Sabtu, 28 Juli 2012

DOKUMENTASI TRAINING JFI :"ANALISA KREDIT UNTUK PERORANGAN & UMKM” DI RUANG MARULITUA, HOTEL NALENDRA BANDUNG 7 JULI 2012

Pada sabtu 7 Juli 2012, bertempat di ruang Marulitua, Hotel Nalendra, Bandung, telah dilaksanakan pelatihan :"Analisa Kredit untuk Perorangan dan UMKM". Latar belakang pelatihan ini  mengedepankan bahwa  kecenderungan perubahan lingkungan bisnis BPR mengindikasikan perlunya perubahan untuk menjadi lebih baik, termasuk didalamnya memastikan penanganan kredit atau aktiva produktif  dari awal. Lazimnya, dimulai dari awal dengan baik, pada umumnya dapat mendukung peningkatkan kinerja serta bisa menurunkan resiko kredit, sehingga tidak terlalu rumit dalam penagihan misalnya.


Sedangkan tujuan pembelajaran pada pelatihan ini terdiri dari beberapa hal, antara lain :

-          Mampu memahami karakteristik Kredit untuk Perorangan dan UMKM;
-          Mampu memahami keterkaitan analisa kredit dengan manajemen perkreditan;
-          Mampu memahami persyaratan kredit;
-          Mampu menetapkan jangka waktu, plafond Kredit dengan penggunaan proyeksi Cash Flow dalam kegiatan analisa kredit;
-          Mampu menilai dan atau menganalisa komponen yang terkait dengan keputusan kredit;
-          Mampu memahami keterkaitan antara analisa kredit dengan monitoring, penagihan  dan pelunasan kredit.
-     Mampu melakukan wawancara untuk penyusunan proyeksi data keuangan nasabah   atau Calon Nasabah dan untuk mendapatkan informasi lainnya yang dibutuhkan dalam analisa kredit.
(Untuk Informasi training JFI = Jakarta Financial Institute, baik reguler maupun inhouse training, bisa dihubungi melalui nomor : 081318967743).

Jumat, 27 Juli 2012

Budaya Organisasi BPR : Perlu untuk Peningkatan Kinerja, Daya Saing dan Sustainability


Budaya Organisasi  BPR : Perlu untuk Peningkatan Kinerja, 
Daya Saing dan Sustainability
Oleh : Kardi Jfi*
            Sebetulnya ada 3 pilar yang dapat berperan untuk mentransformasikan visi dan misi BPR, yaitu strategi, struktur dan kultur organisasi BPR. Strategi adalah cara BPR mencapai visi dan misi, sedangkan struktur organisasi merupakan bentuk dari organisasi BPR untuk mencapai visi dan Misi. Adapun yang dimaksud dengan kultur organisasi adalah tindakan yang benar untuk mencapai tujuan. Misalnya budaya organisasi BPR Supra Artha Persada dikenal dengan sebutan CERDAS : Cepat Efektif Ramah Disiplin Akrab & berSahabat dan TACTICS yaitu: T (Truth = kejujuran), A (Active = aktif), C (Confidence  = percaya diri), T (Time = waktu), I (Initiative = inisiatif), C ( Communication = komunikasi), S (Science = ilmu pengetahuan).
Unsur budaya organisasi BPR KS misalnya : 1. Bersikap mental positif; 2. Selalu meningkatkan profesionalisme;3. Memiliki Integritas tinggi 4. Menciptakan lingkungan kerja yang positif; 5. Pemberdayaan (empowerment); 6. Mampu kerja dalam “team work” dengan bagian yang terkait. Adapun bagian dari budaya organisasi BPR Lestari dikenal dalam 7 nilai, yaitu Care, Honest, Perpection, Positive, Energy, Anthusiasm, dan Knowledge.
Tak dapat dipungkiri, kalau diamati penyusunan rencana kerja atau rencana bisnis BPR, masih ada beberapa BPR yang terkesan kurang memperhatikan faktor  budaya organisasi, padahal sesungguhnya manfaat budaya organisasi tak kalah pentingnya dengan strategi dan struktur organisasi BPR. Kalau diperhatikan landasan penyusunan Rencana Kerja BPR, sebagaimana yang diatur pada SK Dir BI No.31/60/Kep/Dir tertanggal 9 Juli 1998, maka substansi penyusunan Rencana Kerja masih berfokus pada strategi maupun struktur organisasi.
Apa saja manfaat budaya organisasi BPR ?  Menurut Robbins (2001:294) ada beberapa manfaat  budaya dalam suatu organisasi yaitu (1) budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan perbedaan yang  jelas antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya; (2) budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi; (3) budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang  lebih luas dari kepentingan diri individu seseorang; (4) budaya untuk meningkatkan kemantapan sistem sosial; dan (5) budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang  memandu dan membentuk sikap serta perilaku para pegawai/SDM.
Jadi, kalau dicermati manfaat tersebut, dapat dikatakan budaya organisasi BPR, diperlukan untuk Peningkatan Kinerja,  Daya Saing dan Sustainability BPR. Mengingat hal tersebut, ada baiknya BPR membentuk dan mengembangkan nilai-nilai budaya organisasi pada BPR
Dalam proses penyusunan rencana bisnis BPR, supaya dapat mendorong peningkatan efektivitas budaya organisasi, tentunya ada beberapa yang perlu diperhatikan. Sebagian diantaranya, pertama, perasaan identitas seluruh karyawan terhadap BPR. Seperti yang telah diketahui, budaya organisasi, akan membedakan BPR yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, dalam penyusunan rencana bisnis BPR, khususnya di sisi strategi manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) atau learning & growth, maka eskalasi perasaan yang bangga dari seluruh karyawan dan afiliasi terhadap identitas atau unsur-unsur budaya organisasi BPR perlu direncanakan dengan baik.
Kedua, konsistensi implementasi nilai kultur di semua lini organisasi. Sebelum finalisasi   rencana bisnis, maka perlu dievaluasi konsistensi penerapan unsur budaya, di semua lini organisisasi BPR pada periode sebelumnya. Pada lini yang masih memerlukan penguatan, dilakukan program aksi yang relevan.
Ketiga, efektivitas kultur inovasi, kreativitas dan keterbukaan akan ide-ide baru. Lingkungan bisnis BPR menyatakan hal tersebut sangat dibutuhkan untuk eskalasi daya saing, kinerja dan kesinambungan usaha BPR, maka efektivitasnya pada masa selanjutnya perlu diperhatikan BPR dalam rencana bisnisnya.
Keempat, kultur adaptasi. Memperhatikan perkembangan usaha BPR dalam beberapa tahun terakhir, kapasitas untuk beradaptasi dalam lingkungan bisnis yang telah masuk dalam persaingan yang tinggi, perlu ditingkatkan.
Kelima, motivasi. Motivasi seluruh SDM BPR di semua lini, sebagai bagian dari komponen dari kultur organisasi, dalam penuangannya dalam strategi  rencana bisnis BPR, tidak hanya pada ukuran atas imbalan uang dan non uang lagi, tetapi perlu mentransformasikannya ke kualitas yang lebih tinggi, yang berubah menjadi nilai atau value bagi setiap SDM BPR, misalnya motivasi dari dalam diri setiap SDM untuk memikirkan dan melakukan yang terbaik bagi BPR.
Akhirnya, dengan dimasukkannya budaya organisasi dalam rencana bisnis BPR, maka ia akan dapat menjadi padanan yang sinergis dengan pilar strategi dan struktur organisasi, dalam mendukung penggenapan visi dan misi BPR, baik saat ini maupun pada masa yang akan datang.
(*Penulis adalah Training Leader JFI = Jakarta Financial Institute, Email = jfipusat@gmail.com, Hp. 081318967743)

Sabtu, 21 Juli 2012

Dokumentasi Training JFI : ”Penerapan Hipnoterapi untuk Meningkatkan Produktivitas SDM BPR” di Ruang Usakirana, Hotel Nalendra, Jakarta 7 Juli 2012


Pemanfatan hipnoterapi untuk pengelolaan SDM di berbagai perusahaan telah banyak dilakukan. Di samping dapat meningkatkan produktivitas, secara spesifik penerapan hipnoterapi dapat meningkatkan loyalitas SDM kepada perusahaan, menurunkan absensi karyawan, menurunkan Turnover Karyawaan, menurunkan biaya untuk pemeliharaan kesehatan SDM, dan lain-lain. Berangkat dari hal tersebut pada Sabtu 7 Juli 2012 Jakarta Financial Institute (JFI) telah menyelenggarakan pelatihan :”Penerapan Hipnoterapi untuk Meningkatkan Produktivitas SDM BPR” di Ruang Usakirana, Hotel Nalendra, Jakarta Timur.
Ada beberapa  tujuan instruksional pembelajaran pada modul pelatihan ini, yaitu :
-          Mampu memahami pemanfaatan hipnoterapi untuk poduktivitas SDM BPR, seperti menghilangkan mental blok, meningkatkan rasa percaya diri, membangun motivasi, mengatasi masalah pribadi, membangun hubungan baik dengan nasabah & rekan kerja, dan lain-lain;
-          Mampu menjadi pribadi yang unggul dan bernilai;
-          Mampu berkomunikasi secara efektif baik untuk kepentingan internal maupun eksternal;
-          Mampu memahami hukum kekuatan pikiran bawah sadar dan mentransformasikannya untuk peningkatkan produktivitas;
-          Mampu melakukan komunikasi persuasi secara tidak langsung menuju ke alam  sadar komunikan, terutama dalam menyampaikan produk dan jasa BPR (***KP)

Informasi tentang Training JFI dapat menghubungi
Sdri. Yanti Mandasari (Telp. 0852822445739; Fax. 021-5808084; Email = jfipusat@gmail.com)


Rabu, 18 Juli 2012

BPR : Komputerisasi pada Bisnis BPR


Komputerisasi pada Bisnis BPR
Oleh : Kardi Jfi*
Salah satu dari lembaga usaha finansial yang masih perlu melakukan pengkajian dan penerapan pengembangan komputerisasi atau perubahan dari manual ke digital dalam kegiatan usahannya adalah BPR atau Bank Perkreditan Rakyat.
Sebagai bagian dari bisnis keuangan, BPR memiliki ciri khas, yaitu banyak transaksi tetapi dengan margin yang relatif kecil. Oleh karena itu, maka penyedia produk software maupun hardware yang terkait dengan komputerisasi pada BPR haruslah menyediakan dan mengembangkan produk yang relevan.
Transformasi dari manual ke komputerisasi pada bisnis BPR, baik saat ini maupun pada masa yang akan datang, bukan hanya merupakan sebuah keinginan lagi, tetapi sudah merupakan sebuah keharusan atau kebutuhan. Dengan menerapkan Teknologi Informasi (TI) yang berkembang pada usaha BPR, maka dapat mendukung kinerja, daya saing dan kelangsungan BPR.
Sebagai contoh, turunya nilai penjaminan dana pihak ketiga , seperti Deposito di Bank Umum, akan memberi angin segar bagi BPR, karena suku bunga penjaminan dana pihak ketiga, seperti Deposito di BPR, masih lebih tinggi. Hanya supaya cenderung bisa dipercaya, maka BPR dalam menjalankan kegiatan usahanya perlu terlebih dahulu didukung dengan TI. Analisa gap –maturity profile dana pihak ketiga akan lebih cepat dan akurat dilakukan BPR bila menerapkan perkembangan TI. Termasuk tentunya ketika melakukan costing dan pricing.
Bagaimana implikasi penerapan TI di BPR ? Tentu tidak lepas dari implikasi peranan perubahan TI itu sendiri. Marilah kita lihat implikasi perubahan TI atau Komputerisasi  sebagaimana ditulis Hammer dan Champy (Reenginering the Corporation, A Manifesto for Business Revolution, 1994). Pertama, pangkalan data. Informasi berubah dari muncul di satu tempat – satu waktu menjadi banyak tempat secara simultan, seperti teknologi ATM, E-mail, Facebook.
Kedua, sistem kepakaran. Pakar yang dapat menyelesaikan pekerjaan rumit digantikan generalis yang menyelesaikan pekerjaan pakar.
Ketiga, jaringan telekomunikasi. Pilihan dari desentralisasi atau sentralisasi berubah menjadi desentralisasi dan sentralisasi.
Keempat, model perangkat lunak. Pengambilan semua keputusan oleh manager digantikan oleh bagian dari pekerjaan setiap orang.
Kelima, telepon tanpa kawat. Informasi yang hanya dapat dikirim dari suatu kantor berubah menjadi dapat dikirim dan manapun juga.
Keenam, jaringan video interaktif. Kontak dengan pelanggan berubah dari harus dicari menjadi tersedia dimana saja.
Ketujuh, identifikasi otomatis. Informasi tntang sesuatu berubah dari harus dicari menjadi tersedia dimana saja.
Kedelapan, kecepatan perhitungan. Revisi perencanaan kerja berubah dari periode menjadi setiap saat.
Berangkat dari implikasi TI tersebut, maka dapat dikatakan supaya penerapannya berlangsung efektif dan aman, maka pengurus atau SDM BPR perlu menjalankan beberapa upaya, sebagai bagian dari strategi transformasi dari manual ke komputerisasi (digital). Apa saja upaya yang dimaksudkan ? Sebagian diantaranya akan dikedepankan pada uraian berikut.
Pertama, rumuskan tujuan implementasi TI. Manajemen di BPR harus terlebih dahulu merumuskan tujuan implementasi TI atau Komputerisasi, yang rinciannya dituangkan dalam rencana kerja dan anggaran. Rencana berisikan langkah-langkah dan jadual khusus untuk mengimplementasikan strategi. Sedangkan anggaran merupakan aktivitas dari rencana yang diubah menjadi proyeksi finansial dan tujuan. Termsuk didalamnya, penggunaan SDM (Sumber Daya Manusia), yang secara rinci dituangkan dalam Action Plan implementasi.
Formulasi dan penetapan tujuan tersebut, ada juga kaitannya dengan jenis TI yang diterapkan. Bila penerapan TI di BPR diharapkan dapat mengelola transaksi secara on line, maka diterapkanlah konsep software yang dapat mengakomodir on line.
Kedua, pastikan terlebih dahulu rincian hardcopy sistem manual. Jika menerapkan TI, maka pastikan munualnya sudah ada. Sesungguhnya sistem manuallah yang dipindahkan ke proses komputerisasi atau digital. Jangan coba-coba menerapkan TI atau software di BPR sebelum ada hard copy manualnya. Sebelum diterapkan, dipastikan seluruh SDM yang terkait dengan proses bisnis BPR, dapat memahami dan mampu menjalankan manual sistem yang diterapkan, baik yang terkait dengan operasional, perkreditan, sistem akuntansi, set up, laporan keuangan (closing), dan lain-lain. Kenapa ? Karena bisnis BPR harus melindungi dana dari masyarakat. Di BPR hampir 85% uang yang ada adalah dana masyarakat, sehingga product liability software yang digunakan haruslah dapat dipastikan dapat memproses semua aktivutas usaha BPR secara akurat.
Ketiga, strategi outsoursing. Pada umumnya BPR yang menerapkan TI adalah menempu jalan outsoursing atau melalui vendor, karena untuk membangun sendiri  software banyak yang telah menelan mega dana. Sebelum menetapkan vendor yang dijadikan sebagai mitra dalam implementasi, maka ada baiknya dilakukan seleksi minimal dari 3 vendor atau kandidat.  Supaya sukses dalam menjalankan implementasi, maka perlu dicari bancmark software atau dicari model dari masing-masing vendor TI yang diajak bermitra, apakah di BPR lain sudah benar-benar dapat dijalankan dengan handal dan aman serta lancar.
Dalam menetapkan vendor sebagai mitra, maka perlu terlebih dahulu menuangkan kesepakatan implementasi dalam Perjanjian Pemakaian, Pembelian dan Implementasi Software, yang secara rinci mengatur hak dan kewajiban para pihak. Dalam perjanjian tersebut dirumuskan penyelesaian masalah atau konflik yang ada sehubungan dengan implementasi, seperti, penyelesaian secara musyawarah dan mufakat, menyelesaian melalui arbitrase atau melalui penyelesaian melalui court atau pengadilan tempat  dimana pembeli dan penjual memilih domisili hukum.
Keempat, pelatihan. Hal-hal yang terkait dengan software BPR yang mau diterapkan, maka didahului atau diiringi dengan pelatihan kepada SDM yang terkait. Pelatihan-pelatihan yang dimaksudkan disamping memiliki sasaran untuk aspek peningkatan kompetensi pengetahuan dan ketrampilan, juga dapat merealisasikan kompetensi di bidang sikap atau attitude di bidang penerapan TI, seperti integritas dari SDM terkait untuk memperlakukan data secara positif dan konfidensial, atau menyadari bahwa dengan penerapan TI didapatkan kondisi yang jauh lebih baik dalam berkarier di BPR pada masa-masa selanjutnya.
Kelima, mengelola manajemen perubahan. Transformasi  dari manual ke digital atau komputerisasi di BPR, membutuhkan sentuhan dari strategi mengelola perubahan. Tak dapat dipungkiri, bisa saja ada beberapa SDM yang menolak perubahan, baik karena alasan psikologis, sosiologis, maupun rasional. Pengurus BPR harus mampu memotivasi dan menularkan urgensi atau visi perubahan transformasi dari manual ke digital atau ke habit TI di BPR, dan visi itu harus dapat mengarahkan dan menuntun seluruh SDM mencapai perubahan tersebut.
Keenam, vendor TI sebagai mitra BPR. Para vendor yang menjadi mitra BPR dalam mengelola penerapan dan pengembangan TI, sudah sebaiknya bisa mengakomodir kebutuhan dan perkembangan terbaru di BPR dalam software yang digunakan, seperti akomodasi berbagai peraturan yang terkait dengan pengelolaan BPR, seperti Prinsip mengenal Nasabah (pengelompokan resiko nasabah, pembuatan dan pengkinian profil nasabah), SID, Laporan-Laporaan Keuangan BPR, Restrukturisasi Kredit, Penerapan Transparansi, BMPK, dan lain-lain serta implementasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan dan Perbankan, seperti SAK ETAP, PA BPR.
(*Penulis adalah Training Leader JFI atau Jakarta Financial Institute, E-mail : jfipusat@gmail.com, Telp. 081318967743)

Senin, 16 Juli 2012

DOKUMENTASI TRAINING JFI :"TEKNIK MARKETING YANG EFEKTIF" DI HOTEL HARIS, BATAM CENTER, BATAM 7 JULI 2012
















DOKUMENTASI TRAINING JFI :"TEKNIK MARKETING YANG EFEKTIF" DI HOTEL HARIS, BATAM CENTER, BATAM 7 JULI 2012

BPR : Peran dan Fungsi Customer Service dan Teller dalam Memberi Nilai Tambah


Peran dan Fungsi Customer Service dan Teller 
dalam Memberi Nilai Tambah
Oleh : Kardi Pakpahan*
            Peran dan fungsi Bank Perkreditan Rakyat (BPR), sesuai dengan namanya, masih banyak dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya bagi mereka yang ada pada segmen Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). BPR adalah termasuk Lembaga Keuangan Mikro, diantara pelaku usaha lainya, seperti Koperasi Simpan Pinjam (Kospin), Unit Kredit Mikro Perbankan.
            Dari sisi perkembangan usaha secara nasional, dapat dikatakan dalam beberapa tahun terakhir BPR termasuk usaha yang masih bertumbuh secara signifikan. Namun akhir-akhir ini, industri BPR masih diperhadapkan dengan angka NPL (Non Perform Loan) yang masih relatif tinggi. BPR dengan NPL yang masih relatif tinggi tidak hanya ada di di luar pulau Jawa.
            Tentu, pengurus BPR selama ini sudah berupaya penuh dengan berbagai strategi menangani NPL atau meningkatkan kualitas aktiva produktifnya. Namun satu hal yang masih perlu dilakukan atau ditingkatkan BPR dalam rangka meningkatkan kualitas aktiva produktif atau kreditnya adalah melalui peningkatan kualitas pelayanan. Hal ini terkait dengan formula dari NPL itu sendiri itu adalah Total Kredit Bermasalah dibagi Total Outstanding Kredit. Dengan demikian, NPL dapat diperkecil, disamping menangani secara efektif  kredit pada kolektibilitas non perform, juga dengan ekspansi kredit baru secara baik kepada nasabah, yang dikenal dengan formula penyaluran kredit dengan prinsip 3T ( Tepat Guna, Tepat Jumlah, Tepat Waktu).
Beberapa tahun lalu, salah satu bank, yang dalam menangani kredit bermasalah, disamping banyak menggunakan strategi jitu penanganan melalui penerapan best practise,  juga sekaligus saat yang sama meningkatkan kualitas pelayanan adalah Bank Mandiri.  Salah satu tema peningkatan kualitas pelayanan Bank Mandiri di tengah-tengah tingginya NPL mereka dalam beberapa tahun yang lalu adalah “Melayani dengan hati menuju yang terbaik”. Koherensi antara  peningkatkan kualitas dan penerapan berbagai strategi penanganan  NPL telah dinikmati Bank Mandiri saat ini, karena NPL-nya sudah di bawah 5%. Slogan bisnisnya pun berubah menjadi :”Terbesar, Terpercaya, Tumbuh Bersama Anda”. Sebetulnya, BPR juga dapat melakukan hal yang sama.
Beberapa waktu lalu, penulis memiliki sebuah pengalaman tatkala ikut pada antrian untuk mendapatkan pelayanan di  Teller sebuah BPR. Singkat cerita, di bagian paling depan ada seorang Bapak yang komplein tentang lamahnya penyelesaian penarikan tabungan yang dilakukan. Mungkin karena terlalu capek atau karena hal lainnya, Teller yang melayani menyajikan jawabannya berikut :”Ini kan BPR, beginilah adanya”.  Si Bapak yang komplien terlihat masih menyimpan kekesalan mendapat respon seperti itu dan mukanya kelihatanya mencerminkan  ketidakpuasan.
            Antara BPR dengan usaha finansial lainnya, seperti bank umum, asuransi, perusahaan pembiayaan, perusahaan dana pensiun, dalam menyajikan kualitas pelayanan, sesungguhnya tidak dapat lagi dibedakan. Sebagai gambaran, skim nilai jaminan dana pihak ketiga di Bank Umum dan BPR sudah sama. Semua perusahaan, termasuk tentunya BPR, sudah seharusnya dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada nasabah. Untuk itu BPR perlu mencanangkan penyelenggaraan kualitas pelayanan (service quality) kepada nasabah secara kontiniu dan konsisten pada semua lini pelayanan, teristimewa di  fronf office, seperti di Customer Service, Teller/Kasir.
            Melalui kualitas pelayanan, maka pada akhirnya akan dapat membangun index kepuasaan dan loyalitas nasabah. Kalau nasabah puas, berarti curiga atau ketidakpercayaan nasabah ke BPR menjadi hilang dan  dapat dilakukan penjualan produk, sekaligus kemungkinan cross selling. Dalam pada itu,  nasabah yang puas dan merasa selalu diperhatikan, akan selalu senang berhubungan dengan BPR, dengan tetap menjadi pelanggan yang loyal dan sekaligus menjadi saluran promosi produk BPR ke pihak lain. Lazimnya, nasabah yang puas cenderung memberitahukannya ke pihak lain, khususnya kepada keluarga atau relasinya.
            Beginilah penelitian yang dilakukan Xerox tentang kepuasan konsumen atau Customer, bahwa :”Konsumen yang merasa puas secara total memiliki kecenderungan untuk melakukan pembelian berulang 6 kali lebih besar daripada konsumen yang hanya merasa puas”.
Apa saja yang  dapat dilakukan untuk menghasilkan kepuasaan dan loyalitas nasabah ? Menurut Frederick & Salter ada 5 (lima) variabel, yaitu : 1) harga; 2) kualitas produk; 3) kualitas jasa; 4) inovasi; 5) citra perusahaan. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan di BPR, maka kelima hal tersebut dapat dijadikan sebagai instrumen untuk menyajikan kualitas pelayanan kepada nasabah.
Dalam pada itu, untuk semakin meningkatkan kualitas pelayanan, makna Customer Service sudah sebaiknya mengakomodir makna yang terkandung dalam Customer Care. Menurut A.B. Sutanto, ada makna khusus yang terkandung di dalam Customer Care. Pertama, tidak sekedar menjual, tetapi memiliki objektif membentuk “kelanggengan hubungan” antara BPR dengan nasabah. Berarti ada kesinambungan dan waspada terhadap gerakan pesaing.
Kedua, dari sisi pelaksanaan teknis, anggota organisasi harus menerapkan pendekatan preventif maupun konsultatif. Konsultatif dalam arti bukan hanya bertindak sebagai problem solver, tetapi juga meluas ke berbagai aspek lain.
Ketiga, tidak hanya menjawab dan menyelesaikan masalah kalau ada keluhan saja, tetapi berusaha secara preventif jangan sampai timbul keluhan, rasional maupun emosional, yang makin sering terjadi mengingat konsumen  atau nasabah sudah kian kritis dan bijaksana dalam membuat keputusan.
Untuk semakin mengefektifkan kualitas pelayanan pada BPR, khususnya pada Customer Service dan Teller, termasuk sekuriti, maka tentunya ada beberapa upaya yang dapat dilakukan. Sebagian diantaranya akan dikedepankan pada uraian berikut.
Pertama, standar pelayanan. Perlu dikedepankan standar pelayanan. Standar yang dimaksudkan dijadikan Standar Operation Prosedure (SOP) dan menjadi habit bagi sumber daya manusia. Standar yang dimaksukan tentunya dapat disusun antara lain memanfaatkan informasi dari konsumen atau nasabah internal, terutama mereka yang banyak berhubungan dengan konsumen atau front lines.
Kedua, komunikasi yang efektif. Komunikasi yang efektif itu mengandung unsur : 1) Respect (sikap menghargai setiap individu sasaran komunikasi); 2) Empathy ( kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi orang lain); 3) Audible (dapat didengarkan atau dimengerti); 4) Clarity (kejelasan dari pesan itu sediri sehingga tidak menimbulkan multi interprestasi); 5) Humble (membangun komunikasi yang efektif adalah sikap rendah hati.
Ketiga, kenali nasabah. Ada kata bijak yang mengatakan, tak kenal maka tak sayang. Nasabah juga manusia,  yang dapat jatuh cinta, jikalau BPR mampu mengenal dan memahami kebutuhan mereka.
Keempat, berikan senyum. Senyum, kata Gede Prama, adalah salah satu harta yang diberikan Tuhan ke Manusia. Dikatakan demikian, sebab senyum bisa mengubah banyak sekali, seperti sedih jadi gembira, benci jadi rindu, orang biasa jadi simpatik, suasana beku menjadi cair.
Kelima, menata emosi supaya merasa lebih baik setiap hari. Para peniliti A.M. Isen, K.A. Daubman dan G.P. Nowicki dalam tulisan mereka yang berjudul : ”Positive Affect Facilitates Creative Problem Solving” pada  Jounal of Personality and Social Psychology, Vol. 52, 1987 menyimpulkan : bahwa emosi positif dapat berdampak positif dalam penyelesaian masalah sementera emosi negatif menghambatnya. Oleh karena itu, khususnya Customer Service dan Teller, harus mengenali, mengelola, dan memotivasi emosinya supaya senantiasa positif.
(*Penulis adalah Trainer/Advokat, Telp. 0813-2895-0019, IG = kardi_pakpahan )

Sabtu, 14 Juli 2012

BPR : Keterkaitan KAP dan KAI

Keterkaitan KAP dan KAI
Oleh : Kardi Jfi*
          Apakah Kualitas Aktiva Produktif (KAP) dan Kualitas Aktiva Intelektual (KAI) memiliki titik taut pada perusahaan umumnya, dan pada perusahaan institusi keuangan khususnya ? Kalau dicermati berbagai refrensi tampaknya demikian. Pada umumnya beberapa refrensi yang ada sampai pada sebuah kesimpulan, bahwa untuk kelangsungan usaha secara berkesinambungan dengan kinerja yang relatif tinggi perlu didukung dengan pengembangan pada aspek KAI. Dengan demikian, secara umum kalau dipetakan dalam sebuah sumbu koordinat (absis dan ordinat), maka hubungan KAP dan KAI adalah  berbanding lurus dengan KAP. Lazimnya kalau KAI sumber daya manusia (SDM) institusi keuangan, seperti BPR,   relatif baik, maka  output-nya menghasilkan KAP-nya yang berkualitas dan sehat.
          KAP menjadi artikulasi pada tulisan ini dilatarbelakangi oleh peranan KAP itu sendiri. Dapat dikatakan, pada umumnya neraca sebuah perusahaan keuangan  80% asetnya atau hartanya terdiri dari Aktiva Produktif atau Pinjaman yang Diberikan (PyD) atau Kredit. Dan, pendapatan perusahaan di bidang keuangan/bank 80% biasanya berasal dari aktiva produktif. Dengan demikian, maka Kualitas Aktiva Produktif atau KAP perlu secara kontiniu dan konsisten dijaga dan ditingkatkan.
Salah satu parameter utama yang  digunakan dalam mengukur Tingkat Kesehatan Bank atau perusahaan pembiayaan saat ini adalah KAP. Ini semakin mengindikasikan bahwa memang KAP memiliki peranan yang vital.  Tak dapat disangkal, banyak cara untuk meningkatkan KAP itu, seperti Pembuatan dan pelaksanaan Kebijakan Kredit, Analisa Kredit, Komite Kredit, Pengikatan Kredit, Administrasi Kredit, Monitoring Kredit, Penerapan manajemen resiko kredit maupun Tim Recovery Credit atau Collection yang tangguh. Tetapi yang tak kalah penting sesunggugnya adalah pada aspek  Man behind the Gun atau Man behind the system, yaitu variabel KAI  SDM atau karyawaan BPR. Mengingat hal tersebut,  ungkapan yang menyatakan bahwa SDM adalah aset utama perusahaan memiliki nilai kebenaran.
Untuk menjaga dan meningkatkan KAP, maka logisnya KAI SDM atau karyawaan haruslah ditingkatkan.  Masalah yang dihadapi bank akan berkembang. Cara atau resep yang dilakukan dua tahun yang lalu dalam menangani masalah manajemen perkreditan, tentu tidak dapat sepenuhnya lagi digunakan ”memperkosa” masalah perkreditan saat ini. Kalaupun dipaksakan, maka KAP akan cenderung menurun. Oleh karena itu, perlu program dan pelaksanaan atau dapat dikatakan habit untuk mengembangkan KAI SDM perusahaan keuangan.
Banyak referensi yang dapat untuk mendukung hal tersebut, seperti Stephen R. Covey dalam bukunya 7 Habits of Highly Effective  People, memaparkan bahwa  habit yang ketujuh yang perlu dilakukan supaya efektif menangani masalah adalah mengasah gergaji, termasuk tentunya meningkatkan KAI dari SDM atau teamwork. William Cohen dalam bukunya yang berjudul the Art of Strategic, menyampaikan supaya karyawaan misalnya  mau dan mampu tampil sebagai pemenang  maka harus didukung dengan faktor fisik, mental dan moral. Cohen menyatakan ketiga hal tersebut harus seimbang dan selaras. Mental atau intelektual seseorang supaya dapat tampil sebagai pemenang, harus didukung faktor fisik dan moral atau nilai-nilai yang diakui. Oleh karena itu,  maka  kegiatan up grade intelektualitas karyawaan melalui proses belajar, seperti melalui Training, perlu dilaksanakan secara kontiniu dan konsisten supaya karyawaan dapat membawa banknya untuk tampil sebagai pemenang.
Dengan KAI SDM yang baik, maka pada akhirnya dapat menjadikan kompetensi SDM relatif tinggi, yang dapat menjadikan KAP perusahaan prima secara berkesinambungan, yang tentunya seluruh stage holder perusahaan dapat memperoleh  manfaatnya. Kompetensi SDM yang dimaksukan meliputi inter personal skills, intra personal skills, maupun analytical skills. Dengan demikian, KAI SDM perusahaan tidak hanya memahami apa yang dikerjakan dan mengapa harus dikerjakan, tetapi memiliki kompetensi  bagaimana  melakukan serta memiliki keinginan yang tinggi  melalui segenap kemampuan untuk melakukan aksi-aksi yang menjadi peranannya. 
Dalam rangka peningkatan KAI SDM di perusahaan, dapat dilakukan melalui pendidikan dan latihan, baik secara formal maupun secara mandiri dan informal. Upaya-upaya peningkatan KAI secara informal misalnya membaca buku-buku atau media massa, mendengar radio, akses internet, diskusi dengan rekan kerja.
Dalam rangka keberhasilan pelaksanaan pelatihan, baik yang dilakukan lembaga pelatihan maupun dengan cara in-house training, untuk meningkatkan KAI SDM BPR,   maka  ada beberapa yang perlu diperhatikan. Diantarannya, pertama, metode pelatihan. Potret SDM yang ikut dalam pelatihan pada umumnya diklasifikasikan menjadi 3 bagian, yaitu 1) lebih cepat belajar kalau melihat apa yang dilatihkan; 2) lebih cepat belajarr melalui mendengar; 3) lebih menyenangi kalau peserta sekaligus melakukan. Untuk itu, metode pelatihan harus disesuiakan dengan ketiga kondisi tersebut.
Kedua,  menentukan kebutuhan dan tujuan. Supaya sebuah pelatihan berpengaruh positip, maka sudah sebaiknya  terlebih dahulu dirumuskan tujuan dan kebutuhan pelatihan.
Ketiga, menyusun program pelatihan. Berdasarkan tujuan dan kebutuhan pelatihan, maka kegiatan selanjutnya yang perlu dilakukan adalah menentukan program dan SDM yang diikutsertakan dalam pelatihan.
Keempat,  melaksanakan evaluasi pelatihan. Beberapa alasan yang mendasari mengapa program pelatihan harus dievaluasi adalah: 1) memastikan bahwa pelatihan benar-benar merupakan sarana yang pas dalam usaha untuk memperbaiki kinerja dan produktivitas perusahaan; 2) memastikan bahwa biaya yang digunakan benar-benar dapat memberi manfaat;  3) untuk penyempurnaan pelaksanaan program pelatihan untuk masa selanjutnya; 4) sebagai bahan  dalam memilih metode-metode pelatihan yang paling tepat untuk pelaksanaan pelatihan berikutnya. Senada dengan pelaksanaan evaluasi pelatihan ini, maka sudah sebaiknya ROI (Return of Investment) terhadap sebuah pelatihan sudah mulai diukur perusahaan. Kalau ROI pelatihan yang dilakukan misalnya kecil, maka ada baiknya pelaksaan pelatihan disempurnakan atau diganti dengan program pelatihan yang lebih pas.
Muara dari proses pelatihan, baik yang dilakukan secara formal maupun informal adalah lahirnya budaya belajar bagi setiap SDM perusahaan. Kondisi yang demikian, akan mendukung semakin meningkatkatnya KAI SDM, yang pada akhirnya dapat meningkatkan KAP. Bila hal seperti itu berjalan secara berkesinambungan, maka NPL (Non Perform Loan)  di Perusahaan Keuangan/Bank akan semakin kecil atau kualitas kredit/aktiva produktif akan semakin baik.
{*Penulis adalah Training Leader di JFI (Jakarta Financial Institute), email = jfipusat@gmail.com, Hp. 081318967743}

DOKUMENTASI TRAINING JFI :"STRATEGI KOMUNIKASI YANG EFEKTIF DAN KREATIF" HOTEL MERCURE BATAM 7 JULI 2012













DOKUMENTASI TRAINING JFI :"STRATEGI KOMUNIKASI YANG EFEKTIF DAN KREATIF" DI HOTEL MERCURE, BATAM 7 JULI 2012

Kamis, 12 Juli 2012

BPR : Hope is Great Motivation bagi Sang Pemenang


Hope is Great Motivation bagi Sang Pemenang
Oleh : Kardi Jfi
          Diproyeksikan tantangan penyelenggaraan usaha BPR dari waktu ke waktu cenderung semakin besar. Mengingat hal tersebut, salah satu hal utama yang perlu dibangun adalah harapan (hope). Dikatakan demikian, karena harapan adalah induk dari motivasi  (great motivation) untuk menghasilkan kemenangan atau prestasi di segala bidang. Banyak pakar di bidang pengembangan pribadi (personal expanding)  yang menyatakan bahwa hal yang diharapkanlah, yang didapatkan. Jadi, walapun tantangan lingkungan usaha  kian berat, maka setiap insan  sudah seharusnya mengharapkan yang terbaik.
            Untuk menopang hal tersebut diperlukan 3 hal berikut. Pertama, sadari bahwa hidup ini adalah indah. Sebetulnya kalau disadari dari dimensi spritual, hidup ini adalah indah. Tetapi, kadangkala karena berbagai tugas atau kegiatan rutin, keindahan itu menjadi sirna dari pandangan, perasaan, dan pikiran. Memang hidup penuh perjuangan, tetapi landasan yang digunakan tetap haruslah pada keyakinan bahwa hidup ini indah (life is beautiful), supaya hasil perjuangan  nyata dan berkesinambungan. Selami dan rasakanlah keindahan itu. Di depan mata aja, ada perbedaan, ada pria dan wanita. Bayangkan apa jadinya kalau pria semuanya di jagad ini. Betul, perbedaan itu adalah indah. Tentu, masih banyak keindahan lainnya.
            Kedua, tata emosi dan pikiran supaya positif setiap hari. Pondasi untuk melalukan sebuah karya atau usaha adalah emosi dan pikiran. Supaya berhasil dalam berkarya, di bidang apa pun itu, maka tata emosi dan pikiran supaya positif setiap hari. Tak mungkin prestasi dibangun dengan landasan emosi dan/atau pikiran yang negatif. Beginilah bagian dari syair lagu “Jagalah Hati” : BILA HATI KIAN BERSIH PIKIRANPUN AKAN JERNIH; SEMANGAT HIDUP KAN GIGIH PRESTASI MUDAH DIRAIH; NAMUN BILA HATI KERUH, BATIN SELALU GEMURUH; SEAKAN DIKEJAR MUSUH DENGAN ALLAH KITA JAUH”. Robins, sang guru sukses mengatakan :”Emotion create motion”. Tindakan positif berasal dari emosi positif, begitu juga sebaliknya.
            Ketiga, kita dan BPR  kita lahir bersama peluang. Jadi, walapun tantangan usaha semakin besar, tetap di sana ada peluang. Di tengah kesempitan pun, ada kesempatan. Hanya saja, perlu cara lain ATAU cara baru untuk menghadapi peluang itu, dengan cara bekerja keras, bekerja cerdas, belajar cepat, belajar bijak dan belajar cerdas, untuk Keep Getting Better atau menjadi lebih baik di segala kondisi. Dengan begitu, kemenangan dapat digapai, dan sekaligus bisa menjadi Pemenang.
(*Penulis adalah Training Leader pada JFI (JAKARTA FINANCIAL INSTITUTE), Email : jfipusat@gmail.com)

Rabu, 11 Juli 2012

Sabtu, 07 Juli 2012

BPR : Pengkinian Data pada Penerapan Program APU dan PPT

Pengkinian Data pada Penerapan Program APU dan PPT
Oleh : Kardi Jfi*
                Pada penerapan program APU  (Anti Pencucian Uang) dan PPT (Pencegahan Pendanaan Terorisme) bagi BPR, lazimnya pengkinian data dilakukan setelah melakukan pemantauan, pada pelaksanaan fungsi Customer Due Dilegence (CDD) maupun Enhanded Due Diligence (EDD) .  Ruang lingkup pemantauan itu sendiri meliputi : a) mengidentifikasi kesesuaian antara transaksi Nasabah dengan profil Nasabah dan menatausahakan dokumen tersebut  secara berkesinambungan  ; b) melakukan analisis terhadap seluruh transaksi yang tidak sesuai dengan profil Nasabah; c) apabila diperlukan, meminta informasi tentang latar belakang dan tujuan transaksi terhadap transaksi yang tidak sesuai dengan profil Nasabah, dengan memperhatikan ketentuan  Anti Pencucian Uang.
                Adapun jenis-jenis kegiatan pemantauan yang dilakukan secara berkesinambungan itu terdiri dari : a) memastikan kelengkapan informasi dan dokumen Nasabah; b) meneliti kesesuaian antara profil transaksi dengan profil Nasabah; c) meneliti kemiripan atau kesamaan nama dengan nama yang tercantum dalam database daftar teroris; d) meneliti kemiripan atau kesamaan nama dengan nama tersangka atau terdakwa yang dipublikasikan dalam media massa atau oleh otoritas yang berwenang. Seluruh kegiatan pemantauan itu didokumentasikan secara baik.
                Landasan peningkinian data pada penerapan APU dan PPT bagi BPR diatur pada pasal 20 PBI No.12/20/PBI/2010, disana dikatakan :”BPR wajib melakukan pengkinian data terhadap domumen Nasabah , antara lain Informasi Nasabah, baik perorangan maupun badan hukum atau perkumpulan/yayasan/Lembaga Pemerintah ( Pasal 13, pasal 14, pasal 15, pasal 16, pasal 17 PBI No.12/20/PBI/2011); serta menatausahakannya.
                Pengkinian data Nasabah mencakup pengkinian profil Nasabah dan transaksinya. Dalam hal sumber daya yang dimiliki BPR  terbatas, kegiatan pengkinian data dilakukan dengan skala prioritas, dengan parameter : a) tingkat risiko Nasabah tinggi; b) transaksi dengan jumlah yang signifikan dan/atau menyimpang dari profil transaksi atau profil Nasabah; c) saldo yang nilainya signifikan; d) informasi yang ada pada CIF belum sesuai dengan PBI No.12/20/PBI/2010.
                Pengkinian data biasanya  dilakukan secara berkala berdasarkan tingkat risiko Nasabah/transaksi. Sebagai contoh, untuk Nasabah risiko tinggi (nilai Resiko 3) pengkinian data dilakukan setiap 6 bulan, untuk Nasabah risiko menengah (nilai Resiko 2) pengkinian data dilakukan setiap 1 tahun, dan untuk Nasabah risiko rendah (nilai Resiko 1) pengkinian data dilakukan setiap 2 tahun.
                 Sebagaimana diketahui dalam pelaksanaan CDD, penerimaan nasabah didasarkan pada pendekatan resiko, yang diukur berdasarkan : a) identitas Nasabah; b) tempat/lokasi usaha Nasabah; c) profil Nasabah; d) Nilai Transaksi; e) Kegiatan Usaha nasabah; f) struktur kepemilikan bagi Nasabah perusahaan; g) informasi lainnya yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat resiko nasabah.
                Untuk pelaksanaan pengkinian data, di BPR biasanya disediakan formatnya, yang lazimnya berisi : a) jenis nasabah/tingkat resiko; b) Rekening/CIF yang akan dikinikan; c) Informasi yang dikinikan; d) Metode/strategi; e) time frame penyelesaian pengkinian data.
(*adalah Training Leader pada Jakarta Financial Institute atau JFI, Email = jfipusat@gmail.com)