Keterkaitan
Produk Asuransi dengan BPR
Oleh
: Kardi JFI*
Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) merupakan salah satu bisnis institusi keuangan yang
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang signifikan, khususnya dalam enam
tahun terakhir. Mengingat hal tersebut, maka diperlukan berbagai upaya supaya
bisnis BPR dapat bertumbuh dan berkembang secara lebih baik lagi. Salah satu
upaya lain yang dapat ditempuh untuk mengwujudkan hal tersebut adalah semakin
meningkatkan keterkaitan (linkage)
bisnis BPR dengan bisnis lembaga-lembaga keuangan lainnya, seperti asuransi
misalnya. Karena tak dapat dipungkiri
keterkaitan bisnis Asuransi dan BPR masih belum maksimal dilakukan selama ini.
Bila dicermati keterkaitan antara
Bank Umum dan Asuransi dapat dikatakan sudah berlangsung dalam waktu yang lama.
Sebagian besar penyaluran dana premi dari nasabah asuransi, baik dari asuransi
jiwa maupun dari asuransi umum atau kerugian,
ditempatkan pada instrumen Deposito pada Bank Umum. Keterkaitan produk
bank umum dengan asuransi selama ini di sini dikenal dengan istilah bancassurance.
Apa saja keterkaitan bisnis yang
dapat dilakukan perusahaan asuransi dengan BPR, khususnya dalam membentuk
rantai nilai (value chain) yang
saling menguntungkan. Pertumbuhan kredit
yang disalurkan BPR dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami pertumbuhan.
Untuk untuk pertumbuhan portofolio kredit yang relative besar itu, tentu diperlukan juga prospek bisnis
asuransi, baik dalam produk asuransi jiwa kredit maupun asuransi jaminan
kredit. Sudah sebaiknya potensi yang baik tersebut dapat digarap oleh industri
asuransi.
Produk asuransi, seperti asuransi
jiwa kredit maupun asuransi untuk menjamin agunan kredit, memang diperlukan
oleh BPR dalam rangka mengelola resiko kredit bagi BPR. Hanya saja selama ini,
masih belum begitu tinggi penetrasi promosi produk asuransi kepada BPR. Mengingat hal tersebut, maka untuk
menciptakan keterkaitan usaha yang produktif, sudah sebaiknya perusahaan
asuransi dengan baik menangani
implementasi produk asuransi bagi BPR. Disamping itu, seiring dengan
perkembangan yang semakin kentara pada BPR, para pekerja BPR tentunya
membutuhkan produk asuransi, seperti asuransi jiwa, ansuransi pensiun, asuransi
kesehatan, dan lain-lain.
Terganjal KMK
Dari
sisi BPR, apa kira-kira produk yang dapat dipergunakan oleh perusahaan
asuransi. Tentu, jawabnya adalah produk yang terkait dengan produk funding, seperti Deposito
berjangka. Hanya saja, hubungan mesra
antara perusahaan asuransi dengan BPR saat ini terganjal dengan salah satu
Keputusan Menteri Keuangan (KMK), yaitu
KMK No : 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi
dan Perusahaan Reasuransi, sebagaimana disempurnakan melalui Peraturan Menteri
Keuangan Nomor : 135/PMK.05/2005. Ketentuan tersebut kurang mendukung perusahaan
asuransi untuk menempatkan deposito pada BPR, yaitu tidak diperhitungkan dalam
penentuan Risk Base Capital (RBC)
asuransi, karenanya sampai saat ini, perusahaan asuransi belum leluasa
menempatkan dananya pada BPR. Marilah kita simak isi pasal 1 ayat 1 KMK
No.424/KMK.06/2003. Disana dikatakan :”Bank
adalah Bank Umum sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang tentang Perbankan”. Jadi, pengertian bank pada
KMK tersebut, tidak termasuk BPR. Dalam KMK yang dimaksudkan, diatur batasan
penempatan Deposito perusahaan asuransi yang diikutkan dalam perhitungan RBC
adalah penempatan Deposito perusahaan asuransi pada Bank Umum. Berdasarkan
pasal 1 ayat 1 KMK No.424/KMK.06/2003,
kalau perusahaan asuransi menempatkan deposito pada BPR tidak
diiuktsertakan dalam perhitungan RBC (sejenis CAR diperbankan).
Untuk mendukung keterkaitan sistem
finansial, maka menteri keuangan ada baiknya menyempurnakan ketentuan
pembatasan bagi perusahaan asuransi untuk menempatkan dananya di BPR. Tentu,
ada beberapa alasan yang berkenaan dengan hal tersebut. Pertama, ditengah-tengah telah berlakunya ketentuan Lembaga
Penjaminan Simpanan (LPS) di perbankan
sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 24/2004, maka ketentuan KMK
No.424/KMK.06/2003 membatasi perusahaan
asuransi melakukan penempatan dalam bentuk deposito di BPR sebaiknya segera
diperbaharui. Saat ini, dana simpanan di Bank Umum dan BPR sudah sama-sama
dijamin.
Kedua,
kecenderungan semakin baiknya pengawasan BPR oleh Bank Indonesia, khususnya
melalui Direktorat pengawasan BPR. Disamping terus meningkatkan penagawasan
BPR, saat ini Bank Indonesia, juga aktif mendukung pengaturan untuk semakin
efektifnya penagawasan BPR, seperti melalui PBI (Peraturan Bank Indonesia)
Nomor : 7/51/PBI/2005 jo Surat Edaran Direktorat Pengawasan BPR Bank Indonesia
Nomor : 8/7/DPBPR/2006 tentang Laporan Bulanan BPR, sudah disampaikan secara
elektronis kepada Bank Indonesia. Dalam pada itu, untuk mendukung transparansi
keuangan BPR, semenjak 5 Oktober 2006 yang lalu Bank Indonesia, telah
mengundangkan PBI No 8/20/PBI/2006 tentang Transparansi Kondisi Keuangan BPR. Dalam pada itu, system akuntansi pada BPR
sudah menerapkan pedomanan akutansi yang baru melalui penerapan SAK ETAP dan PA
BPR.
Pada
masa lalu, memang ada BPR yang sulit melakukan pencairan Deposito para
nasabahnya, tetapi untuk saat ini, hal seperti itu sudah tipis kemungkinan
terjadinya, apalagi dengan berlakunya lembaga pejaminan simpanan (LPS), PBI
No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data
Pribadi Nasabah, PBI No.7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
Diperkirakan
ketika pengawasan BPR beralih ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maka pengawasan
pada usaha BPRberpotensi cenderung
semakin baik.
Ketiga,
suku bunga. Suku bunga deposito di BPR, masih cenderung lebih baik bila
dibandingkan dengan bank umum. Dengan demikian, return investasi deposito di BPR masih cenderung lebih menarik.
Keempat,
untuk mendukung terciptanya kesetimbangan volume usaha diantara industri
finansial, maka perlu diberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi untuk
dapat menempatkan deposito di BPR. Fakta emperik menyatakan, ketika sebagian
besar bank umum bermasalah di penghujung tahun 1997 sampai tahun 1998 yang
lalu, menimbulkan krisis ekonomi yang relatif lama. Saat itu volume usaha
industri finansial berada di tangan bank umum.
Akhirnya, penempatan dana perusahaan asuransi akan cenderung lebih
besar ke BPR kalau ketentuan KMK
No.424/KMK.06/2003 yang membatasi perusahaan asuransi membatasi penempatan
depositonya pada BPR dapat diperbaiki. Untuk hal tersebut, sudah sebaiknya
Menteri Keuangan dapat menyempurnakan ketentuan pasal 1 ayat 1 KMK
No.424/KMK.06/2003 yang berisi batasan
bagi perusahaan asuransi untuk menempatkan deposito pada BPR. Bila hal
tersebut dapat dilakukan, penyebaran portofolio investasi pada industri
keuangan akan kian tersebar dengan, sehingga resikonya pun cenderung lebih
mudah dikendalikan secara nasional.
Supaya keterkaitan antara perusahaan
asuransi dengan BPR dapat menciptakan rantai nilai yang saling menguntungkan,
maka masing-masing para pihak haruslah menyajikan pelayanan prima dan saling
menguntungkan. Misalnya, kalau muncul resiko yang diasuransikan BPR, maka
diharapkan perusahaan asuransi dengan cepat dapat melayaninya sesuai dengan
kontrak polis asuransi. Begitu juga BPR yang mengelola portofolio deposito
perusahaan asuransi misalnya, sudah sebaiknya melakukan penghitungan dan
pembayaran bunga secara akurat dan tepat waktu.
Peningkatan keterkaitan
perusahaan asuransi dengan BPR akan
besar artinya dalam mendukung peningkatan volume usaha perusahaan asuransi dan
BPR. Oleh karena itu, instansi yang terkait dengan pembinaan dan penagawasn
asuransi, sudah seharusnya melakukan berbagai kebijakan yang positif dan
konstruktif untuk mendukung peningkatan keterkaitan perusahaan asuransi dengan
BPR. Semoga.
( *Penulis
adalah Training Leader pada JFI dan
Advokat, serta Alumnus Program Hukum
Kegiatan Ekonomi FH-UI, PIN BB = 27DA4B26,
Email = jfipusat@gmail.com
)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar