sudah dapat membaca situasi dan menarik kesimpulan
sendiri. Ia dapat membuat pilihan dari berbagai alternatif. Intuisinya sudah
mulai berkembang, dan kadang-kadang dapat diterapkan dengan berhasil. Ia mampu
berpikir secara kritis dan analitis, dan membuat kesimpulan dari pemikiran
seperti itu.
Kelima, tahap
karyawan ahli (expert). Seseorang
pekerja ahli memahami apa yang akan dilaksanakan berdasarkan pengertian dan
pengalaman. Keahliannya sudah mendarah daging tanpa disadari sehingga alat-alat
atau mesin yang digunakan sudah seperti bagian diri tubuhnya.
Persyaratan
Pelatihan
Program pelatihan di berbagai
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) telah banyak yang dijadikan sebagai bagian yang
esensial dari implementasi fungsi manajemen SDM, tapi tak dapat dipungkiri masih
banyak BPR yang belum menjadikannya sebagai
program yang penting. Kadangkala, disamping telah banyak BPR yang telah
berhasil berkat menjalankan atau mengikuti program pelatihan, namun disisi lain
ada juga pelatihan yang mengakibatkan beban bagi BPR karena tidak dipersiapkan
secara baik.
Supaya pelatihan bisa efektif mencapai tujuan BPR, yaitu
meningkatkan kinerja dan daya saing perusahaan, maka diperlukan beberapa
persyaratan. Menurut Dale Yoda (1981), supaya pelatihan dan
pengembangan SDM dapat berhasil dengan baik, maka harus diperhatikan beberapa
hal, yaitu indivual differences, relation
to job analysis, motivation, active participation, selection of traines,
selection training, methods.
Menurut D. Contifec ( 1993 ), supaya pelatihan berhasil dengan baik perlu
dipenuhi langkah-langkah pelatihan yaitu, 1) menentukan kebutuhan pelatihan dan
tujuannya; 2) memilih siapa yang memerlukan pelatihan; 3) menyusun program
pelatihan; 4) melaksanakan evaluasi hasil-hasil pelatihan. Sedangkan menurut Gary Dessler (1993), diperlukan empat
langkah untuk mengadakan pelatihan supaya bisa mencapai sasaran, yaitu 1)
analisa apakah masalahnya terletak pada kemampuan atau ketidak kemampuan; 2)
penyusunan tujuan pelatihan yang dapat diamati dan diukur; 3) pelaksanaan pelatihan
dengan teknik-teknik yang tercakup dalam pelatihan, dalam pekerjaan dan belajar
terprogram ;4) evaluasi untuk mengukur reaksi proses belajar/ latihan atau
penilaian.
Apa tujuan pelatihan bagi
karyawan pada sebuah BPR ? Tujuan pelatihan pada prinsipnya tidak lepas dari
lingkup sasaran pelatihan, yaitu peningkatan pengetahuan, keterampilan dan
sikap karyawan BPR. Tujuan itu bisa diwujudkan dalam beberapa hal diantaranya
akan dikedepankan pada uraian berikut.
Pertama, peningkatan
produktivitas atau kinerja. Pelatihan yang dilaksanakan dengan baik bisa
meningkatkan produktivitas SDM dan/atau
BPR. Sebagai contoh, bila sebelumnya seorang karyawan di sebuah BPR cuma bisa
mengerjakan pembukuan tabungan 3 (tiga) per jam dengan pelatihan karyawan yang
bersangkutan dimungkinkan bisa menghasilkan 6 (enam) Pembukuan tabungan per
jam.
Kedua, perencanaan
SDM. Dengan adanya pelatihan maka akan penting artinya pada fungsi perencanaan
SDM. Misalnya, kalau ada kebutuhan BPR akan karyawan baru, sudah bisa menggunakan
tenaga-tenaga dari dalam perusahaan karena karyawan yang ada sudah terlatih.
Ketiga, meningkatkan
kualitas pekerjaan karyawan. Melalui hasil pelatihan, karyawan akan
dipersiapkan untuk melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik, sehingga disamping
produktivitas kian tinggi, maka efisiensi pun akan cenderung bertambah tinggi.
Keempat ,
meningkatkan rasa percaya diri karyawan. Banyak karyawan di berbagai BPR yang
kerap masih ragu-ragu atau kurang percaya diri dikarenakan kurang terampil
melakukan pekerjaanya. Rasa percaya diri dan wibawa karyawan bisa dibangun
melalui pelaksanaan pelatihan yang baik. Misalnya seorang AO di BPR, dengan
mengikuti pelatihan Taksasi Jaminan atau Pengikatan Perjanjian dan Jaminan
Kredit, akan cenderung lebih percaya diri dalam memasarkan kredit BPR kepada
calon nasabah.
Kelima, meningkatkan
sikap positif. Bila perusahaan menyelenggarakan program pelatihan yang tepat
dan baik maka iklim serta kondisi perusahaan pada umumnya akan menjadi lebih
baik. Dalam suasana iklim kerja BPR yang baik maka sikap positif dari pekerja,
seperti loyalitas dan integritas, semangat kerja sama dalam tim akan bisa cepat
bertumbuh dan berkembang.
Keenam, meningkatkan
pemahaman karyawan dalam manajemen resiko. Usaha BPR, adalah usaha yang
didalamnya melekat resiko, baik resiko operasional, resiko kredit maupun resiko
pasar. Dengan berbagai pelaksanaan pelatihan terkait dengan BPR, maka kemampuan
karyawan dalam menghadapi resiko dalam kegiatan usaha BPR akan cenderung lebih
baik.
Karakteristik
Karyawan.
Unsur yang termasuk sangat esensional dalam pelatihan BPR adalah
karakteristik karyawan. Dengan mengetahui karakteristik karyawan maka akan
dapat diketahui dan diformulasikan jenis program pelatihan yang digunakan
sehingga program pelatihan yang digunakan bisa mencapai tujuan pelatihan.
Dengan mengacu pada hukum pareto dan matriks BCG (Boston Consulting Group,), Bennet
silalahi (1993), membagi golongan atau karakteristik karyawan menjadi empat
bagian. Hukum Pareto yang dimaksudkan menyatakan bahwa hanya 20 % produk suatu
perusahaan yang menghasilkan 80 % pendapatan perusahan. Sedangkan matriks BCG
yang dimaksudkan, yang biasanya dipakai sebagai salah satu bahan analisa dalam
manejemen pemasaran, membagi kategori atau jenis produk perusahaan atas empat
bagian, yaitu a) star (jenis
bintang); b) cash cow (kategori
tegar) ; c) dog (kategori kayu lapuk ); d) question mark ( kategori tanda tanya).
Apa saja karekteristik karyawan yang dimaksud ? Pertama, kategori bintang. Biasanya
karyawan seperti ini cepat menanjak produktivitasnya, tetapi cepat pula
merosot. Sama seperti produk trendy,
kategori karyawan pada bagian ini perlu dipertahankan, jika mungkin dari kategori
lainnya pun harus diupayakan menjadi bintang. Program pelatihan yang sesuai
dengan kategori ini adalah pelatihan Total
quality Control (TQC), Pengembangan
Strategi Pemasaran, Pelatihan Rencana Bisnis, pengembangan keperibadian menurut
Dale Carnagie, dan sejenisnya.
Kedua, kategori
tegar. Sebagian dari karyawan pada bagian ini mungkin masih dapat dijadikan menjadi
kategori bintang. Namun, mengingat umur dan masa kerja, ada baiknya mereka
diikutsertakan dapat program pelatihan pengembangan manajemen, supervisi,
hubungan antar manusia (human relation),
pembentukan karakter yang efektif, Domain Kecerdasan Interpersonal, Motivasi,
dan lain-lain.
Ketiga,
kategori kayu lapuk atau dahan mati. Karyawan-karyawan pada bagian ini perlu
dibangkitkan kembali semangat kerja mereka. Sedangkan program pelatihan yang
cocok pada katagori kayu lapuk ini adalah transaction
analysis (T-Group), sentivity training dan sejenisnya.
Keempat,
kategori tanda tanya. Untuk memastikan arah perkembangan karyawan pada bagian
ini, para karyawan perlu diikutsertakan dalam program pelatihan keterampilan,
seperti teknik menjual, akuntansi BPR, komputer, sistem dan prosedur, Kearsipan, dan
sejenisnya.
Pelatihan bagi karyawan pada BPR akan semakin memiliki
arti yang penting dan strategis pada masa kini maupun pada masa yang akan
datang, khususnya dalam meningkatkan peranan BPR diantara industri keuangan
lainnya. Dapat dikatakan, kebijakan yang dikedepankan Bank Indonesia
mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia nonor : 5/14/PBI/2003 tentang Kewajiban
Penyediaan dana Pendidikan dan pelatihan untuk Pengembangan Sumber Daya Manusia
Bank Perkreditan Rakyat, beberapa
waktu yang lalu adalah hal positif
dan konstruktif dalam pengembangan BPR. Oleh karena itu,p elaku industri BPR,
sudah sewajarnya menerapkan dengan baik ketentuan PBI tersebut sesuai dengan
kebutuhan dan karakteristik SDM BPR dan dari sisi Bank Indonesia atau OJK
nantinya, sudah sewajarnya mengawasi
pelaksanaannya secara kontiniu dan konsisten supaya semakin efektif.
( *Penulis adalah Training
Leader JFI ).