Catatan
Hukum :
Kaitan Amar Putusan Deklaratoir
dengan Amar Komdemnatoir dalam Perkara Perdata
Oleh : Kardi Pakpahan*
Bagaimana sekiranya bila amar putusan
kondemnatoir pada perkara perdata dengan
pokok perkara perbuatan melawan hukum, yang diputuskan tanpa memutus pokok
perkara perdata, yang bersifat deklatoir ? Untuk melihat bagaimana hubungan diantara
amar putusan Deklatoir dengan putusan kondemnatoir pada uraian berikut
dikedepankan pengertian 3 sifat amar
putusan perkara perdata. Pertama, putusan
deklaratoir (declaratoir vonnis).
Sifat putusan ini merupakan penjelasan atau penetapan tentang suatu hak maupun
status, yang berisi tentang pernyataan atau penegasan tentang suatu keadaan
atau kedudukan hukum semata-mata.
Misalnya, menurut M. Yahya Harahap, SH (2005 : 876), tentang gugatan dengan pokok perkara perbuatan
melawan hukum, berdasarkan pasal 1365 KUHPer, jika gugatan dikabulkan maka putusan didahului dengan amar deklaratoir
berupa pernyataan :”bahwa tergugat telah bersalah
melakukan perbuatan melawan hukum” atau “Menyatakan demi hukum perbuatan Tergugat merupakan perbuatan melawan
hukum kepada Penggugat”. Sedangkan bila pokok gugatan misalnya tentang
wanprestasi maka amar deklatoirnya :”Menyatakan
demi hukum perbuatan Tergugat wanprestasi kepada Penggugat”.
Kedua,
putusan konstitutif ( constitutief vonnis)
adalah putusan yang memastikan suatu keadaan hukum, baik bersifat meniadakan
suatu keadaan hukum maupun menimbulkan keadaan hukum baru. Misalnya amar
putusan konstitutif perkara perceraian :”Menyatakan
perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat putus karena perceraian dengan
segala akibat hukumnya”. Putusan perceraian ini meniadakan keadaan hukum, yakni tidak ada
lagi ikatan hukum antara suami dan istri sehingga putusan itu meniadakan
hubungan perkawinan yang ada, bersamaan dengan itu mengemua keadaan hukum baru
kepada suami istri sebagai Duda dan Janda.
Ketiga,
putusan kondemnatoir (comdemnatoir) adalah putusan yang memuat
amar yang menghukum salah satu pihak
berperkara. Putusan yang bersifat kondemnatoir merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari amar deklaratif atau konstitutif. Contoh amar
putusan kondemnatoir misalnya kalau pokok perkaranya wanprestasi : “Menghukum TERGUGAT untuk membayar seluruh hutangnya
kepada PENGGUGAT, yaitu berupa pokok pinjaman, bunga, dan denda, berdasarkan
Surat Perjanjian Kredit Nomor : 072/3319/5/PB/X/2017 tanggal 30 Oktober 2017,
sebesar Rp 620.887.500,-, yang terdiri dari : Pokok Pinjaman Rp. 500.000.000,-; Tunggakan Bunga Rp. 112.750.000,- ; Denda Rp. 8.137.500”
sedangkan kalau pokok perkaranya misalnya perbuatan melawan hukum, maka contoh
amar putusan komdemnatoirnya :’Menghukum
Tergugat untuk mengembalikan harta warisan Penggugat dalam
keadaan kosong dan baik, tanpa beban apapun”.
Menurut M. Yahya Harahap, SH (2005 :
877), amar putusan komdentaoir merupakan satu kesatuan dengan amar deklaratif
sehingga amar deklaratoir merupakan condition
sine qua non atau syarat mutlak untuk menjatuhkan putusan komdemnatoir dan
penempatan amar deklatoir dalam putusan yang bersangkutan, mesti ditempatkan
mendahului amar kondemnatoir atau dengan perkataan lain amar putusan
komdemnatoir merupakan asesoir dari amar putusan deklaratoir.
Kembali ke pertanyaan di awal
tulisan ini, bagaimana misalnya dalam sebuah putusan perkara perdata dengan pokok perkara
perbuatan melawan hukum, membuat putusan kondemnatoir seperti :” ’Menghukum Tergugat untuk mengembalikan
harta warisan Penggugat dalam keadaan
kosong dan baik, tanpa beban apapun”, tanpa membuat atau didahului dengan
amar putusan deklaratoir, seperti :”Menyatakan
demi hukum perbuatan Tergugat merupakan perbuatan melawan hukum kepada
Penggugat”. Mengingat amar deklaratoir merupakan condition sine qua non atau syarat mutlak untuk menjatuhkan putusan
komdemnatoir atau amar putusan komdemnatoir merupakan asesoir terhadap amar
putusan deklatoir, maka amar putusan seperti hal tersebut mengandung cacad
hukum.
(*Penulis adalah Praktisi Hukum dan Trainer)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar