Rubrik
Opini :
UU LPS 15 Tahun : Efektivitas
Penerapan
dan Urgensi Perubahan
Oleh : Kardi Pakpahan*
Lembaga Penjaminan Simpanan atau LPS
didirikan dengan diundangkannya UU No.24/2004 tentang Lembaga Penjaminan
Simpanan, yang disebut juga Undang-undang LPS atau UU LPS, pada 22 September 2004. LPS hadir untuk menjamin simpanan nasabah
penyimpan dan mendukung stabilitas sistem perbankan. Sistem
penjaminan simpanan nasabah melalui LPS dapat dikatakan menggantikan sistem penjaminan
yang berlaku sebelumnya. Sebagaimana yang telah diketahui sistem penjaminan
simpanan nasabah sebelumnya diatur melalui Kepres No.26/1998 tentang jaminan terhadap
kewajiban pembayaran Bank Umum dan Kepres No.193/1998 tentang jaminan terhadap kewajiban pembayaran Bank
Perkreditan Rakyat, yang mengedepankan pemberian jaminan atas seluruh kewajiban
pembayaran bank termasuk simpanan masyarakat, yang dikenal dengan istilah blanket gurantee.
Melalui UU No.7/2009 dan Peraturan
Pemerintah (PP) No.66/2008, nilai simpanan yang dijamin LPS untuk setiap nasabah pada satu
bank yang berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UU LPS ditetapkan paling banyak Rp 100.000.000,-
diubah menjadi paling banyak Rp 2.000.000.000,- . Hal ini bisa terjadi karena
UU LPS menganut sistem penjaminan simpanan yang terbatas.
Disamping
merumuskan
dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan nasabah pada perbankan,
berdasarkan pasal 5 UU LPS tugas lain dari LPS adalah a)
merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara
stabilitas sistem perbankan; b) merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan
kebijakan penyelesaian Bank Gagal (bank
resolution) yang tidak berdampak sistemik; dan c) melaksanakan penanganan
Bank Gagal yang berdampak sistemik.
Pada
tanggal 22 September 2019 penerapan UU LPS telah genap 15 tahun. Apakah
kira-kira yang menjadi catatan yang perlu dikedepankan pada penerapan UU LPS
selama ini dan masa yang akan datang ? Kalau dicermati penerapan UU LPS selama ini, catatan yang perlu dikedepankan pada dua sisi utama, yaitu perlu penerapan secara efektif dan untuk mengantisipasi perkembangan lingkungan usaha perbankan/jasa keuangan perlu dilakukan perubahan. Sebagian dari catatan
itu akan dikedepankan pada uraian berikut.
Pertama, kantor LPS. Jaringan usaha LPS sebetulnya
adalah seluruh wilayah Indonesia, Namun hingga
saat ini kantor LPS cuma di
Jakarta, di kawasan elit Sudirman Central Business District (SCBD), Jakarta
Selatan, dengan cara sewa. Mungkin kalau digunakan dana sewa kantor LPS secara
optimal selama ini di kawasan SDBD Jakarta, maka LPS sebetulnya terbuka peluangnya
berkantor atau memiliki kantor di
beberapa kota besar untuk menjalankan seluruh fungsi, tugas dan wewenangnya
secara efektif. Akibat kantor LPS yang cuma ada di Jakarta misalnya, dapat
dikatakan adalah berpengaruh pada efektivitas penyelenggaraan klaim simpanan
nasabah pada Bank yang telah dicabut izin usahanya, pengawasan pelaksanaan
likuidasi bank, pelaksanaan rekonsiliasi, verifikasi dan/atau konfirmasi
yang terkait dengan pelaksanaan penjaminan simpanan. Contohnya, seorang nasabah yang telah menabung
bertahun-tahun di suatu bank yang telah ditutup atau dicabut izin usahannya
dengan saldo Rp 80 juta yang relatif jauh dari Jakarta, setelah mengajukan
klaim tetapi ditolak LPS, dan tahap berikutnya hal yang dilakukan menempuh
upaya hukum, yaitu mengajukan gugatan ke LPS melalui Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan (vide : pasal 20 ayat 1 huruf b UU LPS), selaku tempat kedudukan hukum
LPS (actor sequitur forum rei).
Kalaupun nasabah tersebut memenangkan gugatannya, bisa menjadi tidak dapat
apa-apa karena tingginya biaya yang dikeluarkan melakukan upaya hukum.
Berdasarkan
pasal 3 ayat 2 UU LPS sebetulnya LPS dapat mempunyai
kantor perwakilan di wilayah Negara Republik Indonesia. Mengingat hal tersebut,
model baru kantor LPS di wilayah lain di Nusantara, dapat dikembangkan, baik
secara permanen atau sementara. Kantor LPS sementara, antara 1 sampai 2 tahun dapat diselenggarakan di luar Jakarta dalam
rangka pengawasan likuidasi bank (vide : pasal 49 UU LPS), atau pelaksanaan klaim
simpanan nasabah, khususnya melalui upaya hukum, manakala ada Bank yang ditutup
yang jauh dari kantor pusat LPS.
Kedua, kedudukan kreditur. Kreditur merupakan setiap pihak yang memiliki tagihan
kepada Bank dalam Likuidasi. Setiap
pembayaran yang dilakukan Tim Likuidasi kepada para Kreditur pada sebuah Bank
dalam Likuidasi, berdasarkan pasal 2 ayat 3 UU LPS harus akuntabel, yaitu dapat
dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedudukan dan susunan
kreditur pada Bank dalam Likuidasi diatur pada pasal 54 ayat 1 UU LPS. Disana
dikatakan :”Pembayaran
kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan
dilakukan dengan urutan sebagai berikut : a) penggantian atas talangan pembayaran
gaji pegawai yang terutang; b) penggantian atas pembayaran talangan pesangon
pegawai; c) biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terutang, dan biaya
operasional kantor; d) biaya penyelamatan yang dikeluarkan oleh LPS dan/atau
pembayaran atas klaim Penjaminan yang harus dibayarkan oleh LPS; e) pajak yang
terutang; f) bagian Simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dibayarkan
penjaminannya dan Simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dijamin; dan g)
hak dari kreditur lainnya”. Kalau dicermati susunan kreditur
pada Bank dalam Likuidasi, maka Kreditur a sampai dengan f merupakan kreditur
yang diistimewakan, berdasarkan skala prioritas dari Kreditur a sampai f,
sedangkan kreditur lainnya berada pada kelompok huruf g. Sehingga kalau ada kreditur yang memegang
jaminan gadai atau hak tanggugan/hipotik pada Bank dalam likuidasi, dapat
dikatakan berada pada kelompok Kreditur lainnya, dengan tetap memegang hak
preferen diantara kreditur lainnya yang mungkin ada.
Di dalam kondisi tertentu terbuka kreditur yang diistimewakan memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dari kreditur pemegang jaminan gadai atau
hipotik/hak tanggungan. Ketentuan yang terkait dengan hal tersebut diatur pada pasal 1134 KUHPerdata. Disana dikatakan
:”Hak istimewa adalah hak yang diberikan
oleh Undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan
lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-semata berdasarkan sifat piutang
itu. Gadai dan hipotik lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal
Undang-undang dengan menentukan kebalikannya”.
Dalam pada itu, berbeda dengan pasal
55 UU No.37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
sesuai dengan pasal 54 ayat 1 UU LPS pada Bank dalam Likuidasi, tidak dikenal
dengan kedudukan kreditur separatis.
Dengan demikian, supaya akuntabel, pembayaran yang dilakukan kepada Kreditur
pada Bank dalam likuidasi dilaksanakan sesuai dengan urutan kreditur pada pasal
54 ayat 1 UU LPS.
Ketiga,
masalah pesangon pegawai yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pembayaran pesangon pegawai pada Bank dalam Likuidasi, sebagaimana yang
ditentukan pada pasal 54 ayat 1 huruf b
UU LPS, berupa penggantian
atas pembayaran talangan pesangon pegawai. Dalam penerapannya, ada pihak yang
mereduksi hak-hak pegawai sebagai konsekuensi PHK pada Bank dalam Likuidasi
adalah pesangon saja. Jika dikaitkan
dengan alasan PHK dikarenakan perusahaan tutup atau karena bank ditutup,
menurut pasal 164 ayat 1 UU No.13/2003 hak-hak pegawai yang mengalami PHK adalah uang pesangon
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”. Ketentuan pasal 164 ayat 1 UU No.13/2003
juga seirama dengan imbalan kerja Pesangon yang ditentukan pada Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan 24 (PSAK 24) yang substansinya terdiri dari 3 bagian
yaitu pesangon, penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
Hak-hak pegawai sebagai konsekuensi
dari PHK pada Bank dalam Likuidasi, yang terdiri dari pesangon, penghargaan masa
kerja dan penggantian hak juga telah dikuatkan melalui putusan Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri Medan pada putusan Perkara Nomor :
250/Pdt.Sus-PHI/2017/PN Medan tertanggal 21 Maret 2018. Berangkat dari hal
tersebut, maka istilah pesangon pada ketentuan pasal 54 ayat 1 huruf b UU LPS,
sudah sepantasnya berisi 3 komponen hak-hak pegawai yang mengalami PHK pada
Bank dalam Likuidasi, yaitu pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian
hak.
Keempat, dewan pengawas. Organ LPS
menurut pasal 62 UU LPS terdiri
atas Dewan Komisioner dan Kepala Eksekutif. Dewan Komisioner adalah pimpinan
LPS (Vide : pasal 63 ayat 1 UU LPS). Dalam pada itu, menurut pasal 70 ayat 1 UU LPS, Dewan Komisioner berwenang
mewakili LPS di dalam dan di luar pengadilan. Mengingat tugas LPS akan
bertambah dengan diberlakuknya UU No.6/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis
Sistem Keuangan dan kecenderungan bertambahnya volume usaha LPS sekitar 1
sampai 2 kali dari dari yang ada saat ini sebagai konsekuesni pengumpulan dana
premi Restrukturisasi Perbankan untuk Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem
Keuangan, maka organ LPS dari yang ada saat perlu ditambah Dewan Pengawas LPS
dengan melakukan perubahan terhadap UU LPS.
Kelima, substansi tata kelola LPS. Asas
tata kelola LPS menurut pasal 2 ayat 3 UU LPS terdiri dari 3, yaitu independen,
transparan, dan akuntabel. Searah dengan
pengembangan LPS, asas tata kelola LPS tersebut perlu dilengkap dengan asas kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan
dalam memenuhi hak-hak stakeholders
yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan asas tata kelola pertanggungjawaban (responsibility) yang merupakan kesesuaian
pengelolaan LPS dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip
pengelolaan LPS yang sehat. Penambahan asas tata kelola ini dapat dimasukkan
dalam program perubahan UU LPS, khususnya pasal 2 ayat 3. Semoga
(*Penulis
adalah Alumnus FHUI, Advokat & Pengamat Perbankan, Telp/WA : 0813-2895-0019;
IG : kardi_pakpahan)