Senin, 16 Desember 2019

Perihal Eksekusi Hak Tanggungan

Catatan Eksekusi Jaminan :
Perihal Eksekusi Hak Tanggungan


Oleh : Kardi Pakpahan*
                Bagian dari persyaratan persetujuan fasilitas kredit adalah collateral atau jaminan, diantara persyaratan kredit lainnya, seperti capacity, capital, condition of economic, dan character.  Salah satu bentuk pengikatan jaminan kredit yang banyak diterapkan pada penyaluran kredit oleh Penyelenggara Jasa Keuangan, selaku Kreditur, baik perbankan maupun non perbankan, adalah Hak Tanggungan.
                Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, menurut pasal 1 angka 1 UU No.4 Tahun 1996, yang juga disebut UUHT, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
            Dilipilihnya Hak Tanggungan sebagai bentuk jaminan kredit, karena kekhususan dalam menguasai obyek jaminan oleh Kreditur dan 3 alternatif eksekusi hak tanggungan. Tiga alternatif eksekusi hak tanggungan yang dimaksudkan, pertama,   eksekusi parat atau eksekusi langsung atau parate eksekusi (pasal 20 ayat 1a UUHT  jis Pasal 6 dan pasal 11 ayat 2e UUHT. Pada pasal 20 ayat 1a UUHT disebutkan :”Apabila Debitor cidera janji, maka berdasarkan : hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek HakTanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT”. Sedangkan pada pasal 6 UUHT dinyatakan :”Apabila debitor cidera janji, pemegang HakTanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”. Sementara itu, pada pasal 11 ayat 2e UUHT :” Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain : janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji”. Dengan demikian, pelaksanaan eksekusi langsung hak tanggungan pada bagian ini tidaklah melalui fiat eksekusi ketua Pengadilan Negeri yang berwewenang, tetapi langsung lelang umum melalui KPKNL atau Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang, sesuai  Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan PMK No.90/PMK.06/2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Lelang dengan Penawaran secara Tertulis tanpa Kehadiran Peserta Lelang melalui Internet.
            Pada pasal 5 PMK No.27/PMK.06/2016 dinyatakan bahwa jenis lelang terdiri dari : a) lelang eksekusi; b) lelang non eksekusi wajib; c) lelang noneksekusi sukarela. Sedangkan menurut pasal 6e PMK No.27/PMK.06/2016  lelang eksekusi terdiri : lelang eksekusi pasal 6 UUHT.
            Kedua, eksekusi melalui titel eksekutorial atau eksekusi melalui pertolongan hakim/fiat eksekusi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat 1b UUHT jo pasal 14 ayat 2 dan pasal 14 ayat (3) UUHT. Pada pasal 20 ayat 1b UUHT disebutkan :”Apabila Debitor cidera janji, maka berdasarkan : titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului dari pada kreditor-kreditor lainnya”.
            Dasar hukum titel eksekutorial diatur  pada pasal 14 ayat 2 UUHT, yang menyebutkan :” Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". Menurut pasal 14 ayat 3 UUHT, sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah”. Adapun hukum acara yang terkait dengan eksekusi pada bagian ini saat ini masih menggunakan ketentuan pasal 224 Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herzeiene Indonesisch Reglement/HIR, S.1941 : 44) dan Pasal 258 Reglement Acara Hukum untuk daerah Luar Jawa dan Madura, S.1927 : 227). Adapun tahapan sita eksekutorial hak tanggungan pada bagian ini, Ketua Pengadilan terlebih dahulu melakukan penetapan anmaning dan penyitaan (Vide : pasal 196 sd 200 HIR), dan kemudian Ketua Pengadilan membuat penetapan lelang dan selanjutnya mengajukan permohonan lelang kepada KPKLN.
Sedangkan proses pelelangan obyek hak tanggungan pada eksekusi dengan title eksekutorial ini juga  dilakukan melalui KPKNL (Vide : pasal 6b  PMK No.27/PMK.06/2016).
Ketiga, eksekusi atas kesepakatan Kreditur dan Debitur ( Pasal 20 ayat 2 UUHT dan Pasal 20 ayat 3 UUHT). Pada pasal 20 ayat 2 UUHT dinyatakan :”Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak”. Pelaksanaan penjualan obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada pasal 20 ayat 2 UUHT, menurut pasal 20 ayat 3 UUHT hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.
Dari ketiga jenis eksekusi hak tanggungan yang diatur pada pasal 20 UUHT, yang membutuhkan bantuan ketua pengadilan negeri adalah eksekusi hak tanggungan dengan title eksekutorial, sedangkan eksekusi langsung atau parat dan eksekusi kesepakatan tidaklah membutuhkan fiat ketua pengadilan.   
(*Penulis adalah Advokat & Trainer, Telp/WA : 0813-2895-0019)