FORUM BPR
Merupakan komunitas stake holder BPR
Selasa, 16 Mei 2023
Jumat, 09 Oktober 2020
Perihal Kompetensi Absolut Pengadilan untuk Penanganan Perkara Klaim Penjaminan Nasabah pada LPS
Catatan Hukum :
Perihal Kompetensi Absolut Pengadilan untuk
PenangananPerkara Klaim Penjaminan Nasabah pada LPS
Oleh : Kardi Pakpahan*
Salah satu bagian penting akibat dilakukannya pencabutan izin usaha bank adalah
pada aktivitas pembayaran klaim simpanan nasabah pada bank yang dicabut izin
usahanya, baik produk tabungan, deposito, maupun giro. Institusi yang melakukan
penjaminan simpanan nasabah di bank saat ini di sini adalah Lembaga Penjaminan
Simpanan (LPS). Pada pasal 10 UU No.24/2004 sebagaimana diubah dengan UU
No.7/2009, yang disebut juga dengan UU LPS, disebutkan :”LPS menjamin Simpanan
nasabah bank yang berbentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan,
dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu ".
Masalahnya, klaim simpanan nasabah sebagai
konsekusensi ditutupnya sebuah bank, sering harus berakhir di Pengadilan,
gegara simpanan dinyatakan tidak layak bayar menurut LPS. . Selama ini, klaim
simpanan itu dilakukan melalui pengadilan umum atau pengadilan Negeri. Tetapi
ada juga wacana belakangan ini yang menyatakan bahwa pengadilan yang berhak
untuk memproses klaim tersebut adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Apakah memang demikian ?
Pada
pasal 16 ayat 3 UU LPS, disebutkan : “LPS wajib menentukan Simpanan
yang layak dibayar, setelah melakukan rekonsiliasi dan verifikasi atas data
Nasabah Penyimpan dan informasi lain, yang diperoleh LPS dari LPP (Lembaga
Pengawas Perbankan) dan/atau Bank dalam rangka penghitungan dan pembayaran
klaim Penjaminan selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung
sejak izin usaha bank dicabut”.
Simpanan
yang tidak layak bayar itu dapat diketahui dari batasan yang diatur pada pasal
19 ayat 1 UU LPS. Disana dikatakan :”Klaim Penjaminan dinyatakan tidak layak
dibayar apabila berdasarkan hasil rekonsiliasi dan/atau verifikasi : a) data
Simpanan nasabah dimaksud tidak tercatat pada bank; b) Nasabah Penyimpan
merupakan pihak yang diuntungkan secara tidak wajar; dan/atau; c) Nasabah
Penyimpan merupakan pihak yang menyebabkan keadaan bank menjadi tidak sehat”.
Dalam
hal Nasabah Penyimpan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) UU LPS,
merasa dirugikan maka nasabah dimaksud dapat melakukan upaya hukum
melalui pengadilan ( Vide : Pasal 20 ayat 1 huruf b UU LPS). Masalahnya
baik dalam UU LPS atau penjelasannya tidak ditentukan kompetensi absolut
pengadilan apa yang memeriksa dan mengadili sengketa klaim
penjaminan simpanan pada LPS.
Kompetensi absolut merupakan pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan
dilihat dari macamnya pengadilan yang meliputi pemberian
kekuasaan untuk mengadili. Saat ini kompetensi absolut pengadilan dibagi dalam
4 (empat) lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum (mengadili perkara pidana
dan perdata), peradilan agama (khususnya mengadili perkara perkawinan dan
kewarisan bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam), peradilan militer
(mengadili militer yang melakukan kejahatan), dan peradilan tata usaha negara
(mengadili sengketa tata usaha negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan
tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku).
Apakah dimungkinkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk mengadili
perkara klaim Penjaminan simpanan setelah LPS menentukan simpanan yang layak
bayar atau simpanan yang tidak layak bayar melalui serangkaian
rekonsiliasi dan verifikasi data simpanan yang diperoleh LPS dari LPP dan/atau
Bank yang dicabut izin usahannya ? Kalau dilihat dari konteks UU LPS di
satu sisi dan UU No.5/1986, sebagaimana diubah dengan UU No.9/2004 dan UU
No.51/2009 yang disebutkan juga dengan UU Peradilan Tata Usaha Negara atau UU
PTUN di sisi lain, maka dapat dikatakan dari sisi kompetensi absolut Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN) tidaklah berwenang mengadili perkara klaim simpanan
kepada LPS. Apa alasan dikatakan demikian ?
Pertama,
LPS sebagai salah badan tata usaha negara hanya menentukan simpanan
yang layak bayar atau tidak layak bayar berdasarkan data transaksi keuangan
nasabah penyimpanan dana dari bank yang dicabut izin usahanya dengan melakukan
rekonsiliasi dan verifikasi, tidaklah mengandung penetapan (beschikking)
maupun pernyataan kehendak (wilsorming). Sehingga peristiwa hukum
tersebut adalah peristiwa hubungan hukum perdata, bukanlah merupakan keputusan
badan atau pejabat tata usaha negara. Sehingga kalau nasabah penyimpan
memperkarakan keberatannya karena LPS menyatakan simpannya pada bank yang
ditutup tidak layak bayar, haruslah kepada Pengadilan Negeri atau Peradilan
Umum.
Ikatan transaksi keuangan simpanan nasabah
pada bank yang dicabut izinya adalah dalam konteks hubungan hukum perdata, yang
mengandung fasilitas penjaminan dari LPS kalau bank dicabut izinya . Perikatan
nasabah penyimpan dana dengan bank dalam hal transaksi keuangan simpanan
bersumber dari persetujuan atau perjanjian (vide : pasal 1320 KUHper jo pasal
1338 KUHPer). Sedangkan ikatan nasabah penyimpan dana di bank dengan LPS yang
wajib diikutkan dalam program penjaminan merupakan perikatan yang timbul
dari sisi undang-undang (Vide : pasal 1233 KUHPer).
Dapat dikatakan, tugas LPS dalam menentukan
simpanan nasabah Penyimpan yang layak atau tidak layak bayar merupakan
instrument hukum publik pemerintah yang tidak memiliki sifat sepihak dan
individual, karena dalam program penjaminan ada nasabah penyimpan dan bank
(baik bank konvesional maupun syariah). Kalau LPS melakukan kesalahan atau
kelalaian, , baik sengaja maupun kealpaannya, dalam menjalankan ketentuan atau
peraturan sehubungan dengan tugas, fungsi dan wewenangnya dalam melaksanakan
penjaminan kepada simpanan nasabah penyimpan, maka tidaklah masuk dalam
kompetensi absolut PTUN, tetapi adalah kompetensi absolute Peradilan atau
Pengadilan Negeri atau pengadilan umum.
Dari sisi lapisan produk, maka dapat dikatakan
fasilitas penjaminan LPS pada produk simpanan perbankan merupakan lapisan yang
ketiga dan untuk itu perbankan membayar kontribusi kepesertaan dan premi
penjaminan kepada LPS serta menyerahkan dokumen-dokumen penjaminan. Lapisan
pertamanya, nama produk simpanan (Tabungan, Deposito, Giro), Lapisan Keduanya
perhitungan ekonomis produk simpanan. Dengan demikian, fasilitas penjaminan LPS
pada produk simpanan pada bank, yang terikat secara perdata karena perjanjian
(Vide : Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata/KUHPer), yaitu perjanjian
produk simpanan (tabungan, deposito, giro) dan terikat karena Undang-undang,
yang berdasarkan pasal 8 ayat 1 UU LPS setiap Bank yang melakukan kegiatan
usaha di wilayah Negara Republik Indonesia wajib menjadi peserta Penjaminan
(Vide : Pasal 1233 KUHPer). Dengan demikian, wilayah putusan tata usaha
negara yang dilaksanakan LPS dalam menentukan simpanan Penyimpan Dana di Bank,
yang layak bayar atau tidak layak bayar, berasal dari Perbuatan Hukum
Perdata yang karenanya bukanlah obyek gugatan PTUN (Vide : Pasal 2 angka
1 UU No.9/2004 jo UU No.5/1986).
Kedua,
masalah ganti rugi. Besarnya ganti rugi yang diperoleh Penggugat pada
PTUN berdasarkan pasal ayat 1 PP No.43/1991, paling banyak Rp 5 juta.
Pada kenyataannya tuntutan ganti rugi klaim penjaminan oleh Nasabah Penyimpan
dapat jauh lebih besar dari Rp 5 Juta. Sebagai contoh, Tuan B
merupakan nasabah deposan pada bank yang dicabut izin usahanya, yaitu di PT BPR
ABC (DL) dengan nilai Rp 2 Milyar (sebagaimana diketahui nilai simpanan yang
dijamin LPS setiap nasabah berdasarkan pasal 1 PP No.66/2008 paling banyak Rp 2
M). LPS baru dapat menentukan dan mengumumkan bahwa deposito Tuan B, 90 hari
setelah izin PT BPR ABC (DL) dicabut, dan saat itu suku bunga penjaminan
LPS untuk BPR adalah 7,75% per tahun. Setelah pengumuman tersebut, Tuan B
melakukan upaya keberatatan ke LPS yang memakan waktu 1 bulan misalnya, dengan
jawaban LPS bahwa simpanan Tuan B, tetap tidak layak bayar. Maka selanjutnya
menyusun gugatan dengan nilai ganti rugi berdasarkan suku bunga 7,75 pa, untuk
4 bulan atas deposito Rp 2 Milyar dan setelah dikurangi PPh, yaitu sebesar Rp
41.333.332,-. Dengan demikan tidak tepat didaftar perkarannya ke PTUN.
Jadi, tepatnya pengadilan yang dimaksud pada Pasal 20 ayat 1 huruf
b UU LPS, adalah Pengadilan Negeri, sebagaimana dimaksud pada pasal 1
angka 1 UU No.2/1986, yang telah diubah dengan UU No.49/2009 tentang Peradilan
Umum. Tentu pada Pengadilan Negeri atau peradilan umum, disamping dapat
melakukan gugatan perdata umum untuk klaim penjaminan kepada LPS, terbuka juga
dilakukan gugatan perdata khusus melalui pengadilan niaga jika obyek simpanan
yang diklaim sudah menjadi boedel pailit (Vide : Pasal 26 ayat
1 UU Kepailitan) dan melalui gugatan sederhana jika klaim penjaminan simpanan
paling banyak Rp 500 juta, sebagaimana diatur pada Perma No.2/2015/ jo
Perma No.4/2019.
(Penulis adalah seorang Pengamat Hukum &
Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
#HakNasabah
Selasa, 08 September 2020
Opini : Penggunaan Cap Jempol pada Dokumen di Bawah Tangan
Opini :
Penggunaan Cap Jempol pada Dokumen di
Bawah Tangan
(Transaksi Pengalihan Tanah dan Pendaftaran
Tanah pada Kantor Pertanahan)
Penggunaan Cap Jempol dalam berbagai pembuatan
dokumen di bawah tangan masih sering dilakukan. Dokumen yang dimaksudkan
misalnya pada Surat Perjanjian, Surat
Pernyataan, Surat Persetujuan, dan lain-lain. Sebagai contoh, penulis pernah
temukan sebuah dokumen perjanjian pengalihan tanah yang belum terdaftar (masih
status girik), dari pihak yang mengalihkan menggunakan cap jempol tanpa
dilegaslisasi Notaris, yang kemudian digunakan untuk pendaftaran tanah sampai
dikeluarkan status Sertifikat Hak Milik (SHM) pada sebuah kantor pertanahan.
Dari sisi hukum supaya cap jempol sah,
memerlukan syarat tertentu sebagaimana diatur pada pasal 1874 ayat 2 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KHUPer) jo pasal 286 ayat 2 RBg. Pada pasal 1874
ayat 2 KUHPer disebutkan :” Dengan
penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap
jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau
seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang yang menyatakan bahwa
pembubuhan cap jempol itu dikenal olehnya atau telah diperkenalkan kepadanya,
bahwa di akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap
jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan pejabat yang
bersangkutan. Pegawai ini harus membuktikan tulisan tersebut”. Sedangkan
pada pasal 286 ayat 2 RBg atau Reglement
Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura dinyatakan
:”Cap jari atau cap jempol yang
dibubuhkan di bawah surat di bawah tangan disamakan dengan tanda tangan asal
disahkan dengan suatu surat keterangan yang bertanggal oleh notaris atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang dan menerangkan bahwa ia mengenal
pemberi cap jari atau cap jempol yang diperkenalkan kepadanya, dan bahwa isi
akta itu telah dijelaskan kepada si pembubuh cap jari dan bahwa cap jari
tersebut dibubuhkan di hadapannya”. Dengan demikian, supaya dokumen di
bawah tangan - yang bukti persetujuannya melalui cap jempol disamakan dengan
tanda tangan manakala pembubuhan cap cempol dilaksanakan di hadapan notaris
atau pejabat lain yang diatur oleh Undang-undang dan tanggal pembubuhan cap jempol pada
dokumen tersebut di hadapan notaris, dihitung tanggal mulai berlakunya dokumen
di bawah tangan tersebut. Proses pengesahan tanda tangan atau cap jempol di
hadapan notaris, saat ini dikenal dengan istilah Legalisasi.
Notaris,
dalam jabatannya, berwenang mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian
tanggal surat di bawah tangan, dengan mendaftar dalam buku khusus. Ketentuan
ini, merupakan pengertian legalisasi terhadap akta di bawah tangan, yang dibuat
sendiri oleh orang perseorangan, atau oleh para pihak, di atas kertas yang
bermaterai cukup, dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus, yang disediakan
oleh Notaris. Ringkasnya, inti dari legalisasi ini adalah, para pihak membuat
suratnya, dibawa ke Notaris, lalu menandatanganinya di hadapan Notaris,
kemudian dicatatkan dalam Buku Legalisasi. Tanggal pada saat penandatanganan
dihadapan Notaris itulah, sebagai tanggal terjadinya perbuatan hukum, yang
melahiran hak dan kewajiban antara para pihak sebagaimana diatur pada pasal 15
ayat 2 hurtuf a UU No.30/2004 yang
diubah dengan UU No.2/2014 tentang UU Jabatan Notaris.
Legalisasi tentu berbeda dengan warmerking atau legalisir. Warmerking dilakukan Para Pihak
manakala atas perjanjian di bawah tangan yang sudah
ditandatangani beberapa hari atau waktu sebelumnya, dibawa ke Notaris
untuk didaftarkan dalam Buku Pendaftaran Surat di Bawah Tangan
(Vide : pasal 15 ayat 2 huruf b UU Jabatan Notaris).
Legalisir adalah kewenangan
Notaris pada proses pencocokan dokumen fotocopy dengan dokumen asli di bawah
tangan. Notaris akan memberikan cap atau stempel dan paraf di setiap halaman
fotocopy dan pada halaman paling belakang, Notaris akan memberikan tanda tangan
serta keterangan bahwa dokumen fotocopy tersebut sama dengan dokumen asli yang
diperlihatkan di hadapan Notaris (Vide : Pasal 15 ayat 2 huruf c UU Jabatan
Notaris).
Dengan
demikian, bagaimana sisi hukum bagi pihak ketiga yang dirugikan pada pengalihan
tanah, yang disinylair merupakan budel waris Pihak Ketiga dan belum terdaftar,
yang dilakukan dengan cap jempol yang dari pihak yang mengalihkan dan tidak
dilegalisasi Notaris, kepada pihak yang menerima pengalihan, dan digunakan
sebagai dokumen permohonan pendaftaran tanah pertama di kantor pertanahan
sampai terbit sertifikat Hak Milik ? Sisi
Hukum utamanya dapat dilihat dari 3 hal.
Pertama, tentang keabsahan dan kekuatan
mengikat perjanjian. Supaya sebuah Perjanjian, seperti Perjanjian di bawah
tangan atas pengalihan tanah yang belum terdaftar, supaya sah dan mengikat
(Vide : pasal 1320 KUHPer jo 1338 KUHPer) harus memenuhi 4 syarat, yaitu 2 syarat
subyektif yaitu a) adanya kata sepakat; b) pihak yang melakukan perjanjian
sudah Dewasa dan 2 syarat obyektif, yaitu a) hal tertentu; b) sesuatu yang halal atau
yang diperjanjikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika syarat
subyektif Perjanjian tidak dipenuhi, misalnya pihak yang mengalihkan lagi sakit keras dipaksa membubuhkan cap
jempolnya pada perjanjian pengalihan tanah maka perjanjian tersebut dapat
dibatalkan. Sedangkan bila syarat obyektif tidak dipenuhi, misalnya terhadap
perjanjian di bawah tangan pengalihan tanah yang belum terdaftar dengan cap
jempol dari pihak yang mengalihkan tidak
dilegalisasi Notaris, maka Perjanjian tersebut dapat dinyatakan batal demi
hukum, yang karenanya sertifikat hak milik, yang diperoleh dari perjanjian
pengalihan tersebut dapat dikatakan tidak sah atau tidak mengikat serta dapat
dimintankan pembatalannya.
Kedua, perbuatan melawan
hukum. Rangkaian peristiwa membuat Perjanjian di bawah tangan atas pengalihan
tanah yang belum terdaftar dengan menggunakan cap jempol dari pihak yang
mengalihkan dan tidak dilegalisasi Notaris, yang sesungguhnya masih obyek
sengketa waris dan menggunakannya sebagai dasar permohonan hak pada pendaftaran
tanah pertama sekali dan merugikan pihak ketiga, dapat dinyatakan adalah sebuah
perbuatan melawan hukum atau onrechmatige
daad, sebagaimana yang diatur pada pasal 1365 KUHPer, yang menyatakan :”Tiap perbuatan yang
melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian
tersebut“. Ada 4 unsur dari perbuatan
melawan hukum yaitu : a) ada perbuatan melawan hukum; b) ada kesalahan; c) ada hubungan
sebab akibat antara kerugian dan perbuatan; d) ada kerugian.
Dalam
konteks perjanjian di bawah tangan atas pengalihan tanah yang belum terdaftar
dengan penggunaan cap jempol oleh pihak yang mengalihkan tanpa dilegalisasi
Notaris, dan digunakan untuk mendaftarkan tanah di kantor pertanahan sehingga
terbit sertifikat Hak Milik dan merugikan pihak ketiga dapat dikatakan adalah
termasuk dalam perbuatan melawan hukum seperti yang diatur dalam pasal 1365
KUHPer, sehingga pihak-pihak yang terkait atau melakukan perbuatan melawan
hukum tersebut haruslah mengganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.
Ketiga,
jaminan ganti rugi dari sebuah perbuatan melawan hukum. Landasan perikatan
untuk melakukan ganti rugi dari pihak atau para pihak yang melakukan perbuatan
melawan hukum kepada pihak yang dirugikan tentu didasarkan sumber perikatan seperti yang
diatur pada pasal 1233 KUHPer, yaitu 1) karena perjanjian (Vide : pasal 1313
KUHPer) dan karena Undang-undang (Vide : pasal 1352 KUHPer). Dalam hal ini sumber perikatan untuk
melakukan ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum oleh pihak atau para pihak
yang melakukan perbuatan melawan hukum, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1365
KUHPer, adalah perikatan karena undang-undang akibat perbuatan orang. Dengan
demikian, jaminan yang bisa didapatkan oleh pihak yang dirugikan dalam sebuah
perbuatan melawan hukum, disamping pengembalian obyek yang dipersengkatakan
atau berupa pembayaran, adalah seluruh
aset (baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak) dari pihak yang
melakukan perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 1131 KUHPer,
yang dapat diperoleh dengan menempuh upaya gugatan perbuatan melawan hukum
dengan memohonkan penetapan atau putusan sita jaminan atas pihak atau para
pihak melakukan perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad).
Tentu
disamping tiga sisi hukum utama di atas, pihak yang dirugikan dari sebuah
peristiwa hukum pada pelaksanaan perjanjian di bawah tangan atas pengalihan
tanah ( yang belum terdaftar) dengan menggunakan cap jempol tanpa dilegalisasi
Notaris, seperti yang disampaikan pada uraian sebelumnya, maka sisi hukum yang
masih dapat digunakan adalah pada sisi pidana, manakala pihak yang melakukan
perbuatan melawan hukum, diduga juga menggunakan keterangan atau dokumen palsu
(Vide : pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP), atau sisi hukum
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dalam hal ada cacat yuridis pada penerbitan
sertifikat terkait.
(*Penulis adalah seorang
Advokat dan Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia)