Catatan Hukum :
Perihal
Perlindungan Hukum bagi Pembeli Beritikad
Baik atas Sebidang Tanah
Oleh : Kardi Pakpahan*
Bagaimana sekiranya Piter (bukan nama sebenarnya),
telah membeli sebidang tanah kosong dengan bukti kepemilikan Hak Milik dari Tigor
(bukan nama sebenarnya) dan sudah menempuh
prosedur standar dalam proses pembelian lahan, yaitu menyepakati harga
jual beli dengan Penjual, memeriksa
dokumen kepemilkan tanah, dilakukan
pengecekan status alas hak tanah ke kantor pertanahan atau Badan
Pertanahan Nasional (BPN), pembuatan akta
jual beli dilakukan oleh PPAT/Notaris yang bewewenang serta dilaksanakan proses balik nama sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Setelah dua tahun, tatkala Piter telah rampung
membangun rumah di atas tanah yang dibeli dari Penjual, yang telah
dicita-citakannya selama 15 tahun sejak bekerja di sebuah perusahaan swasta,
tiba-tiba ada 2 pihak, yaitu Dame (bukan
nama sebenarnya) dan Jojor (bukan nama
sebenarnya), mengajukan gugatan perbuatan melawaan hukum
melalui pengadilan negeri tentang jual-beli
tanah yang dilakukan oleh Piter dan Tigor. Tentu, Piter merasa kuatir dengan gugatan
tersebut, dengan 2 alasan utama. Alasan pertama,
bahwa Piter telah menabung sekitar 15 tahun untuk dapat membeli tanah tersebut.
Kedua, untuk membangun rumah di atas
tanah tersebut, Piter mendapatkan fasilitas pinjaman dari salah satu bank
swasta.
Bagaimana perlindungan hukum terhadap Piter, yang
membeli sebidang tanah dari Tigor ? Setelah berkas gugatan dipelajari Piter, didapatkan
data-data sebagai berikut. Pertama,
asal tanah memang asalnya dari warisan orang tua Tigor yang lebih lama hidup,
yang bernama Tingkos (bukan nama sebenarnya). Pada dokumen keterangan waris
yang diketahui Piter sebelumnya, ada 3 orang ahli waris dari orang tua Tigor, yaitu Tigor, Tagor (bukan nama sebenarnya)
dan Togar (bukan nama sebenarnya). Tanah yang dibeli Piter merupakan pemecahan
dari tanah, dengan alas hak milik, objek warisan dari orang tua mereka. Dari berkas gugatan
itu, didapatkan keterangan bahwa ahli waris dari dari orangtua Tigor sebetulnya
ada 5 orang, yaitu Tigor, Tagor, Togar, Dame dan Jojor.
Untuk melihat perlindungan hukum kepada Piter atas
jual beli tanah yang dilakukan dengan Tigor, pertama-tama dapat dicermati
melalui keabsahan perjanjian dan kekuatan mengikat sebuah perjanjian. Dari sisi
keabsahan perjanjian, yaitu perjanjian jual beli tanah, yang dibuat dengan akta
otentik, prinsipnya sudah memenuhi pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPer). Adapun 4 syarat sahnya perjanjian, yang diatur pada pasal 1320 KUHPer
adalah 1) sepakat mereka yang mengikatkan diri pada suatu perjanjian; 2)
kecakapan untuk bertindak melakukan suatu perjanjian; 3) suatu hal tertentu; 4)
suatu sebab yang halal atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Akibat hukum suatu perjanjian yang telah dibuat para
pihak secara sah, dapat diketehui dari pasal
1338 HUHPer. Disana dikatakan :”Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”. Dalam pada itu, pada pasal 1338 ayat 2 KUHPer juga
disebutkan :” Suatu perjanjian tidak
dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”. Perjanjian
jual beli tanah antara Piter dan Tigor
harus juga dilaksanakan dengan itikad baik (vide: pasal 1338 ayat 3 KUHPer).
Dari sisi syarat sahnya perjanjian dan proses jual
beli tanah yang telah dilakukan, maka dapat dikatakan bahwa Piter adalah
termasuk pembeli beritikad baik. Untuk mengetahui batasan pembeli tanah
beritikad baik itu , dapat diketahui dari
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.4/2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Republik Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas
bagi Pengadilan (halaman 6 sd 7). Pada
SEMA No.4/2016 dikedepankan 2 kriteria pembeli beritikad baik yang perlu
dilindungi.
Pertama,
melakukan jual beli atas obyek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan
dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundangan-undangan,
yaitu : 1) Pembelian tanah melalui
pelelangan umum atau 2) Pembelian tanah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (
sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor : 24/1997 atau ; 3)
Pembelian terhadap tanah milik adat/yang belum terdaftar yang dilaksanakan
menurut ketentuan hukum adat, yaitu : a) dilakukan secara tunai dan terang (dihadapan/diketahui
Kepala Desa/Lurah setempat); b) didahului dengan penelitian mengenai status
tanah obyek jual-beli dan berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa
tanah obyek jual beli adalah milik penjual; 4) Pembelian dilakukan dengan harga
yang layak.
Kedua,
melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek yang
diperjanjaikan antara lain : 1) Penjual adalah orang yang berhak/memiliki hak
atas tanah yang menjadi obyek jual beli, sesuai dengan bukti kepemilikan, atau
2) Tanah/objek yang diperjualbelikan tersebut tidak dalam status disita; atau
3) Tanah objek yang diperjualbelikan tidak dalam status jaminan/hak tanggungan,
atau 4) Terhadap tanah yang bersertifikat, telah memperoleh keterangan dari BPN
dan riwayat hubungan hukum antara tanah tersebut dengan pemegang sertifikat.
Bagaimana perlindungan bagi pembeli tanah yang
beritikad baik, sebagaimana yang disebutkan pada SEMA No.4/2016 ? Untuk
mengetahuinya dapat dibaca pada butir IX SEMA No.7/2012. Pertama, Perlindungan harus diberikan kepada Pembeli beritikad baik
sekalipun kemudian diketahui bahwa Penjual adalah orang yang tidak berhak
(Objek jual beli tanah). Kedua,
Pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada Penjual yang
tidak berhak.
Dengan demikian, dalam jual beli atas tanah yang
disebutkan di atas, Pembeli, yaitu Piter pada posisi yang dilindungi, kalau pun Pemilik asal mau meminta
ganti rugi, harus mengajukannya kepada Penjual, yaitu Tigor.
(*Kardi Pakpahan, seorang advokat dan trainer di bidang Perbankan/Hukum)