Komputerisasi pada Bisnis BPR
Oleh : Kardi Jfi*
Salah satu dari lembaga usaha finansial yang masih perlu
melakukan pengkajian dan penerapan pengembangan komputerisasi atau perubahan
dari manual ke digital dalam kegiatan usahannya adalah BPR atau Bank
Perkreditan Rakyat.
Sebagai bagian dari bisnis keuangan, BPR memiliki ciri
khas, yaitu banyak transaksi tetapi dengan margin yang relatif kecil. Oleh
karena itu, maka penyedia produk software maupun hardware yang terkait dengan
komputerisasi pada BPR haruslah menyediakan dan mengembangkan produk yang
relevan.
Transformasi dari manual ke komputerisasi pada bisnis
BPR, baik saat ini maupun pada masa yang akan datang, bukan hanya merupakan
sebuah keinginan lagi, tetapi sudah merupakan sebuah keharusan atau kebutuhan.
Dengan menerapkan Teknologi Informasi (TI) yang berkembang pada usaha BPR, maka
dapat mendukung kinerja, daya saing dan kelangsungan BPR.
Sebagai contoh, turunya nilai penjaminan dana pihak
ketiga , seperti Deposito di Bank Umum, akan memberi angin segar bagi BPR, karena
suku bunga penjaminan dana pihak ketiga, seperti Deposito di BPR, masih lebih
tinggi. Hanya supaya cenderung bisa dipercaya, maka BPR dalam menjalankan
kegiatan usahanya perlu terlebih dahulu didukung dengan TI. Analisa gap
–maturity profile dana pihak ketiga akan lebih cepat dan akurat dilakukan BPR
bila menerapkan perkembangan TI. Termasuk tentunya ketika melakukan costing dan
pricing.
Bagaimana implikasi penerapan TI di BPR ? Tentu tidak
lepas dari implikasi peranan perubahan TI itu sendiri. Marilah kita lihat
implikasi perubahan TI atau Komputerisasi
sebagaimana ditulis Hammer dan Champy (Reenginering the Corporation, A
Manifesto for Business Revolution, 1994). Pertama, pangkalan data. Informasi
berubah dari muncul di satu tempat – satu waktu menjadi banyak tempat secara
simultan, seperti teknologi ATM, E-mail, Facebook.
Kedua, sistem kepakaran. Pakar yang dapat menyelesaikan
pekerjaan rumit digantikan generalis yang menyelesaikan pekerjaan pakar.
Ketiga, jaringan telekomunikasi. Pilihan dari desentralisasi
atau sentralisasi berubah menjadi desentralisasi dan sentralisasi.
Keempat, model perangkat lunak. Pengambilan semua
keputusan oleh manager digantikan oleh bagian dari pekerjaan setiap orang.
Kelima, telepon tanpa kawat. Informasi yang hanya dapat dikirim
dari suatu kantor berubah menjadi dapat dikirim dan manapun juga.
Keenam, jaringan video interaktif. Kontak dengan
pelanggan berubah dari harus dicari menjadi tersedia dimana saja.
Ketujuh, identifikasi otomatis. Informasi tntang sesuatu
berubah dari harus dicari menjadi tersedia dimana saja.
Kedelapan, kecepatan perhitungan. Revisi perencanaan
kerja berubah dari periode menjadi setiap saat.
Berangkat dari implikasi TI tersebut, maka dapat
dikatakan supaya penerapannya berlangsung efektif dan aman, maka pengurus atau
SDM BPR perlu menjalankan beberapa upaya, sebagai bagian dari strategi
transformasi dari manual ke komputerisasi (digital). Apa saja upaya yang
dimaksudkan ? Sebagian diantaranya akan dikedepankan pada uraian berikut.
Pertama, rumuskan tujuan implementasi TI. Manajemen di
BPR harus terlebih dahulu merumuskan tujuan implementasi TI atau Komputerisasi,
yang rinciannya dituangkan dalam rencana kerja dan anggaran. Rencana berisikan
langkah-langkah dan jadual khusus untuk mengimplementasikan strategi. Sedangkan
anggaran merupakan aktivitas dari rencana yang diubah menjadi proyeksi
finansial dan tujuan. Termsuk didalamnya, penggunaan SDM (Sumber Daya Manusia),
yang secara rinci dituangkan dalam Action Plan implementasi.
Formulasi dan penetapan tujuan tersebut, ada juga
kaitannya dengan jenis TI yang diterapkan. Bila penerapan TI di BPR diharapkan
dapat mengelola transaksi secara on line, maka diterapkanlah konsep software
yang dapat mengakomodir on line.
Kedua, pastikan terlebih dahulu rincian hardcopy sistem
manual. Jika menerapkan TI, maka pastikan munualnya sudah ada. Sesungguhnya
sistem manuallah yang dipindahkan ke proses komputerisasi atau digital. Jangan
coba-coba menerapkan TI atau software di BPR sebelum ada hard copy manualnya.
Sebelum diterapkan, dipastikan seluruh SDM yang terkait dengan proses bisnis
BPR, dapat memahami dan mampu menjalankan manual sistem yang diterapkan, baik
yang terkait dengan operasional, perkreditan, sistem akuntansi, set up, laporan
keuangan (closing), dan lain-lain. Kenapa ? Karena bisnis BPR harus melindungi
dana dari masyarakat. Di BPR hampir 85% uang yang ada adalah dana masyarakat,
sehingga product liability software yang digunakan haruslah dapat dipastikan
dapat memproses semua aktivutas usaha BPR secara akurat.
Ketiga, strategi outsoursing. Pada umumnya BPR yang
menerapkan TI adalah menempu jalan outsoursing atau melalui vendor, karena
untuk membangun sendiri software banyak
yang telah menelan mega dana. Sebelum menetapkan vendor yang dijadikan sebagai
mitra dalam implementasi, maka ada baiknya dilakukan seleksi minimal dari 3
vendor atau kandidat. Supaya sukses
dalam menjalankan implementasi, maka perlu dicari bancmark software atau dicari
model dari masing-masing vendor TI yang diajak bermitra, apakah di BPR lain
sudah benar-benar dapat dijalankan dengan handal dan aman serta lancar.
Dalam menetapkan vendor sebagai mitra, maka perlu
terlebih dahulu menuangkan kesepakatan implementasi dalam Perjanjian Pemakaian,
Pembelian dan Implementasi Software, yang secara rinci mengatur hak dan
kewajiban para pihak. Dalam perjanjian tersebut dirumuskan penyelesaian masalah
atau konflik yang ada sehubungan dengan implementasi, seperti, penyelesaian
secara musyawarah dan mufakat, menyelesaian melalui arbitrase atau melalui
penyelesaian melalui court atau pengadilan tempat dimana pembeli dan penjual memilih domisili
hukum.
Keempat, pelatihan. Hal-hal yang terkait dengan software
BPR yang mau diterapkan, maka didahului atau diiringi dengan pelatihan kepada
SDM yang terkait. Pelatihan-pelatihan yang dimaksudkan disamping memiliki
sasaran untuk aspek peningkatan kompetensi pengetahuan dan ketrampilan, juga
dapat merealisasikan kompetensi di bidang sikap atau attitude di bidang
penerapan TI, seperti integritas dari SDM terkait untuk memperlakukan data
secara positif dan konfidensial, atau menyadari bahwa dengan penerapan TI
didapatkan kondisi yang jauh lebih baik dalam berkarier di BPR pada masa-masa
selanjutnya.
Kelima, mengelola manajemen perubahan. Transformasi dari manual ke digital atau komputerisasi di
BPR, membutuhkan sentuhan dari strategi mengelola perubahan. Tak dapat
dipungkiri, bisa saja ada beberapa SDM yang menolak perubahan, baik karena
alasan psikologis, sosiologis, maupun rasional. Pengurus BPR harus mampu memotivasi
dan menularkan urgensi atau visi perubahan transformasi dari manual ke digital
atau ke habit TI di BPR, dan visi itu harus dapat mengarahkan dan menuntun
seluruh SDM mencapai perubahan tersebut.
Keenam, vendor TI sebagai mitra BPR. Para vendor yang menjadi
mitra BPR dalam mengelola penerapan dan pengembangan TI, sudah sebaiknya bisa
mengakomodir kebutuhan dan perkembangan terbaru di BPR dalam software yang
digunakan, seperti akomodasi berbagai peraturan yang terkait dengan pengelolaan
BPR, seperti Prinsip mengenal Nasabah (pengelompokan resiko nasabah, pembuatan
dan pengkinian profil nasabah), SID, Laporan-Laporaan Keuangan BPR,
Restrukturisasi Kredit, Penerapan Transparansi, BMPK, dan lain-lain serta
implementasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan dan Perbankan, seperti SAK
ETAP, PA BPR.
(*Penulis adalah Training Leader JFI atau
Jakarta Financial Institute, E-mail : jfipusat@gmail.com, Telp.
081318967743)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar