Jumat, 09 Oktober 2020

Perihal Kompetensi Absolut Pengadilan untuk Penanganan Perkara Klaim Penjaminan Nasabah pada LPS

 

Catatan Hukum :

Perihal Kompetensi Absolut Pengadilan untuk Penanganan
Perkara Klaim Penjaminan  Nasabah pada LPS

Oleh : Kardi Pakpahan*

          Salah satu bagian penting akibat dilakukannya pencabutan izin usaha bank adalah pada aktivitas pembayaran klaim simpanan nasabah pada bank yang dicabut izin usahanya, baik produk tabungan, deposito, maupun giro. Institusi yang melakukan penjaminan simpanan nasabah di bank saat ini di sini adalah Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). Pada pasal 10  UU No.24/2004 sebagaimana diubah dengan UU No.7/2009, yang disebut juga dengan UU LPS, disebutkan :”LPS menjamin Simpanan nasabah bank yang berbentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu ".

Masalahnya, klaim simpanan nasabah sebagai konsekusensi ditutupnya sebuah bank, sering harus berakhir di Pengadilan, gegara simpanan dinyatakan tidak layak bayar menurut LPS. . Selama ini, klaim simpanan itu dilakukan melalui pengadilan umum atau pengadilan Negeri. Tetapi ada juga wacana belakangan ini yang menyatakan bahwa pengadilan yang berhak untuk memproses klaim tersebut adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Apakah memang demikian ?

                Pada pasal 16 ayat 3 UU LPS, disebutkan : “LPS wajib menentukan Simpanan yang layak dibayar, setelah melakukan rekonsiliasi dan verifikasi atas data Nasabah Penyimpan dan informasi lain, yang diperoleh LPS dari LPP (Lembaga Pengawas Perbankan) dan/atau Bank dalam rangka penghitungan dan pembayaran klaim Penjaminan selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak izin usaha bank dicabut”.

          Simpanan yang tidak layak bayar itu dapat diketahui dari batasan yang diatur pada pasal 19 ayat 1 UU LPS. Disana dikatakan :”Klaim Penjaminan dinyatakan tidak layak dibayar apabila berdasarkan hasil rekonsiliasi dan/atau verifikasi : a) data Simpanan nasabah dimaksud tidak tercatat pada bank; b) Nasabah Penyimpan merupakan pihak yang diuntungkan secara tidak wajar; dan/atau; c)  Nasabah Penyimpan merupakan pihak yang menyebabkan keadaan bank menjadi tidak sehat”.

          Dalam hal Nasabah Penyimpan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) UU LPS, merasa dirugikan maka nasabah dimaksud dapat melakukan upaya hukum melalui pengadilan ( Vide : Pasal 20 ayat 1 huruf b UU LPS). Masalahnya baik dalam UU LPS atau penjelasannya tidak ditentukan kompetensi absolut   pengadilan apa yang memeriksa dan mengadili sengketa klaim penjaminan simpanan pada LPS.

          Kompetensi absolut merupakan pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan dilihat dari macamnya pengadilan yang meliputi pemberian kekuasaan untuk mengadili. Saat ini kompetensi absolut pengadilan dibagi dalam 4 (empat) lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum (mengadili perkara pidana dan perdata), peradilan agama (khususnya mengadili perkara perkawinan dan kewarisan bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam), peradilan militer (mengadili militer yang melakukan kejahatan), dan peradilan tata usaha negara (mengadili sengketa tata usaha negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku).

          Apakah  dimungkinkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk mengadili perkara klaim Penjaminan simpanan setelah LPS menentukan simpanan yang layak bayar atau simpanan yang tidak layak  bayar melalui  serangkaian rekonsiliasi dan verifikasi data simpanan yang diperoleh LPS dari LPP dan/atau Bank yang dicabut izin usahannya ?  Kalau dilihat dari konteks UU LPS di satu sisi dan UU No.5/1986, sebagaimana diubah dengan UU No.9/2004 dan UU No.51/2009 yang disebutkan juga dengan UU Peradilan Tata Usaha Negara atau UU PTUN di sisi lain, maka dapat dikatakan dari sisi kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidaklah berwenang mengadili perkara klaim simpanan kepada LPS. Apa alasan dikatakan demikian ?

          Pertama, LPS sebagai salah badan tata usaha negara hanya menentukan simpanan yang layak bayar atau tidak layak bayar berdasarkan data transaksi keuangan nasabah penyimpanan dana dari bank yang dicabut izin usahanya dengan melakukan rekonsiliasi dan verifikasi, tidaklah mengandung penetapan (beschikking) maupun pernyataan kehendak (wilsorming). Sehingga peristiwa hukum tersebut adalah peristiwa hubungan hukum perdata, bukanlah merupakan keputusan badan atau pejabat tata usaha negara. Sehingga kalau nasabah penyimpan memperkarakan keberatannya  karena LPS menyatakan simpannya pada bank yang ditutup tidak layak bayar, haruslah kepada Pengadilan Negeri atau Peradilan Umum.

Ikatan transaksi keuangan simpanan nasabah pada bank yang dicabut izinya adalah dalam konteks hubungan hukum perdata, yang mengandung fasilitas penjaminan dari LPS kalau bank dicabut izinya . Perikatan nasabah penyimpan dana dengan bank dalam hal transaksi keuangan simpanan bersumber dari persetujuan atau perjanjian (vide : pasal 1320 KUHper jo pasal 1338 KUHPer). Sedangkan ikatan nasabah penyimpan dana di bank dengan LPS yang wajib diikutkan dalam program penjaminan  merupakan perikatan yang timbul dari sisi undang-undang (Vide : pasal 1233 KUHPer).  

Dapat dikatakan, tugas LPS dalam menentukan simpanan nasabah Penyimpan yang layak atau tidak layak bayar merupakan instrument hukum publik pemerintah yang tidak memiliki sifat sepihak dan individual, karena dalam program penjaminan ada nasabah penyimpan dan bank (baik bank konvesional maupun syariah). Kalau LPS melakukan kesalahan atau kelalaian, , baik sengaja maupun kealpaannya, dalam menjalankan ketentuan atau peraturan sehubungan dengan tugas, fungsi dan wewenangnya dalam melaksanakan penjaminan kepada simpanan nasabah penyimpan, maka tidaklah masuk dalam kompetensi absolut PTUN, tetapi adalah kompetensi absolute Peradilan atau Pengadilan Negeri atau pengadilan umum.   

Dari sisi lapisan produk, maka dapat dikatakan fasilitas penjaminan LPS pada produk simpanan perbankan merupakan lapisan yang ketiga dan untuk itu perbankan membayar kontribusi kepesertaan dan premi penjaminan kepada LPS serta menyerahkan dokumen-dokumen penjaminan. Lapisan pertamanya, nama produk simpanan (Tabungan, Deposito, Giro), Lapisan Keduanya perhitungan ekonomis produk simpanan. Dengan demikian, fasilitas penjaminan LPS pada produk simpanan pada bank, yang terikat secara perdata karena perjanjian (Vide : Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata/KUHPer), yaitu perjanjian produk simpanan (tabungan, deposito, giro) dan terikat karena Undang-undang, yang berdasarkan pasal 8 ayat 1 UU LPS setiap Bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia wajib menjadi peserta Penjaminan (Vide : Pasal 1233 KUHPer).  Dengan demikian, wilayah putusan tata usaha negara yang dilaksanakan LPS dalam menentukan simpanan Penyimpan Dana di Bank, yang layak bayar atau tidak layak bayar,  berasal dari Perbuatan Hukum Perdata  yang karenanya bukanlah obyek gugatan PTUN (Vide : Pasal 2 angka 1 UU No.9/2004 jo UU No.5/1986).

        Kedua, masalah ganti rugi. Besarnya ganti rugi yang diperoleh Penggugat pada  PTUN berdasarkan pasal ayat 1 PP No.43/1991,  paling banyak Rp 5 juta. Pada kenyataannya tuntutan ganti rugi klaim penjaminan oleh Nasabah Penyimpan dapat jauh lebih besar dari Rp 5 Juta.   Sebagai contoh, Tuan B merupakan nasabah deposan pada bank yang dicabut izin usahanya, yaitu di PT BPR ABC (DL) dengan nilai Rp 2 Milyar (sebagaimana diketahui nilai simpanan yang dijamin LPS setiap nasabah berdasarkan pasal 1 PP No.66/2008 paling banyak Rp 2 M). LPS baru dapat menentukan dan mengumumkan bahwa deposito Tuan B, 90 hari setelah  izin PT BPR ABC (DL) dicabut, dan saat itu suku bunga penjaminan LPS untuk BPR adalah 7,75% per tahun. Setelah pengumuman tersebut, Tuan B melakukan upaya keberatatan ke LPS yang memakan waktu 1 bulan misalnya, dengan jawaban LPS bahwa simpanan Tuan B, tetap tidak layak bayar. Maka selanjutnya menyusun gugatan dengan nilai ganti rugi berdasarkan suku bunga 7,75 pa, untuk 4 bulan atas deposito Rp 2 Milyar dan setelah dikurangi PPh, yaitu sebesar Rp 41.333.332,-. Dengan demikan tidak tepat didaftar perkarannya ke PTUN.

          Jadi, tepatnya pengadilan yang dimaksud  pada  Pasal 20 ayat 1 huruf b UU LPS, adalah Pengadilan Negeri,  sebagaimana dimaksud pada pasal 1 angka 1 UU No.2/1986, yang telah diubah dengan UU No.49/2009 tentang Peradilan Umum. Tentu pada Pengadilan Negeri atau peradilan umum, disamping dapat melakukan gugatan perdata umum untuk klaim penjaminan kepada LPS, terbuka juga dilakukan gugatan perdata khusus melalui pengadilan niaga jika obyek simpanan yang diklaim sudah menjadi boedel pailit (Vide : Pasal 26 ayat 1 UU Kepailitan) dan melalui gugatan sederhana jika klaim penjaminan simpanan paling banyak Rp 500 juta, sebagaimana diatur pada  Perma No.2/2015/ jo Perma No.4/2019.

(Penulis adalah seorang Pengamat Hukum & Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia)

 #Klaimsimpanan    #KonsekuensiCabutIzinUsahaBank   

#HakNasabah