Dengan mengambil tempat di Ruang Jelutung, Hotel Mercure Pontianak, telah dilaksanan pelatihan JFI tentang :"Teknik Marketing yang Efektif" pada Selasa 17 Juli 2012. Adapun latar belakang pelaksanaan pelatihan ini bahwa tantangan
penyelenggaraan bisnis BPR saat ini maupun masa yang akan datang, jauh lebih
berat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Oleh karenanya, diperlukan teknik
marketing yang efektif untuk mendukung realisasi rencana kerja BPR,
serta untuk memastikan peningkatan kiberja, daya saing dan kesinambungan usaha.
Sedangkan tujuan pembelajaran pada pelatihan ini bagi peserta adalah 1) mampu menerapkan 4 dasar
teknik marketing yang efektif; 2) mampu melaksanakan 5
Prinsip teknik marketing; 3) mampu menyelaraskan
dasar dan prinsip teknik marketing
dengan 5 faktor pendukung; 4) mampu memformulasikan
dan mengelola target penjualan secara efektif; 5) mampu merealisasikan
target penjualan secara personal maupun pada bagian institusional; 6)Mampu melakukan evaluasi kinerja penjualan
secara berkesinambungan.
(Kardi Jfi/Training Leader JFI).
Sabtu, 25 Agustus 2012
Selasa, 21 Agustus 2012
DOKUMENTASI TRAINING JFI :"PENYUSUNAN KEBIJAKAN PERKREDITAN BPR" DI HOTEL BANJARMASIN INTERNATIONAL, BANJARMASIN 14 JULI 2012.
Pada 14 Juli 2012 di Ruang Bongenvil, Hotel Banjarmasin International (HBI), telah dilaksanakan pelatihan :"Penyusunan Kebijakan Perkreditan BPR" dengan instruktur Kardi JFI. Latar belakang dari pelatihan ini bahwa sesuai
dengan ketentuan pasal 27A PBI No.13/26/PBI/2011 tentang Perubahan atas PBI
No.8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan PPAP BPR,
setiap BPR wajib menyampaikan Pedoman Kebijakan . Perkreditan BPR kepada Bank
Indonesia.
Sedangkan tujuan instruksional pelatihan ini adalah Peserta : 1) Mampu memahami latar belakang penyusunan Pedoman Kebijakan Perkreditan BPR; 2) Mampu memahami prinsip kehati-hatian dalam Perkreditan; 3) Mampu memahami organisasi dan manajemen perkreditan;4) Mampu memahami kebijaksanaan Persetujuan Kredit; 5) Mampu memahami Dokumentasi dan Administrasi Kredit; 6) Mampu memahami Pengawasan Kredit; 7) Mampu memahami Penyelesaian Kredit Bermasalah (Restrukturisasi, AYDA, Hapus Buku, Hapus Tagih Kredit); 8) Mampu menyusun Draf Pedoman Kebijakan Perkreditan BPR.
(*Kardi Jfi/Training Leader JFI).
Sedangkan tujuan instruksional pelatihan ini adalah Peserta : 1) Mampu memahami latar belakang penyusunan Pedoman Kebijakan Perkreditan BPR; 2) Mampu memahami prinsip kehati-hatian dalam Perkreditan; 3) Mampu memahami organisasi dan manajemen perkreditan;4) Mampu memahami kebijaksanaan Persetujuan Kredit; 5) Mampu memahami Dokumentasi dan Administrasi Kredit; 6) Mampu memahami Pengawasan Kredit; 7) Mampu memahami Penyelesaian Kredit Bermasalah (Restrukturisasi, AYDA, Hapus Buku, Hapus Tagih Kredit); 8) Mampu menyusun Draf Pedoman Kebijakan Perkreditan BPR.
(*Kardi Jfi/Training Leader JFI).
Dokumentasi Training JFI :"Personal Expanding bagi SDM BPR" di Ruang Hilde, Hotel Nalendra, Bandung, 14 Juli 2012
Pada Sabtu 14 Juli 2012, telah dilaksanakan pelatihan JFI dengan judul :"Personal Expanding bagi SDM BPR" di Ruang Hilde, Hotel Nalendra, Bandung, dengan instruktur Subhan Rizky. Adapun latar belakang dilaksanakannya pelatihan ini adalah untuk membuka kesadaran baru bagi
peserta, bagaimana cara
berpikir dan berperasaan yang memberdayakan dan optimal serta meningkatkan
produktifitas, tanggung jawab, integritas, kreatifitas (attitude) dan peningkatan kemampuan personal/pribadi karyawan untuk
peningkatan kinerja BPR.
Sedangkan manfaat pelatihan ini bagi BPR adalah 1. Menyadari Kekuatan/Potensi yang ada dalam diri dan bagaimana cara mengembangkannya; 2. Memahami Tanggung Jawab dan memanfaatkan Tanggung Jawab untuk Produktifitas Tinggi; 3. Meningkatkan Kesadaran akan pentingnya Integritas Tinggi; 4. Mampu mengelola Pikiran dan melatih Perasaan untuk Kinerja Puncak; 5. Mampu menjadi Pribadi yang Berdaya Guna dan Kreatif/Inovasi; 6. Mampu menjadi Pemimpin bagi Diri Sendiri; 7. Mampu Membangun Pribadi yang Tangguh.
( Kardi JFI/Training Leader JFI )
Sedangkan manfaat pelatihan ini bagi BPR adalah 1. Menyadari Kekuatan/Potensi yang ada dalam diri dan bagaimana cara mengembangkannya; 2. Memahami Tanggung Jawab dan memanfaatkan Tanggung Jawab untuk Produktifitas Tinggi; 3. Meningkatkan Kesadaran akan pentingnya Integritas Tinggi; 4. Mampu mengelola Pikiran dan melatih Perasaan untuk Kinerja Puncak; 5. Mampu menjadi Pribadi yang Berdaya Guna dan Kreatif/Inovasi; 6. Mampu menjadi Pemimpin bagi Diri Sendiri; 7. Mampu Membangun Pribadi yang Tangguh.
( Kardi JFI/Training Leader JFI )
Sabtu, 28 Juli 2012
DOKUMENTASI TRAINING JFI :"ANALISA KREDIT UNTUK PERORANGAN & UMKM” DI RUANG MARULITUA, HOTEL NALENDRA BANDUNG 7 JULI 2012
Pada sabtu 7 Juli 2012, bertempat di ruang Marulitua, Hotel Nalendra, Bandung, telah dilaksanakan pelatihan :"Analisa Kredit untuk Perorangan dan UMKM". Latar belakang pelatihan ini mengedepankan bahwa kecenderungan perubahan lingkungan bisnis BPR mengindikasikan
perlunya perubahan untuk menjadi lebih baik, termasuk didalamnya memastikan
penanganan kredit atau aktiva produktif dari awal. Lazimnya, dimulai dari awal dengan
baik, pada umumnya dapat mendukung peningkatkan kinerja serta bisa menurunkan
resiko kredit, sehingga tidak terlalu rumit dalam penagihan misalnya.
Sedangkan tujuan pembelajaran pada pelatihan ini terdiri dari beberapa hal, antara lain :
(Untuk Informasi training JFI = Jakarta Financial Institute, baik reguler maupun inhouse training, bisa dihubungi melalui nomor : 081318967743).
Sedangkan tujuan pembelajaran pada pelatihan ini terdiri dari beberapa hal, antara lain :
-
Mampu memahami karakteristik Kredit untuk Perorangan dan
UMKM;
-
Mampu memahami keterkaitan analisa kredit dengan
manajemen perkreditan;
-
Mampu memahami persyaratan kredit;
-
Mampu menetapkan jangka waktu, plafond Kredit dengan
penggunaan proyeksi Cash Flow dalam kegiatan analisa kredit;
-
Mampu menilai dan atau menganalisa komponen yang terkait
dengan keputusan kredit;
-
Mampu memahami keterkaitan antara analisa kredit dengan
monitoring, penagihan dan pelunasan
kredit.
- Mampu
melakukan wawancara untuk penyusunan proyeksi data keuangan nasabah atau Calon
Nasabah dan untuk mendapatkan informasi lainnya yang dibutuhkan dalam analisa
kredit.(Untuk Informasi training JFI = Jakarta Financial Institute, baik reguler maupun inhouse training, bisa dihubungi melalui nomor : 081318967743).
Jumat, 27 Juli 2012
Budaya Organisasi BPR : Perlu untuk Peningkatan Kinerja, Daya Saing dan Sustainability
Budaya
Organisasi BPR : Perlu untuk Peningkatan Kinerja,
Daya Saing dan Sustainability
Oleh
: Kardi Jfi*
Sebetulnya ada 3 pilar yang dapat berperan untuk mentransformasikan visi dan
misi BPR, yaitu strategi, struktur dan kultur organisasi BPR. Strategi adalah
cara BPR mencapai visi dan misi, sedangkan struktur organisasi merupakan bentuk
dari organisasi BPR untuk mencapai visi dan Misi. Adapun yang dimaksud dengan
kultur organisasi adalah tindakan yang benar untuk mencapai tujuan. Misalnya
budaya organisasi BPR Supra Artha Persada dikenal dengan sebutan CERDAS :
Cepat Efektif Ramah Disiplin Akrab & berSahabat
dan TACTICS yaitu: T (Truth = kejujuran), A (Active = aktif), C
(Confidence = percaya diri), T (Time = waktu), I (Initiative =
inisiatif), C ( Communication = komunikasi), S (Science = ilmu pengetahuan).
Unsur budaya organisasi BPR KS
misalnya : 1. Bersikap mental positif; 2. Selalu meningkatkan
profesionalisme;3. Memiliki Integritas tinggi 4. Menciptakan lingkungan kerja
yang positif; 5. Pemberdayaan (empowerment); 6. Mampu kerja dalam “team work”
dengan bagian yang terkait. Adapun bagian dari budaya organisasi BPR Lestari
dikenal dalam 7 nilai, yaitu Care, Honest, Perpection, Positive, Energy,
Anthusiasm, dan Knowledge.
Tak dapat dipungkiri, kalau
diamati penyusunan rencana kerja atau rencana bisnis BPR, masih ada beberapa
BPR yang terkesan kurang memperhatikan faktor budaya organisasi, padahal
sesungguhnya manfaat budaya organisasi tak kalah pentingnya dengan strategi dan
struktur organisasi BPR. Kalau diperhatikan landasan penyusunan Rencana Kerja
BPR, sebagaimana yang diatur pada SK Dir BI No.31/60/Kep/Dir tertanggal 9 Juli
1998, maka substansi penyusunan Rencana Kerja masih berfokus pada strategi
maupun struktur organisasi.
Apa saja manfaat budaya
organisasi BPR ? Menurut Robbins (2001:294) ada beberapa manfaat
budaya dalam suatu organisasi yaitu (1) budaya mempunyai suatu peran
menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan perbedaan yang jelas
antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya; (2) budaya membawa suatu
rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi; (3) budaya mempermudah
timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas dari kepentingan diri
individu seseorang; (4) budaya untuk meningkatkan kemantapan sistem sosial; dan
(5) budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang
memandu dan membentuk sikap serta perilaku para pegawai/SDM.
Jadi, kalau dicermati manfaat
tersebut, dapat dikatakan budaya organisasi BPR, diperlukan untuk Peningkatan
Kinerja, Daya Saing dan Sustainability BPR. Mengingat hal tersebut, ada
baiknya BPR membentuk dan mengembangkan nilai-nilai budaya organisasi pada BPR
Dalam proses penyusunan rencana bisnis BPR, supaya dapat
mendorong peningkatan efektivitas budaya organisasi, tentunya ada beberapa yang
perlu diperhatikan. Sebagian diantaranya, pertama, perasaan identitas seluruh
karyawan terhadap BPR. Seperti yang telah diketahui, budaya organisasi, akan
membedakan BPR yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, dalam penyusunan
rencana bisnis BPR, khususnya di sisi strategi manajemen Sumber Daya Manusia
(SDM) atau learning &
growth, maka eskalasi perasaan yang bangga dari seluruh karyawan dan
afiliasi terhadap identitas atau unsur-unsur budaya organisasi BPR perlu
direncanakan dengan baik.
Kedua, konsistensi implementasi
nilai kultur di semua lini organisasi. Sebelum finalisasi rencana
bisnis, maka perlu dievaluasi konsistensi penerapan unsur budaya, di semua lini
organisisasi BPR pada periode sebelumnya. Pada lini yang masih memerlukan
penguatan, dilakukan program aksi yang relevan.
Ketiga, efektivitas kultur
inovasi, kreativitas dan keterbukaan akan ide-ide baru. Lingkungan bisnis BPR
menyatakan hal tersebut sangat dibutuhkan untuk eskalasi daya saing, kinerja
dan kesinambungan usaha BPR, maka efektivitasnya pada masa selanjutnya perlu
diperhatikan BPR dalam rencana bisnisnya.
Keempat, kultur adaptasi.
Memperhatikan perkembangan usaha BPR dalam beberapa tahun terakhir, kapasitas
untuk beradaptasi dalam lingkungan bisnis yang telah masuk dalam persaingan
yang tinggi, perlu ditingkatkan.
Kelima, motivasi. Motivasi
seluruh SDM BPR di semua lini, sebagai bagian dari komponen dari kultur
organisasi, dalam penuangannya dalam strategi rencana bisnis BPR, tidak
hanya pada ukuran atas imbalan uang dan non uang lagi, tetapi perlu
mentransformasikannya ke kualitas yang lebih tinggi, yang berubah menjadi nilai
atau value bagi setiap SDM BPR, misalnya motivasi dari dalam diri setiap SDM
untuk memikirkan dan melakukan yang terbaik bagi BPR.
Akhirnya, dengan dimasukkannya
budaya organisasi dalam rencana bisnis BPR, maka ia akan dapat menjadi padanan
yang sinergis dengan pilar strategi dan struktur organisasi, dalam mendukung
penggenapan visi dan misi BPR, baik saat ini maupun pada masa yang akan datang.
(*Penulis adalah Training Leader JFI = Jakarta Financial
Institute, Email = jfipusat@gmail.com,
Hp. 081318967743)
Sabtu, 21 Juli 2012
Dokumentasi Training JFI : ”Penerapan Hipnoterapi untuk Meningkatkan Produktivitas SDM BPR” di Ruang Usakirana, Hotel Nalendra, Jakarta 7 Juli 2012
Pemanfatan hipnoterapi untuk pengelolaan SDM
di berbagai perusahaan telah banyak dilakukan. Di samping dapat meningkatkan
produktivitas, secara spesifik penerapan hipnoterapi dapat meningkatkan
loyalitas SDM kepada perusahaan, menurunkan absensi karyawan, menurunkan
Turnover Karyawaan, menurunkan biaya untuk pemeliharaan kesehatan SDM, dan
lain-lain.
Berangkat dari hal tersebut pada Sabtu 7 Juli 2012 Jakarta Financial Institute
(JFI) telah menyelenggarakan pelatihan :”Penerapan Hipnoterapi untuk
Meningkatkan Produktivitas SDM BPR” di Ruang Usakirana, Hotel Nalendra, Jakarta
Timur.
Ada
beberapa tujuan instruksional pembelajaran
pada modul pelatihan ini, yaitu :
-
Mampu memahami
pemanfaatan hipnoterapi untuk poduktivitas SDM BPR, seperti menghilangkan mental blok, meningkatkan rasa percaya
diri, membangun motivasi, mengatasi masalah pribadi, membangun hubungan baik
dengan nasabah & rekan kerja, dan lain-lain;
-
Mampu menjadi pribadi yang unggul dan bernilai;
-
Mampu berkomunikasi secara efektif baik untuk kepentingan internal
maupun eksternal;
-
Mampu memahami hukum
kekuatan pikiran bawah sadar dan mentransformasikannya untuk peningkatkan
produktivitas;
-
Mampu melakukan komunikasi
persuasi secara tidak langsung menuju ke alam sadar
komunikan, terutama dalam menyampaikan produk dan jasa BPR (***KP)
Informasi tentang Training JFI dapat
menghubungi
Sdri. Yanti Mandasari (Telp. 0852822445739; Fax.
021-5808084; Email = jfipusat@gmail.com)
Rabu, 18 Juli 2012
BPR : Komputerisasi pada Bisnis BPR
Komputerisasi pada Bisnis BPR
Oleh : Kardi Jfi*
Salah satu dari lembaga usaha finansial yang masih perlu
melakukan pengkajian dan penerapan pengembangan komputerisasi atau perubahan
dari manual ke digital dalam kegiatan usahannya adalah BPR atau Bank
Perkreditan Rakyat.
Sebagai bagian dari bisnis keuangan, BPR memiliki ciri
khas, yaitu banyak transaksi tetapi dengan margin yang relatif kecil. Oleh
karena itu, maka penyedia produk software maupun hardware yang terkait dengan
komputerisasi pada BPR haruslah menyediakan dan mengembangkan produk yang
relevan.
Transformasi dari manual ke komputerisasi pada bisnis
BPR, baik saat ini maupun pada masa yang akan datang, bukan hanya merupakan
sebuah keinginan lagi, tetapi sudah merupakan sebuah keharusan atau kebutuhan.
Dengan menerapkan Teknologi Informasi (TI) yang berkembang pada usaha BPR, maka
dapat mendukung kinerja, daya saing dan kelangsungan BPR.
Sebagai contoh, turunya nilai penjaminan dana pihak
ketiga , seperti Deposito di Bank Umum, akan memberi angin segar bagi BPR, karena
suku bunga penjaminan dana pihak ketiga, seperti Deposito di BPR, masih lebih
tinggi. Hanya supaya cenderung bisa dipercaya, maka BPR dalam menjalankan
kegiatan usahanya perlu terlebih dahulu didukung dengan TI. Analisa gap
–maturity profile dana pihak ketiga akan lebih cepat dan akurat dilakukan BPR
bila menerapkan perkembangan TI. Termasuk tentunya ketika melakukan costing dan
pricing.
Bagaimana implikasi penerapan TI di BPR ? Tentu tidak
lepas dari implikasi peranan perubahan TI itu sendiri. Marilah kita lihat
implikasi perubahan TI atau Komputerisasi
sebagaimana ditulis Hammer dan Champy (Reenginering the Corporation, A
Manifesto for Business Revolution, 1994). Pertama, pangkalan data. Informasi
berubah dari muncul di satu tempat – satu waktu menjadi banyak tempat secara
simultan, seperti teknologi ATM, E-mail, Facebook.
Kedua, sistem kepakaran. Pakar yang dapat menyelesaikan
pekerjaan rumit digantikan generalis yang menyelesaikan pekerjaan pakar.
Ketiga, jaringan telekomunikasi. Pilihan dari desentralisasi
atau sentralisasi berubah menjadi desentralisasi dan sentralisasi.
Keempat, model perangkat lunak. Pengambilan semua
keputusan oleh manager digantikan oleh bagian dari pekerjaan setiap orang.
Kelima, telepon tanpa kawat. Informasi yang hanya dapat dikirim
dari suatu kantor berubah menjadi dapat dikirim dan manapun juga.
Keenam, jaringan video interaktif. Kontak dengan
pelanggan berubah dari harus dicari menjadi tersedia dimana saja.
Ketujuh, identifikasi otomatis. Informasi tntang sesuatu
berubah dari harus dicari menjadi tersedia dimana saja.
Kedelapan, kecepatan perhitungan. Revisi perencanaan
kerja berubah dari periode menjadi setiap saat.
Berangkat dari implikasi TI tersebut, maka dapat
dikatakan supaya penerapannya berlangsung efektif dan aman, maka pengurus atau
SDM BPR perlu menjalankan beberapa upaya, sebagai bagian dari strategi
transformasi dari manual ke komputerisasi (digital). Apa saja upaya yang
dimaksudkan ? Sebagian diantaranya akan dikedepankan pada uraian berikut.
Pertama, rumuskan tujuan implementasi TI. Manajemen di
BPR harus terlebih dahulu merumuskan tujuan implementasi TI atau Komputerisasi,
yang rinciannya dituangkan dalam rencana kerja dan anggaran. Rencana berisikan
langkah-langkah dan jadual khusus untuk mengimplementasikan strategi. Sedangkan
anggaran merupakan aktivitas dari rencana yang diubah menjadi proyeksi
finansial dan tujuan. Termsuk didalamnya, penggunaan SDM (Sumber Daya Manusia),
yang secara rinci dituangkan dalam Action Plan implementasi.
Formulasi dan penetapan tujuan tersebut, ada juga
kaitannya dengan jenis TI yang diterapkan. Bila penerapan TI di BPR diharapkan
dapat mengelola transaksi secara on line, maka diterapkanlah konsep software
yang dapat mengakomodir on line.
Kedua, pastikan terlebih dahulu rincian hardcopy sistem
manual. Jika menerapkan TI, maka pastikan munualnya sudah ada. Sesungguhnya
sistem manuallah yang dipindahkan ke proses komputerisasi atau digital. Jangan
coba-coba menerapkan TI atau software di BPR sebelum ada hard copy manualnya.
Sebelum diterapkan, dipastikan seluruh SDM yang terkait dengan proses bisnis
BPR, dapat memahami dan mampu menjalankan manual sistem yang diterapkan, baik
yang terkait dengan operasional, perkreditan, sistem akuntansi, set up, laporan
keuangan (closing), dan lain-lain. Kenapa ? Karena bisnis BPR harus melindungi
dana dari masyarakat. Di BPR hampir 85% uang yang ada adalah dana masyarakat,
sehingga product liability software yang digunakan haruslah dapat dipastikan
dapat memproses semua aktivutas usaha BPR secara akurat.
Ketiga, strategi outsoursing. Pada umumnya BPR yang
menerapkan TI adalah menempu jalan outsoursing atau melalui vendor, karena
untuk membangun sendiri software banyak
yang telah menelan mega dana. Sebelum menetapkan vendor yang dijadikan sebagai
mitra dalam implementasi, maka ada baiknya dilakukan seleksi minimal dari 3
vendor atau kandidat. Supaya sukses
dalam menjalankan implementasi, maka perlu dicari bancmark software atau dicari
model dari masing-masing vendor TI yang diajak bermitra, apakah di BPR lain
sudah benar-benar dapat dijalankan dengan handal dan aman serta lancar.
Dalam menetapkan vendor sebagai mitra, maka perlu
terlebih dahulu menuangkan kesepakatan implementasi dalam Perjanjian Pemakaian,
Pembelian dan Implementasi Software, yang secara rinci mengatur hak dan
kewajiban para pihak. Dalam perjanjian tersebut dirumuskan penyelesaian masalah
atau konflik yang ada sehubungan dengan implementasi, seperti, penyelesaian
secara musyawarah dan mufakat, menyelesaian melalui arbitrase atau melalui
penyelesaian melalui court atau pengadilan tempat dimana pembeli dan penjual memilih domisili
hukum.
Keempat, pelatihan. Hal-hal yang terkait dengan software
BPR yang mau diterapkan, maka didahului atau diiringi dengan pelatihan kepada
SDM yang terkait. Pelatihan-pelatihan yang dimaksudkan disamping memiliki
sasaran untuk aspek peningkatan kompetensi pengetahuan dan ketrampilan, juga
dapat merealisasikan kompetensi di bidang sikap atau attitude di bidang
penerapan TI, seperti integritas dari SDM terkait untuk memperlakukan data
secara positif dan konfidensial, atau menyadari bahwa dengan penerapan TI
didapatkan kondisi yang jauh lebih baik dalam berkarier di BPR pada masa-masa
selanjutnya.
Kelima, mengelola manajemen perubahan. Transformasi dari manual ke digital atau komputerisasi di
BPR, membutuhkan sentuhan dari strategi mengelola perubahan. Tak dapat
dipungkiri, bisa saja ada beberapa SDM yang menolak perubahan, baik karena
alasan psikologis, sosiologis, maupun rasional. Pengurus BPR harus mampu memotivasi
dan menularkan urgensi atau visi perubahan transformasi dari manual ke digital
atau ke habit TI di BPR, dan visi itu harus dapat mengarahkan dan menuntun
seluruh SDM mencapai perubahan tersebut.
Keenam, vendor TI sebagai mitra BPR. Para vendor yang menjadi
mitra BPR dalam mengelola penerapan dan pengembangan TI, sudah sebaiknya bisa
mengakomodir kebutuhan dan perkembangan terbaru di BPR dalam software yang
digunakan, seperti akomodasi berbagai peraturan yang terkait dengan pengelolaan
BPR, seperti Prinsip mengenal Nasabah (pengelompokan resiko nasabah, pembuatan
dan pengkinian profil nasabah), SID, Laporan-Laporaan Keuangan BPR,
Restrukturisasi Kredit, Penerapan Transparansi, BMPK, dan lain-lain serta
implementasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan dan Perbankan, seperti SAK
ETAP, PA BPR.
(*Penulis adalah Training Leader JFI atau
Jakarta Financial Institute, E-mail : jfipusat@gmail.com, Telp.
081318967743)Senin, 16 Juli 2012
DOKUMENTASI TRAINING JFI :"TEKNIK MARKETING YANG EFEKTIF" DI HOTEL HARIS, BATAM CENTER, BATAM 7 JULI 2012
DOKUMENTASI TRAINING JFI :"TEKNIK MARKETING YANG EFEKTIF" DI HOTEL HARIS, BATAM CENTER, BATAM 7 JULI 2012
BPR : Peran dan Fungsi Customer Service dan Teller dalam Memberi Nilai Tambah
Peran dan Fungsi Customer Service dan
Teller
dalam Memberi Nilai Tambah
Oleh : Kardi Pakpahan*
Peran dan fungsi Bank Perkreditan
Rakyat (BPR), sesuai dengan namanya, masih banyak dibutuhkan oleh masyarakat,
khususnya bagi mereka yang ada pada segmen Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM). BPR adalah termasuk Lembaga Keuangan Mikro, diantara pelaku usaha
lainya, seperti Koperasi Simpan Pinjam (Kospin), Unit Kredit Mikro Perbankan.
Dari sisi perkembangan usaha secara
nasional, dapat dikatakan dalam beberapa tahun terakhir BPR termasuk usaha yang
masih bertumbuh secara signifikan. Namun akhir-akhir ini, industri BPR masih
diperhadapkan dengan angka NPL (Non
Perform Loan) yang masih relatif tinggi. BPR dengan NPL yang masih relatif
tinggi tidak hanya ada di di luar pulau Jawa.
Tentu, pengurus BPR selama ini sudah
berupaya penuh dengan berbagai strategi menangani NPL atau meningkatkan
kualitas aktiva produktifnya. Namun satu hal yang masih perlu dilakukan atau
ditingkatkan BPR dalam rangka meningkatkan kualitas aktiva produktif atau
kreditnya adalah melalui peningkatan kualitas pelayanan. Hal ini terkait dengan
formula dari NPL itu sendiri itu adalah Total Kredit Bermasalah dibagi Total Outstanding Kredit. Dengan demikian, NPL
dapat diperkecil, disamping menangani secara efektif kredit pada kolektibilitas non perform, juga dengan ekspansi kredit
baru secara baik kepada nasabah, yang dikenal dengan formula penyaluran kredit
dengan prinsip 3T ( Tepat Guna, Tepat Jumlah, Tepat Waktu).
Beberapa tahun lalu, salah satu bank, yang dalam menangani kredit
bermasalah, disamping banyak menggunakan strategi jitu penanganan melalui
penerapan best practise, juga sekaligus saat yang sama meningkatkan
kualitas pelayanan adalah Bank Mandiri.
Salah satu tema peningkatan kualitas pelayanan Bank Mandiri di
tengah-tengah tingginya NPL mereka dalam beberapa tahun yang lalu adalah “Melayani dengan hati menuju yang terbaik”.
Koherensi antara peningkatkan
kualitas dan penerapan berbagai strategi penanganan NPL telah dinikmati Bank Mandiri saat ini,
karena NPL-nya sudah di bawah 5%. Slogan bisnisnya pun berubah menjadi :”Terbesar, Terpercaya, Tumbuh Bersama Anda”.
Sebetulnya, BPR juga dapat melakukan hal yang sama.
Beberapa waktu lalu, penulis memiliki sebuah pengalaman tatkala ikut pada antrian
untuk mendapatkan pelayanan di Teller sebuah BPR. Singkat cerita, di
bagian paling depan ada seorang Bapak yang komplein tentang lamahnya
penyelesaian penarikan tabungan yang dilakukan. Mungkin karena terlalu capek
atau karena hal lainnya, Teller yang
melayani menyajikan jawabannya berikut :”Ini
kan BPR, beginilah adanya”. Si Bapak
yang komplien terlihat masih menyimpan kekesalan mendapat respon seperti itu
dan mukanya kelihatanya mencerminkan
ketidakpuasan.
Antara BPR dengan usaha finansial
lainnya, seperti bank umum, asuransi, perusahaan pembiayaan, perusahaan dana
pensiun, dalam menyajikan kualitas pelayanan, sesungguhnya tidak dapat lagi
dibedakan. Sebagai gambaran, skim nilai jaminan dana pihak ketiga di Bank Umum
dan BPR sudah sama. Semua perusahaan, termasuk tentunya BPR, sudah seharusnya
dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada nasabah. Untuk itu BPR perlu
mencanangkan penyelenggaraan kualitas pelayanan (service quality) kepada nasabah secara kontiniu dan konsisten pada
semua lini pelayanan, teristimewa di fronf office, seperti di Customer Service, Teller/Kasir.
Melalui kualitas pelayanan, maka
pada akhirnya akan dapat membangun index
kepuasaan dan loyalitas nasabah. Kalau nasabah puas, berarti curiga atau
ketidakpercayaan nasabah ke BPR menjadi hilang dan dapat dilakukan penjualan produk, sekaligus
kemungkinan cross selling. Dalam pada
itu, nasabah yang puas dan merasa selalu
diperhatikan, akan selalu senang berhubungan dengan BPR, dengan tetap menjadi
pelanggan yang loyal dan sekaligus menjadi saluran promosi produk BPR ke pihak
lain. Lazimnya, nasabah yang puas cenderung memberitahukannya ke pihak lain,
khususnya kepada keluarga atau relasinya.
Beginilah penelitian yang dilakukan
Xerox tentang kepuasan konsumen atau Customer,
bahwa :”Konsumen yang merasa puas
secara total memiliki kecenderungan untuk melakukan pembelian berulang 6 kali
lebih besar daripada konsumen yang hanya merasa puas”.
Apa saja yang dapat dilakukan untuk
menghasilkan kepuasaan dan loyalitas nasabah ? Menurut Frederick & Salter
ada 5 (lima) variabel, yaitu : 1) harga; 2) kualitas produk; 3) kualitas jasa;
4) inovasi; 5) citra perusahaan. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan di BPR,
maka kelima hal tersebut dapat dijadikan sebagai instrumen untuk menyajikan kualitas
pelayanan kepada nasabah.
Dalam pada itu, untuk semakin meningkatkan kualitas pelayanan, makna Customer Service sudah sebaiknya
mengakomodir makna yang terkandung dalam Customer
Care. Menurut A.B. Sutanto, ada makna khusus yang terkandung di dalam Customer Care. Pertama, tidak sekedar menjual, tetapi memiliki objektif membentuk
“kelanggengan hubungan” antara BPR dengan nasabah. Berarti ada kesinambungan
dan waspada terhadap gerakan pesaing.
Kedua, dari sisi
pelaksanaan teknis, anggota organisasi harus menerapkan pendekatan preventif
maupun konsultatif. Konsultatif dalam arti bukan hanya bertindak sebagai
problem solver, tetapi juga meluas ke berbagai aspek lain.
Ketiga, tidak hanya
menjawab dan menyelesaikan masalah kalau ada keluhan saja, tetapi berusaha
secara preventif jangan sampai timbul keluhan, rasional maupun emosional, yang
makin sering terjadi mengingat konsumen
atau nasabah sudah kian kritis dan bijaksana dalam membuat keputusan.
Untuk semakin mengefektifkan kualitas pelayanan pada BPR, khususnya pada Customer Service dan Teller, termasuk sekuriti, maka tentunya
ada beberapa upaya yang dapat dilakukan. Sebagian diantaranya akan dikedepankan
pada uraian berikut.
Pertama, standar
pelayanan. Perlu dikedepankan standar pelayanan. Standar yang dimaksudkan
dijadikan Standar Operation Prosedure
(SOP) dan menjadi habit bagi sumber
daya manusia. Standar yang dimaksukan tentunya dapat disusun antara lain
memanfaatkan informasi dari konsumen atau nasabah internal, terutama mereka
yang banyak berhubungan dengan konsumen atau front lines.
Kedua, komunikasi
yang efektif. Komunikasi yang efektif itu mengandung unsur : 1) Respect (sikap menghargai setiap
individu sasaran komunikasi); 2) Empathy
( kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang
dihadapi orang lain); 3) Audible
(dapat didengarkan atau dimengerti); 4) Clarity
(kejelasan dari pesan itu sediri sehingga tidak menimbulkan multi
interprestasi); 5) Humble (membangun
komunikasi yang efektif adalah sikap rendah hati.
Ketiga, kenali
nasabah. Ada kata bijak yang mengatakan, tak kenal maka tak sayang. Nasabah
juga manusia, yang dapat jatuh cinta,
jikalau BPR mampu mengenal dan memahami kebutuhan mereka.
Keempat, berikan
senyum. Senyum, kata Gede Prama, adalah salah satu harta yang diberikan Tuhan
ke Manusia. Dikatakan demikian, sebab senyum bisa mengubah banyak sekali,
seperti sedih jadi gembira, benci jadi rindu, orang biasa jadi simpatik,
suasana beku menjadi cair.
Kelima, menata emosi
supaya merasa lebih baik setiap hari. Para peniliti A.M. Isen, K.A. Daubman dan
G.P. Nowicki dalam tulisan mereka yang berjudul : ”Positive Affect Facilitates Creative Problem Solving” pada Jounal
of Personality and Social Psychology, Vol. 52, 1987 menyimpulkan : bahwa
emosi positif dapat berdampak positif dalam penyelesaian masalah sementera
emosi negatif menghambatnya. Oleh karena itu, khususnya Customer Service dan Teller,
harus mengenali, mengelola, dan memotivasi emosinya supaya senantiasa positif.
(*Penulis adalah Trainer/Advokat, Telp. 0813-2895-0019, IG = kardi_pakpahan )Minggu, 15 Juli 2012
Sabtu, 14 Juli 2012
BPR : Keterkaitan KAP dan KAI
Keterkaitan KAP dan KAI
Oleh : Kardi Jfi*
Apakah
Kualitas Aktiva Produktif (KAP) dan Kualitas Aktiva Intelektual (KAI)
memiliki titik taut pada perusahaan umumnya, dan pada perusahaan institusi
keuangan khususnya ? Kalau dicermati berbagai refrensi tampaknya demikian. Pada
umumnya beberapa refrensi yang ada sampai pada sebuah kesimpulan, bahwa untuk
kelangsungan usaha secara berkesinambungan dengan kinerja yang relatif tinggi
perlu didukung dengan pengembangan pada aspek KAI. Dengan demikian, secara umum
kalau dipetakan dalam sebuah sumbu koordinat (absis dan ordinat), maka hubungan
KAP dan KAI adalah berbanding lurus
dengan KAP. Lazimnya kalau KAI sumber daya manusia (SDM) institusi keuangan,
seperti BPR, relatif baik, maka output-nya
menghasilkan KAP-nya yang berkualitas dan sehat.
KAP menjadi artikulasi pada tulisan ini dilatarbelakangi
oleh peranan KAP itu sendiri. Dapat dikatakan, pada umumnya neraca sebuah
perusahaan keuangan 80% asetnya atau
hartanya terdiri dari Aktiva Produktif atau Pinjaman yang Diberikan (PyD) atau
Kredit. Dan,
pendapatan perusahaan di bidang keuangan/bank 80% biasanya berasal dari aktiva
produktif. Dengan demikian, maka Kualitas Aktiva Produktif atau KAP perlu
secara kontiniu dan konsisten dijaga dan ditingkatkan.
Salah satu parameter utama yang digunakan dalam mengukur Tingkat Kesehatan
Bank atau perusahaan pembiayaan saat ini adalah KAP. Ini semakin
mengindikasikan bahwa memang KAP memiliki peranan yang vital. Tak dapat disangkal, banyak cara untuk
meningkatkan KAP itu, seperti Pembuatan dan pelaksanaan Kebijakan Kredit,
Analisa Kredit, Komite Kredit, Pengikatan Kredit, Administrasi Kredit,
Monitoring Kredit, Penerapan manajemen resiko kredit maupun Tim Recovery Credit atau Collection yang
tangguh. Tetapi yang tak kalah penting sesunggugnya adalah pada aspek Man
behind the Gun atau Man behind the
system, yaitu variabel KAI SDM atau
karyawaan BPR. Mengingat hal tersebut,
ungkapan yang menyatakan bahwa SDM adalah aset utama perusahaan memiliki
nilai kebenaran.
Untuk menjaga dan meningkatkan KAP, maka logisnya KAI SDM
atau karyawaan haruslah ditingkatkan.
Masalah yang dihadapi bank akan berkembang. Cara atau resep yang
dilakukan dua tahun yang lalu dalam menangani masalah manajemen perkreditan,
tentu tidak dapat sepenuhnya lagi digunakan ”memperkosa” masalah perkreditan saat ini. Kalaupun dipaksakan, maka
KAP akan cenderung menurun. Oleh karena itu, perlu program dan pelaksanaan atau
dapat dikatakan habit untuk
mengembangkan KAI SDM perusahaan keuangan.
Banyak referensi yang dapat untuk mendukung hal tersebut,
seperti Stephen R. Covey dalam
bukunya 7 Habits of Highly Effective People, memaparkan bahwa habit
yang ketujuh yang perlu dilakukan supaya efektif menangani masalah adalah
mengasah gergaji, termasuk tentunya meningkatkan KAI dari SDM atau teamwork. William Cohen dalam bukunya yang berjudul the Art of Strategic, menyampaikan supaya karyawaan misalnya mau dan mampu tampil sebagai pemenang maka harus didukung dengan faktor fisik,
mental dan moral. Cohen menyatakan
ketiga hal tersebut harus seimbang dan selaras. Mental atau intelektual
seseorang supaya dapat tampil sebagai pemenang, harus didukung faktor fisik dan
moral atau nilai-nilai yang diakui. Oleh karena itu, maka
kegiatan up grade
intelektualitas karyawaan melalui proses belajar, seperti melalui Training, perlu dilaksanakan secara
kontiniu dan konsisten supaya karyawaan dapat membawa banknya untuk tampil
sebagai pemenang.
Dengan KAI SDM yang baik, maka pada akhirnya dapat
menjadikan kompetensi SDM relatif tinggi, yang dapat menjadikan KAP perusahaan prima
secara berkesinambungan, yang tentunya seluruh stage holder perusahaan dapat memperoleh manfaatnya. Kompetensi SDM yang dimaksukan
meliputi inter personal skills, intra personal skills, maupun analytical skills. Dengan demikian, KAI
SDM perusahaan tidak hanya memahami apa yang dikerjakan dan mengapa harus
dikerjakan, tetapi memiliki kompetensi
bagaimana melakukan serta
memiliki keinginan yang tinggi melalui
segenap kemampuan untuk melakukan aksi-aksi yang menjadi peranannya.
Dalam rangka peningkatan KAI SDM di perusahaan, dapat
dilakukan melalui pendidikan dan latihan, baik secara formal maupun secara
mandiri dan informal. Upaya-upaya peningkatan KAI secara informal misalnya
membaca buku-buku atau media massa, mendengar radio, akses internet, diskusi
dengan rekan kerja.
Dalam rangka keberhasilan pelaksanaan pelatihan, baik
yang dilakukan lembaga pelatihan maupun dengan cara in-house training, untuk meningkatkan KAI SDM BPR, maka ada beberapa yang perlu diperhatikan. Diantarannya,
pertama, metode pelatihan. Potret SDM
yang ikut dalam pelatihan pada umumnya diklasifikasikan menjadi 3 bagian, yaitu
1) lebih cepat belajar kalau melihat apa yang dilatihkan; 2) lebih cepat belajarr
melalui mendengar; 3) lebih menyenangi kalau peserta sekaligus melakukan. Untuk
itu, metode pelatihan harus disesuiakan dengan ketiga kondisi tersebut.
Kedua, menentukan
kebutuhan dan tujuan. Supaya sebuah pelatihan berpengaruh positip, maka sudah
sebaiknya terlebih dahulu dirumuskan
tujuan dan kebutuhan pelatihan.
Ketiga, menyusun program pelatihan. Berdasarkan tujuan dan
kebutuhan pelatihan, maka kegiatan selanjutnya yang perlu dilakukan adalah menentukan
program dan SDM yang diikutsertakan dalam pelatihan.
Keempat, melaksanakan
evaluasi pelatihan. Beberapa alasan yang mendasari mengapa program pelatihan harus dievaluasi
adalah: 1) memastikan bahwa pelatihan benar-benar merupakan sarana yang pas
dalam usaha untuk memperbaiki kinerja dan produktivitas perusahaan; 2)
memastikan bahwa biaya yang digunakan benar-benar dapat memberi manfaat; 3) untuk penyempurnaan pelaksanaan program
pelatihan untuk masa selanjutnya; 4) sebagai bahan dalam memilih metode-metode pelatihan yang
paling tepat untuk pelaksanaan pelatihan berikutnya. Senada dengan pelaksanaan
evaluasi pelatihan ini, maka sudah sebaiknya ROI (Return of Investment) terhadap sebuah pelatihan sudah mulai diukur
perusahaan. Kalau ROI pelatihan yang dilakukan misalnya kecil, maka ada baiknya
pelaksaan pelatihan disempurnakan atau diganti dengan program pelatihan yang
lebih pas.
Muara dari proses pelatihan, baik yang dilakukan secara
formal maupun informal adalah lahirnya budaya belajar bagi setiap SDM
perusahaan. Kondisi yang demikian, akan mendukung semakin meningkatkatnya KAI
SDM, yang pada akhirnya dapat meningkatkan KAP. Bila hal seperti itu berjalan
secara berkesinambungan, maka NPL (Non
Perform Loan) di Perusahaan
Keuangan/Bank akan semakin kecil atau kualitas kredit/aktiva produktif akan
semakin baik.
{*Penulis adalah Training Leader di JFI (Jakarta Financial Institute), email = jfipusat@gmail.com, Hp. 081318967743}
DOKUMENTASI TRAINING JFI :"STRATEGI KOMUNIKASI YANG EFEKTIF DAN KREATIF" HOTEL MERCURE BATAM 7 JULI 2012
DOKUMENTASI TRAINING JFI :"STRATEGI KOMUNIKASI YANG EFEKTIF DAN KREATIF" DI HOTEL MERCURE, BATAM 7 JULI 2012
Langganan:
Postingan (Atom)