Senin, 23 September 2019

UU LPS 15 Tahun : Efektivitas Penerapan dan Urgensi Perubahan


Rubrik  Opini :
UU LPS 15 Tahun : Efektivitas Penerapan 
dan Urgensi Perubahan


Oleh : Kardi Pakpahan*
            Lembaga Penjaminan Simpanan atau LPS didirikan dengan diundangkannya UU No.24/2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan, yang disebut juga Undang-undang  LPS atau UU LPS,  pada 22 September 2004.  LPS hadir untuk menjamin simpanan nasabah penyimpan dan mendukung stabilitas sistem perbankan.   Sistem penjaminan simpanan nasabah melalui LPS dapat dikatakan menggantikan sistem penjaminan yang berlaku sebelumnya. Sebagaimana yang telah diketahui sistem penjaminan simpanan nasabah sebelumnya diatur melalui  Kepres No.26/1998 tentang jaminan terhadap kewajiban pembayaran Bank Umum dan Kepres No.193/1998 tentang  jaminan terhadap kewajiban pembayaran Bank Perkreditan Rakyat, yang mengedepankan pemberian jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank termasuk simpanan masyarakat, yang dikenal dengan istilah blanket gurantee.
            Melalui UU No.7/2009 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.66/2008, nilai simpanan yang dijamin LPS untuk setiap nasabah pada satu bank yang berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UU LPS ditetapkan paling banyak Rp 100.000.000,- diubah menjadi paling banyak Rp 2.000.000.000,- . Hal ini bisa terjadi karena UU LPS menganut sistem penjaminan simpanan  yang terbatas.
            Disamping merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan nasabah pada perbankan, berdasarkan pasal 5 UU LPS tugas lain dari LPS adalah a) merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan; b) merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik; dan c) melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.
            Pada tanggal 22 September 2019 penerapan UU LPS telah genap 15 tahun. Apakah kira-kira yang menjadi catatan yang perlu dikedepankan pada penerapan UU LPS selama ini dan masa yang akan datang ? Kalau dicermati penerapan UU LPS selama ini, catatan yang perlu dikedepankan pada dua sisi utama, yaitu perlu penerapan secara efektif dan untuk mengantisipasi perkembangan lingkungan usaha perbankan/jasa keuangan perlu dilakukan perubahan. Sebagian dari catatan itu akan dikedepankan pada uraian berikut.
            Pertama,  kantor LPS. Jaringan usaha LPS sebetulnya adalah seluruh wilayah Indonesia, Namun hingga  saat ini kantor LPS cuma  di Jakarta, di kawasan elit Sudirman Central Business District (SCBD), Jakarta Selatan, dengan cara sewa. Mungkin kalau digunakan dana sewa kantor LPS secara optimal selama ini di kawasan SDBD Jakarta, maka LPS sebetulnya terbuka peluangnya berkantor atau memiliki  kantor di beberapa kota besar untuk menjalankan seluruh fungsi, tugas dan wewenangnya secara efektif. Akibat kantor LPS yang cuma ada di Jakarta misalnya, dapat dikatakan adalah berpengaruh pada efektivitas penyelenggaraan klaim simpanan nasabah pada Bank yang telah dicabut izin usahanya, pengawasan pelaksanaan likuidasi bank, pelaksanaan  rekonsiliasi, verifikasi dan/atau konfirmasi yang terkait dengan pelaksanaan penjaminan simpanan.  Contohnya,  seorang nasabah yang telah menabung bertahun-tahun di suatu bank yang telah ditutup atau dicabut izin usahannya dengan saldo Rp 80 juta yang relatif jauh dari Jakarta, setelah mengajukan klaim tetapi ditolak LPS, dan tahap berikutnya hal yang dilakukan menempuh upaya hukum, yaitu mengajukan gugatan ke LPS melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (vide : pasal 20 ayat 1 huruf b UU LPS), selaku tempat kedudukan hukum LPS (actor sequitur forum rei). Kalaupun nasabah tersebut memenangkan gugatannya, bisa menjadi tidak dapat apa-apa karena tingginya biaya yang dikeluarkan melakukan upaya hukum.
            Berdasarkan pasal 3 ayat 2 UU LPS sebetulnya LPS dapat mempunyai kantor perwakilan di wilayah Negara Republik Indonesia. Mengingat hal tersebut, model baru kantor LPS di wilayah lain di Nusantara, dapat dikembangkan, baik secara permanen atau sementara. Kantor LPS sementara, antara 1 sampai 2 tahun  dapat diselenggarakan di luar Jakarta dalam rangka pengawasan likuidasi bank (vide : pasal 49 UU LPS), atau pelaksanaan klaim simpanan nasabah, khususnya melalui upaya hukum, manakala ada Bank yang ditutup yang  jauh dari kantor  pusat LPS.
Kedua, kedudukan kreditur. Kreditur  merupakan setiap pihak yang memiliki tagihan kepada Bank dalam Likuidasi.  Setiap pembayaran yang dilakukan Tim Likuidasi kepada para Kreditur pada sebuah Bank dalam Likuidasi, berdasarkan pasal 2 ayat 3 UU LPS harus akuntabel, yaitu dapat dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedudukan dan susunan kreditur pada Bank dalam Likuidasi diatur pada pasal 54 ayat 1 UU LPS. Disana dikatakan :”Pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan dilakukan dengan urutan sebagai berikut : a) penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang terutang; b) penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai; c) biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terutang, dan biaya operasional kantor; d) biaya penyelamatan yang dikeluarkan oleh LPS dan/atau pembayaran atas klaim Penjaminan yang harus dibayarkan oleh LPS; e) pajak yang terutang; f) bagian Simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dibayarkan penjaminannya dan Simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dijamin; dan g) hak dari kreditur lainnya”. Kalau dicermati susunan kreditur pada Bank dalam Likuidasi, maka Kreditur a sampai dengan f merupakan kreditur yang diistimewakan, berdasarkan skala prioritas dari Kreditur a sampai f, sedangkan kreditur lainnya berada pada kelompok huruf  g. Sehingga kalau ada kreditur yang memegang jaminan gadai atau hak tanggugan/hipotik pada Bank dalam likuidasi, dapat dikatakan berada pada kelompok Kreditur lainnya, dengan tetap memegang hak preferen diantara kreditur lainnya yang mungkin ada.
            Di dalam kondisi tertentu  terbuka kreditur yang diistimewakan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari kreditur pemegang jaminan gadai atau hipotik/hak tanggungan. Ketentuan yang terkait dengan hal tersebut diatur  pada pasal 1134 KUHPerdata. Disana dikatakan :”Hak istimewa adalah hak yang diberikan oleh Undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-semata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotik lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal Undang-undang dengan menentukan kebalikannya”.
            Dalam pada itu, berbeda dengan pasal 55 UU No.37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sesuai dengan pasal 54 ayat 1 UU LPS pada Bank dalam Likuidasi, tidak dikenal dengan kedudukan kreditur  separatis. Dengan demikian, supaya akuntabel, pembayaran yang dilakukan kepada Kreditur pada Bank dalam likuidasi dilaksanakan sesuai dengan urutan kreditur pada pasal 54 ayat 1 UU LPS.
            Ketiga,  masalah pesangon pegawai yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Pembayaran pesangon pegawai pada Bank dalam Likuidasi, sebagaimana yang ditentukan pada pasal 54 ayat 1 huruf  b UU LPS,  berupa penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai. Dalam penerapannya, ada pihak yang mereduksi hak-hak pegawai sebagai konsekuensi PHK pada Bank dalam Likuidasi adalah pesangon saja.  Jika dikaitkan dengan alasan PHK dikarenakan perusahaan tutup atau karena bank ditutup, menurut pasal 164 ayat 1 UU No.13/2003 hak-hak pegawai  yang mengalami PHK adalah uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”. Ketentuan pasal 164 ayat 1 UU No.13/2003 juga seirama dengan imbalan kerja Pesangon yang ditentukan pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 24 (PSAK 24) yang substansinya terdiri dari 3 bagian yaitu pesangon, penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
            Hak-hak pegawai sebagai konsekuensi dari PHK pada Bank dalam Likuidasi, yang terdiri dari pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak juga telah dikuatkan  melalui putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan pada putusan Perkara Nomor : 250/Pdt.Sus-PHI/2017/PN Medan tertanggal 21 Maret 2018. Berangkat dari hal tersebut, maka istilah pesangon pada ketentuan pasal 54 ayat 1 huruf b UU LPS, sudah sepantasnya berisi 3 komponen hak-hak pegawai yang mengalami PHK pada Bank dalam Likuidasi, yaitu pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak.
            Keempat, dewan pengawas. Organ LPS menurut  pasal 62 UU LPS terdiri atas Dewan Komisioner dan Kepala Eksekutif. Dewan Komisioner adalah pimpinan LPS (Vide : pasal 63 ayat 1 UU LPS). Dalam pada itu, menurut pasal  70 ayat 1 UU LPS, Dewan Komisioner berwenang mewakili LPS di dalam dan di luar pengadilan. Mengingat tugas LPS akan bertambah dengan diberlakuknya UU No.6/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan dan kecenderungan bertambahnya volume usaha LPS sekitar 1 sampai 2 kali dari dari yang ada saat ini sebagai konsekuesni pengumpulan dana premi Restrukturisasi Perbankan untuk Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, maka organ LPS dari yang ada saat perlu ditambah Dewan Pengawas LPS dengan melakukan perubahan terhadap UU LPS.
            Kelima, substansi tata kelola LPS. Asas tata kelola LPS menurut pasal 2 ayat 3 UU LPS terdiri dari 3, yaitu independen, transparan, dan akuntabel.  Searah dengan pengembangan LPS, asas tata kelola LPS tersebut perlu dilengkap dengan asas kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas tata kelola pertanggungjawaban (responsibility) yang merupakan kesesuaian pengelolaan LPS dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip pengelolaan LPS yang sehat. Penambahan asas tata kelola ini dapat dimasukkan dalam program perubahan UU LPS, khususnya pasal 2 ayat 3. Semoga
(*Penulis adalah Alumnus FHUI, Advokat  &  Pengamat Perbankan, Telp/WA : 0813-2895-0019; IG : kardi_pakpahan)


Rabu, 04 September 2019

Perihal Kreditur Preferen pada Bank Dalam Likuidasi


Catatan BDL :

Perihal Kreditur Preferen pada Bank Dalam Likuidasi

Oleh : Kardi Pakpahan*

            Proses likuidasi Bank atau disebut juga Bank Dalam Likuidasi (BDL) berdasarkan pasal 53 UU No.24/2004 dilakukan dengan cara : a) pencairan aset dan/atau penagihan piutang kepada para Debitur diikuti  dengan pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan tersebut, atau ; b) pengalihan aset dan kewajiban bank kepada pihak lain berdasarkan persetujuan LPS.
Bagaimana pengaturan kedudukan Kreditur Preferen atau kreditur yang didahulukan  pada Bank Dalam Likuidasi (BDL). Untuk itu marilah kita lihat ketentuan pasal 54 ayat 1 UU No.24/2004. Disana dikatakan :”Pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dilakukan dengan urutan sebagai berikut : a. penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang terutang; b) penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai (yang menurut UU No.13/2003 ataupun PSAK Imbal Kerja atau PSAK 24, mencakup pesangon, uang penghargaan maupun penggantian hak); c. biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terutang dan biaya operasional kantor; d. biaya penyelamatan yang dikeluarkan oleh LPS dan/atau pembayaran atas klaim Penjaminan yang harus dibayarkan oleh LPS; e. pajak yang terutang (meliputi pajak bank dan pajak yang dipungut oleh bank selaku pemotong atau pemungut pajak); f. bagian Simpanan dari Nasabah penyimpan yang tidak dibayarkan penjaminnya dan Simpanan dari Nasabah penyimpan yang tidak dijamin; dan g. hak dari Kreditur lainnya”.
            Sebagaimana diketahui ketentuan kreditur preferen diatur pada pasal 1133 KUHPerdata, yang menyatakan :”Hak untuk didahulukan diantara para Kreditur bersumber pada hak istimewa, pada gadai dan pada hipotik (hak tanggungan)”.  Bagaimana kedudukan kreditur yang memiliki hak istimewa di satu sisi dan Kreditur yang memiliki jaminan berupa gadai dan Hipotik atau hak tanggungan di sisi lain ?
            Hubungannya diatur pada pasal 1134 KUHPerdata. Disitu disebutkan :”Hak istimewa adalah hak yang diberikan oleh Undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-semata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotik lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal Undang-undang dengan menentukan kebalikannya”.
            Jika dikaitkan dengan pasal 55 UU No.37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sesuai dengan pasal 54 ayat 1 UU No.24/2004, pada Bank dalam Likuidasi, tidak dikenal dengan kedudukan kreditur  separatis.
            Kalau begitu, dimana posisi kreditur pemegang jaminan gadai, hipotik atau hak tanggungan pada Bank dalam likuidasi ? Seperti yang telah disebutkan pada pasal 1134 KUHPerdata, Kreditur pemegang gadai dan hipotik/hak tanggungan tidak selalu lebih tinggi dari Kreditur pemilik hak Istimewa. Bila mendapat pengaturan dalam Undang-undang, Kreditur dengan hak istimewa dapat memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Kreditur pemegang Gadai, Hipotik atau Hak Tanggungan.
            Mengacu pada pasal 54 ayat 1 UU No.24/2004,  Kreditur  yang akan menerima : a. penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang terutang; b. penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawi; c. biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terutang dan biaya operasional kantor; d. biaya penyelamatan yang dikeluarkan oleh LPS dan/atau pembayaran atas klaim Penjaminan yang harus dibayarkan oleh LPS; e. pajak yang terutang; f. bagian Simpanan dari Nasabah penyimpan yang tidak dibayarkan penjaminnya dan Simpanan dari Nasabah penyimpan yang tidak dijamin, merupakan Kreditur yang diberikan hak istimewa menurut UU No.24/2004, berdasarkan urutan dengan skala prioritas dari huruf a sampai ke huruf f. Sedangkan posisi Kreditur pemegang jaminan gadai, hipotik/hak tanggungan berada pada posisi Kreditur Lainnya (Vide : pasal 54 ayat 1 huruf g UU No.24/2004).  Kalau kebetulan pada posisi Kreditur lainnya ada juga kreditur-kreditur Konkruen, seperti tagihan komisi broker atau agen, dan lain-lain, maka Kreditur pemegang jaminan gadai, hipotik atau hak tanggungan tentunya tetap memiliki hak preferen pada pos Kreditur lainnya.
            Sebagai contoh, BPR A (Bank dalam Likuidasi/DL), ketika dicabut izin usahanya masih memiliki pinjaman di  Bank  X (Bank Umum) dalam rangka linkage program, sebesar Rp 500.000.000,- , dengan jaminan deposito BPR A di Bank X sebesar Rp 500.000.000,- , yang diikat dengan gadai yang dilengkapi dengan surat kuasa pencairan. Dalam kondisi seluruh Kreditur yang memiliki hak istimewa pada BPR A (DL) belum mendapatkan hak-haknya dari BPR A, Bank X dengan surat kuasa yang dimiliki mencairkan Deposito BPR A (DL) untuk penyelesaian hutang di Bank X. Tindakan Bank X tersebut sebetulnya dapat diajukan upaya pembatalan karena merupakan sebuah tindakan yang termasuk dalam kategori perbuatan melawan hukum (Onrechmatige Daad), yang upaya hukumnya dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang dirugikan, seperti oleh Tim Likuidasi BPR A (DL) atau (Para) Kreditur yang memiliki hak Instimewa.   
(*adalah Advokat & Pengamat di bidang Keuangan, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, IG = kardi_pakpahan)

Pengalihan Piutang (Cessie) sebagai Solusi Penyelesaian Hutang

Catatan Penyelesaian Kredit  Bermasalah :


Pengalihan Piutang (Cessie) sebagai 
Solusi Penyelesaian  Hutang


Oleh : Kardi Pakpahan*

                Perjanjian Hutang lazimnya ditangani melalui strategi aksi pra tindakan hukum dan tindakan hukum. Pra tindakan hukum misalnya dapat dilakukan melalui monitoring atau penagihan yang intensif, melalui pendekatan perundingan atau negosiasi, melakukan serangkaian penekanan psikologis. Sedangkan tindakan hukum dalam penyelesaian hutang antara lain dapat ditempuh melalui instrumen Surat Peringatan (somasi),  melalui jasa professional pihak ketiga, melakukan likuidasi terhadap jaminan hutang dengan dasar hukum yang tersedia, gugatan perdata (sederhana, biasa, kepailitan), dan lain-lain.
                Akibat dari serangkaian strategi yang dimaksudkan dapat terjadi   pelusanan, penyelesaian tunggakan kredit, restrukturisasi kredit, novasi, subrogasi, penjualan atau lelang  jaminan kredit, melakukan take over, pengalihan piutang (cessie).
                Solusi pemilihan pengalihan piutang  dilakukan biasanya dikaitkan dengan waktu dan biaya penyelesaian hutang, misalnya daripada menyelesaikan hutang melalui gugatan perdata yang relative lama, mekanisme pengalihan piutang dapat menjadi alternatif  yang dapat digunakan.  Pengalihan piutang saat ini sudah diakomodir dalam beberapa peraturan yang terkait dengan jaminan kredit, seperti ketentuan pengalihan pemegang hak tanggungan atau fidusia karena perubahan kedudukan Kreditur karena adanya pengalihan piutang.
                Kenapa piutang dapat  dialihkan atau diperjualbelikan ?  Karena Piutang berdasarkan sifat, tujuan penggunaan dan undang-undang dikelompokkan dalam hak kebendaan yang dapat dikuasai oleh subyek hukum, baik personal maupun institusional, pada kelompok benda bergerak tak bertubuh (Vide : Pasal 504 Kitab Undang-undang Perdata/KUHPerd). Setiap hak kebendaan yang bernilai ekonomis dapat dialihkan, namun bentuk pengalihannya dapat berbeda satu sama lain, misalnya pengalihan hak atas tanah dilakukan melalui akta pengalihan di hadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), Pengalihan atas benda bergerak berwujud dilakukan penyerahan bendanya, Pengalihan piutang atas nama dapat dilakukan melalui akta pengalihan piutang, baik melaui akta otentik atau akta dibawa tangan  (Vide : Pasal 613 KUHPer).
                Mekanisme pelaksanaan Cessie atau Pengalihan piutang menurut pasal 613 KUHPerdata diwujudkan dalam bentuk pembuatan akta Cessie, yang dapat dibuat dalam akta otentik  maupun akta di bawah tangan. Setelah akta Cessie dibuat oleh para pihak, maka Penjual (Kreditur) Cessie memberitahukannya secara tertulis kepada Debitur. Bila piutang yang dijual ada terikat jaminan, seperti hak tanggungan atau fidusia, akta Cessie digunakan untuk permohonan ke instasi terkait untuk merubah pemegang jaminan menjadi atas nama pembeli cessie.
                Untuk mendapatkan harga penjualan atau pengalihan piutang, biasanya terlebih dahulu piutang dinilai dan dilakukan penawaran kepada pihak-pihak yang berminat.
                Dalam penyelesaian hutang melalui resolusi penjualan jaminan hutang, seperti tanah hak, dengan nilai yang relatif besar dapat ditempuh dengan cara pemecahan tanah hak, untuk memudahkan penjualan. Dalam menjual atau mengalihkan piutang tentu hal yang sama dapat dilakukan, terutama piutang dengan dua atau lebih jaminan kredit. Penyelesaian piutang dengan cara memecah piutang terbuka juga dilakukan  melalui mekanisme perjumpaan hutang atau konvensasi atau pembebasan hutang, sebagaimana yang diatur pada pasal 1381  KUHPer.
--------------
 (*Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia,  Advokat & Trainer  di Bidang Keuangan, WA : 0813-2895-0019. IG = kardi_pakpahan)  

Senin, 02 September 2019

Memperkuat Internal, Menghadapi Ketidakpastian Global

Sebuah Scenario Planning
Memperkuat Internal, Menghadapi Ketidakpastian Global


Oleh: Kardi Pakpahan*
                Salah satu Dampak perang dagang antara Negara Paman Sam (AS) dengan Negeri Tirai Bambu (Republik Rakyat Tionghoa), kemungkinan besar adalah pada masalah ketidakpastian global atau resesi, khususnya yang dimungkinkan kian kentara dan terasa di  penghujung tahun 2019 dan memasuki tahun 2020, baik pada sisi kedua Negara yang  terlibat perang dagang, dan perang dagang tersebut juga dapat menarik negara-negara di kawasan tertentu, seperti kawasan Eropa  mengalami ketidakpastian atau perlambatan, terutama negara-negara yang selama ini tinggi tingkat perdagangannya dengan dengan Amerika Serikat maupun China.
                Akibat ketidakpastian/perlambatan atau kondisi eksternal yang melemah, dari sisi internal Indonesia maka diperlukan beberapa perubahan. Bila perubahan yang dimaksud tidak dilakukan maka kemungkinan dapat memicu perlambatan kegiatan ekonomi di dalam negeri, dan berpotensi menjadi resesi. Perubahan internal yang memungkinkan dilakukan, sebagian diantaranya dikedepankan pada uraian berikut.
                Pertama, penyelenggara jasa keuangan, baik perbankan maupun non perbankan, perlu menghindari dari model bisnis yang terlalu terkonsentrasi ke bidang tertentu yang dapat mengakibatkan eskalasi resiko terkonsentrasi. Disamping tetap menggali potensi pasar yang ada, penyelenggara jasa keuangan perlu tetap konsistesn menjalankan tata kelola dan melakukan pengendalian resiko secara keseluruhan. Dalam pada itu, usaha penyelenggara keuangan perlu terus mendukung pembiayaan komoditi ekspor yang layak dibiayai.
                Kedua, perdagangan. Untuk mengatasi dalam defisit transaksi perdagangan, maka selagi tersedia komiditi yang memadai dalam negeri, perlu dihindari impor. Perubahan orientasi ekspor perlu juga dilakukan, khususnya ke negara-negara atau ke kawasan yang baru. Perwakilan pemerintah Indonesia, seperti Kedubes atau Konsulat di mancanegara sudah sebaiknya proaktif memformulasikan berbagai komoditi yang menjadi pasar ekspor.
                Ketiga, pengelolaan anggaran pemerintah. Pengelolaan anggaran pemerintah, baik dalam tingkat APBD maupun APBN perlu dikelola semakin sehat dengan tingkat penyalahgunaan yang sangat minim. Ditingkat APBD, disinyalir laporan keuangan Pemerintah Daerah (Pemda) dapat predikat WTP, tetapi kadang kala korupsi diduga masih terjadi. Mengingat hal tersebut, maka audit BPK, sudah benar-benar dapat terus meningkatkan kualitas pemeriksaan atau auditnya. Dalam kegiatan audit misalnya, jangan terlalu terfokus mencari siapa yang salah, tetapi benar-benar memeriksa atau mengaudit tentang apa yang salah dan membangun komitmen cara memperbaikinya, sehingga tidak muncul lagi hal yang berulang pada proses audit berikutnya.
                Keempat,  kondisi investasi yang semakin kondusif. Untuk memperkuat kondisi intenal, maka perlu dikedepankan kondisi investasi yang semakin kondusif, seperti dalam pelayanan perizinan, tata niaga ekspor, dan lain-lain. Kegiatan investasi yang kondusif, baik untuk orientansi dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor, disamping dapat memperbaiki defisit neraca perdagangan, juga sekaligus dapat mengatasi defisit transaksi berjalan atau Current Account Deficit.
                Kelima,  politik. Untuk memperkuat internal, maka diperlukan kestabilan di bidang politik. Oleh karena itu, perbedaan sikap politik diantara komponen bangsa, terutama antar partai politik,  maka sudah sebaiknya diselesaiakan  melalui mekanisme konstitusi atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Kubu oposisi sudah sebaiknya melakukan koreksi ataun kritik secara positif dan kontruktif, jangan sampai ada yang destruktif.
                Keenam, keamanan. Untuk memperkuat Internal dalam menghadapi kemungkinan ketidakpastian global, tingkat keamanan dalam negeri  sudah sebaiknya selalu terjaga di seluruh wilayah. Untuk itu, setiap institusi keamanan yang ada perlu proaktif melakukan aksi, baik dalam pencegahan maupun mengatasi setiap ancaman keamanan. Dalam pada itu, setiap penyakit sosial dalam masyarakat, seperti masalah peredaran narkoba, perjudian, dan lain-lain, perlu benar-benar diantisipasi institusi penegak hukum.
                Ketujuh, ketahanan pangan. Lembaga-lembaga yang terkait, perlu lebih mempersiapkan kebijakan ketahanan pangan dalam negeri dan semakin sedikit tergantung pada komoditi pangan impor.
                Kedelapan, pariwisata. Pasar pariwisata dalam negeri harus tetap dipacu, dan saat yang sama membuat program pariwisata yang dapat menarik wisatawan manca negara untuk berkunjung ke dalam negeri. Untuk menarik wisatawan dari kawasan Timur Tengah ke dalam negeri misalnya, dapat dengan membuka akses penerbangan langsung ke destinasi wisata yang masih ada peluangnya, seperti ke wilayah Nusantara Tenggara Barat/NTB atau destinasi wisata lainnya di dalam negeri.
                Kesembilan, sentiment positif. Perlu terus digulirkan sentimen atau berita positif untuk mendorong bergeraknya kegiatan perekonomian, khususnya dalam mendukung investasi dan pertumbuhan ekonomi baru. Misalnya, beberapa waktu lalu kawasan Pelabuhan Bajo, Kawasan Danau Toba, adalah relatif tidak begitu ramai, sekarang dengan berita positif yang digulirkan, kawasan ini dan beberapa kawasan lainnya sudah semakin berdenyut kegiatan ekonominya.
                 Rencana pemindahan ibukota Republik Indonesia ke kawasan Kaltim, yang diprakarsai oleh  Presiden Jokowi, perlu direspon secara positif, terutama dalam mempersiapkan sisi regulasinya oleh setiap institusi terkait. Banyak dampak positif dari rencana pemindahan wilayah ibukota tersebut, seperti menciptakan keadilan dan pemerataan dalam pembangunan, menciptakan wilayah baru pertumbuhan ekonomi, mendorong masuknya investasi dan arus modal karena model pembangunan wilayah ibukota yang baru dicanangkan memerlukan partisipasi swasta.
                Kesepuluh, transportasi. Untuk memperkuat sisi internal, dalam menghadapi perlambatan pertumbuhan ekonomi global, maka  seluruh jalur transportasi, perlu dibenahi supaya semakin efisien dan tidak menjadi pendorong semakin tingginya inflasi. Jalur transportasi udara yang sempat mahal, perlu dilakukan modifikasi model bisnis baru, supaya semakin terjangkau masyarakat umum dan dapat mendukung semakin berdenyutnya kegiatan ekonomi di seluruh Nusantara.
                Kesebelas, program perduli produk dalam negeri. Dalam kondisi perlambatan global, maka program perduli produk dalam negeri, baik barang dan jasa, perlu dilakukan. Dalam bidang produk jasa pendidikan misalnya, perlu dikedepankan kebijakan yang dapat meningkatkan jasa pendidikan nasional, baik dalam  program pendidikan jangka pendek maupun jangka panjang.
                Keduabelas, dari infrastruktur  ke SDM. Penggunaan Dana APBN, walapun dalam kondisi tertentu, seperti Current Account Deficit,  tetapi digunakan juga untuk pembangunan infrastruktur dan pembangunan SDM maka tidaklah selalu berdampak negatif, karena hasilnya akan positif pada periode atau masa berikutnya. Oleh karena itu, termasuk dalam menghadapi ketidakpastian global, maka pembangunan infrastruktur yang telah dicanangkan oleh Presiden Jokowi perlu dilanjutkan dengan asrtikulasi berikutnya pada pembangunan SDM, sehingga dapat memicu semakin meningkatkannya produktivitas nasional dan SDM Indonesia semakin banyak yang dapat bekerja di manca Negara pada posisi yang baik.
                Di dalam itu semua, semoga scenario planning-nya adalah perang dagang Paman Sam (AS) dengan Negeri Tirai Bambu (China) cepat reda, dan semakin tercipta tingkat kepastian global dan internal yang semakin positif. Namun. walapun diperhadapkan dengan ketidakpastian yang semakin tinggi, perlu terus optimis dengan berbagai aksi perubahan yang relevan. Dikatakan demikian, karena di setiap Krisis juga ada peluang, setiap perusahaan terbentuk bersama peluang, setiap orang lahir bersama peluang, setiap Negara, termasuk NKRI – didirikan atau diproklamasikan juga bersama peluang. 
(*Adalah Advokat dan Trainer, Alumnus FH-UI, WA = 0813-2895-0019)