Kamis, 25 Juni 2020

Perihal Perlindungan Hukum bagi Pembeli Beritikad Baik atas Sebidang Tanah


Catatan Hukum :
Perihal Perlindungan Hukum bagi Pembeli Beritikad 
Baik atas Sebidang Tanah
Oleh : Kardi Pakpahan*
                Bagaimana sekiranya Piter (bukan nama sebenarnya), telah membeli sebidang tanah kosong dengan bukti kepemilikan Hak Milik dari Tigor (bukan nama sebenarnya) dan sudah  menempuh  prosedur standar dalam proses pembelian lahan, yaitu menyepakati harga jual beli dengan Penjual,  memeriksa dokumen kepemilkan tanah, dilakukan  pengecekan status alas hak tanah ke kantor pertanahan atau Badan Pertanahan Nasional (BPN),  pembuatan akta jual beli dilakukan oleh PPAT/Notaris yang bewewenang serta dilaksanakan  proses balik nama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
                Setelah dua tahun, tatkala Piter telah rampung membangun rumah di atas tanah yang dibeli dari Penjual, yang telah dicita-citakannya selama 15 tahun sejak bekerja di sebuah perusahaan swasta, tiba-tiba ada  2 pihak, yaitu Dame (bukan nama sebenarnya)  dan Jojor (bukan nama sebenarnya),   mengajukan gugatan perbuatan melawaan hukum melalui pengadilan negeri tentang jual-beli  tanah yang dilakukan oleh Piter dan Tigor.  Tentu, Piter merasa kuatir dengan gugatan tersebut, dengan 2 alasan utama. Alasan pertama, bahwa Piter telah menabung sekitar 15 tahun untuk dapat membeli tanah tersebut. Kedua, untuk membangun rumah di atas tanah tersebut, Piter mendapatkan fasilitas pinjaman dari salah satu bank swasta.
                Bagaimana perlindungan hukum terhadap Piter, yang membeli sebidang tanah dari Tigor ? Setelah berkas gugatan dipelajari Piter, didapatkan data-data sebagai berikut. Pertama, asal tanah memang asalnya dari warisan orang tua Tigor yang lebih lama hidup, yang bernama Tingkos (bukan nama sebenarnya). Pada dokumen keterangan waris yang diketahui Piter sebelumnya, ada 3 orang ahli waris  dari orang tua Tigor,  yaitu Tigor, Tagor (bukan nama sebenarnya) dan Togar (bukan nama sebenarnya). Tanah yang dibeli Piter merupakan pemecahan dari tanah, dengan alas hak milik, objek warisan  dari orang tua mereka. Dari berkas gugatan itu, didapatkan keterangan bahwa ahli waris dari dari orangtua Tigor sebetulnya ada 5 orang, yaitu Tigor, Tagor, Togar, Dame dan Jojor.
                Untuk melihat perlindungan hukum kepada Piter atas jual beli tanah yang dilakukan dengan Tigor, pertama-tama dapat dicermati melalui keabsahan perjanjian dan kekuatan mengikat sebuah perjanjian. Dari sisi keabsahan perjanjian, yaitu perjanjian jual beli tanah, yang dibuat dengan akta otentik, prinsipnya sudah memenuhi pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Adapun 4 syarat sahnya perjanjian, yang diatur pada pasal 1320 KUHPer adalah 1) sepakat mereka yang mengikatkan diri pada suatu perjanjian; 2) kecakapan untuk bertindak melakukan suatu perjanjian; 3) suatu hal tertentu; 4) suatu sebab yang halal atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
                Akibat hukum suatu perjanjian yang telah dibuat para pihak secara sah, dapat diketehui dari pasal   1338 HUHPer. Disana dikatakan :”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam pada itu, pada pasal 1338 ayat 2 KUHPer juga disebutkan :” Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”.   Perjanjian jual beli tanah antara  Piter dan Tigor harus juga dilaksanakan dengan itikad baik (vide: pasal 1338 ayat 3 KUHPer).
                Dari sisi syarat sahnya perjanjian dan proses jual beli tanah yang telah dilakukan, maka dapat dikatakan bahwa Piter adalah termasuk pembeli beritikad baik. Untuk mengetahui batasan pembeli tanah beritikad  baik itu , dapat diketahui dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.4/2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil  Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Republik  Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan (halaman 6 sd 7).  Pada SEMA No.4/2016 dikedepankan 2 kriteria pembeli beritikad baik yang perlu dilindungi.
                Pertama, melakukan jual beli atas obyek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundangan-undangan, yaitu : 1)  Pembelian tanah melalui pelelangan umum atau 2) Pembelian tanah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah ( sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor : 24/1997 atau ; 3) Pembelian terhadap tanah milik adat/yang belum terdaftar yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum adat, yaitu : a) dilakukan secara tunai dan terang (dihadapan/diketahui Kepala Desa/Lurah setempat); b) didahului dengan penelitian mengenai status tanah obyek jual-beli dan berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanah obyek jual beli adalah milik penjual; 4) Pembelian dilakukan dengan harga yang layak.
                Kedua, melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek yang diperjanjaikan antara lain : 1) Penjual adalah orang yang berhak/memiliki hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli, sesuai dengan bukti kepemilikan, atau 2) Tanah/objek yang diperjualbelikan tersebut tidak dalam status disita; atau 3) Tanah objek yang diperjualbelikan tidak dalam status jaminan/hak tanggungan, atau 4) Terhadap tanah yang bersertifikat, telah memperoleh keterangan dari BPN dan riwayat hubungan hukum antara tanah tersebut dengan pemegang sertifikat.
                Bagaimana perlindungan bagi pembeli tanah yang beritikad baik, sebagaimana yang disebutkan pada SEMA No.4/2016 ? Untuk mengetahuinya dapat dibaca pada butir IX SEMA No.7/2012. Pertama, Perlindungan harus diberikan kepada Pembeli beritikad baik sekalipun kemudian diketahui bahwa Penjual adalah orang yang tidak berhak (Objek jual beli tanah). Kedua, Pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada Penjual yang tidak berhak. 
                Dengan demikian, dalam jual beli atas tanah yang disebutkan di atas, Pembeli, yaitu Piter pada posisi yang  dilindungi, kalau pun Pemilik asal mau meminta ganti rugi, harus mengajukannya kepada Penjual, yaitu Tigor.
(*Kardi Pakpahan, seorang advokat dan trainer di bidang Perbankan/Hukum)


Kaitan Amar Putusan Deklaratoir dengan Amar Komdemnatoir dalam Perkara Perdata

Catatan Hukum :
Kaitan Amar Putusan Deklaratoir dengan Amar Komdemnatoir dalam Perkara Perdata
Oleh : Kardi Pakpahan*
            Bagaimana sekiranya bila amar putusan kondemnatoir  pada perkara perdata dengan pokok perkara perbuatan melawan hukum, yang diputuskan tanpa memutus pokok perkara perdata, yang bersifat deklatoir  ? Untuk melihat bagaimana hubungan diantara amar putusan Deklatoir dengan   putusan kondemnatoir pada uraian berikut dikedepankan pengertian  3 sifat amar putusan perkara perdata. Pertama, putusan deklaratoir (declaratoir vonnis). Sifat putusan ini merupakan penjelasan atau penetapan tentang suatu hak maupun status, yang berisi tentang pernyataan atau penegasan tentang suatu keadaan atau kedudukan hukum semata-mata.  Misalnya, menurut M. Yahya Harahap, SH (2005 : 876),  tentang gugatan dengan pokok perkara perbuatan melawan hukum, berdasarkan pasal 1365 KUHPer, jika gugatan dikabulkan maka  putusan didahului dengan amar deklaratoir berupa pernyataan :”bahwa tergugat telah bersalah melakukan perbuatan melawan hukum” atau “Menyatakan demi hukum perbuatan Tergugat merupakan perbuatan melawan hukum kepada Penggugat”. Sedangkan bila pokok gugatan misalnya tentang wanprestasi maka amar deklatoirnya :”Menyatakan demi hukum perbuatan Tergugat wanprestasi kepada Penggugat”.
            Kedua, putusan konstitutif ( constitutief vonnis) adalah putusan yang memastikan suatu keadaan hukum, baik bersifat meniadakan suatu keadaan hukum maupun menimbulkan keadaan hukum baru. Misalnya amar putusan konstitutif perkara perceraian :”Menyatakan perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya”. Putusan perceraian ini  meniadakan keadaan hukum, yakni tidak ada lagi ikatan hukum antara suami dan istri sehingga putusan itu meniadakan hubungan perkawinan yang ada, bersamaan dengan itu mengemua keadaan hukum baru kepada suami istri sebagai Duda dan Janda.
            Ketiga, putusan kondemnatoir (comdemnatoir) adalah putusan yang memuat amar yang menghukum  salah satu pihak berperkara. Putusan yang bersifat kondemnatoir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari amar deklaratif atau konstitutif. Contoh  amar  putusan kondemnatoir misalnya kalau pokok perkaranya  wanprestasi : “Menghukum TERGUGAT untuk membayar seluruh hutangnya kepada PENGGUGAT, yaitu berupa pokok pinjaman, bunga, dan denda, berdasarkan Surat Perjanjian Kredit Nomor : 072/3319/5/PB/X/2017 tanggal 30 Oktober 2017, sebesar Rp 620.887.500,-, yang terdiri dari : Pokok Pinjaman Rp.    500.000.000,-; Tunggakan Bunga Rp.  112.750.000,- ; Denda Rp. 8.137.500” sedangkan kalau pokok perkaranya misalnya perbuatan melawan hukum, maka contoh amar putusan komdemnatoirnya :’Menghukum Tergugat untuk mengembalikan harta warisan Penggugat   dalam keadaan kosong dan baik, tanpa beban apapun”.
            Menurut M. Yahya Harahap, SH (2005 : 877), amar putusan komdentaoir merupakan satu kesatuan dengan amar deklaratif sehingga amar deklaratoir merupakan condition sine qua non atau syarat mutlak untuk menjatuhkan putusan komdemnatoir dan penempatan amar deklatoir dalam putusan yang bersangkutan, mesti ditempatkan mendahului amar kondemnatoir atau dengan perkataan lain amar putusan komdemnatoir merupakan asesoir dari amar putusan deklaratoir.
            Kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini, bagaimana misalnya dalam sebuah putusan  perkara perdata dengan pokok perkara perbuatan melawan hukum, membuat putusan kondemnatoir seperti :” ’Menghukum Tergugat untuk mengembalikan harta warisan Penggugat   dalam keadaan kosong dan baik, tanpa beban apapun”, tanpa membuat atau didahului dengan amar putusan deklaratoir, seperti :”Menyatakan demi hukum perbuatan Tergugat merupakan perbuatan melawan hukum kepada Penggugat”. Mengingat amar deklaratoir merupakan condition sine qua non atau syarat mutlak untuk menjatuhkan putusan komdemnatoir atau amar putusan komdemnatoir merupakan asesoir terhadap amar putusan deklatoir, maka amar putusan seperti hal tersebut mengandung cacad hukum.
(*Penulis adalah Praktisi Hukum dan Trainer