Jumat, 09 Oktober 2020

Perihal Kompetensi Absolut Pengadilan untuk Penanganan Perkara Klaim Penjaminan Nasabah pada LPS

 

Catatan Hukum :

Perihal Kompetensi Absolut Pengadilan untuk Penanganan
Perkara Klaim Penjaminan  Nasabah pada LPS

Oleh : Kardi Pakpahan*

          Salah satu bagian penting akibat dilakukannya pencabutan izin usaha bank adalah pada aktivitas pembayaran klaim simpanan nasabah pada bank yang dicabut izin usahanya, baik produk tabungan, deposito, maupun giro. Institusi yang melakukan penjaminan simpanan nasabah di bank saat ini di sini adalah Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). Pada pasal 10  UU No.24/2004 sebagaimana diubah dengan UU No.7/2009, yang disebut juga dengan UU LPS, disebutkan :”LPS menjamin Simpanan nasabah bank yang berbentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu ".

Masalahnya, klaim simpanan nasabah sebagai konsekusensi ditutupnya sebuah bank, sering harus berakhir di Pengadilan, gegara simpanan dinyatakan tidak layak bayar menurut LPS. . Selama ini, klaim simpanan itu dilakukan melalui pengadilan umum atau pengadilan Negeri. Tetapi ada juga wacana belakangan ini yang menyatakan bahwa pengadilan yang berhak untuk memproses klaim tersebut adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Apakah memang demikian ?

                Pada pasal 16 ayat 3 UU LPS, disebutkan : “LPS wajib menentukan Simpanan yang layak dibayar, setelah melakukan rekonsiliasi dan verifikasi atas data Nasabah Penyimpan dan informasi lain, yang diperoleh LPS dari LPP (Lembaga Pengawas Perbankan) dan/atau Bank dalam rangka penghitungan dan pembayaran klaim Penjaminan selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak izin usaha bank dicabut”.

          Simpanan yang tidak layak bayar itu dapat diketahui dari batasan yang diatur pada pasal 19 ayat 1 UU LPS. Disana dikatakan :”Klaim Penjaminan dinyatakan tidak layak dibayar apabila berdasarkan hasil rekonsiliasi dan/atau verifikasi : a) data Simpanan nasabah dimaksud tidak tercatat pada bank; b) Nasabah Penyimpan merupakan pihak yang diuntungkan secara tidak wajar; dan/atau; c)  Nasabah Penyimpan merupakan pihak yang menyebabkan keadaan bank menjadi tidak sehat”.

          Dalam hal Nasabah Penyimpan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) UU LPS, merasa dirugikan maka nasabah dimaksud dapat melakukan upaya hukum melalui pengadilan ( Vide : Pasal 20 ayat 1 huruf b UU LPS). Masalahnya baik dalam UU LPS atau penjelasannya tidak ditentukan kompetensi absolut   pengadilan apa yang memeriksa dan mengadili sengketa klaim penjaminan simpanan pada LPS.

          Kompetensi absolut merupakan pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan dilihat dari macamnya pengadilan yang meliputi pemberian kekuasaan untuk mengadili. Saat ini kompetensi absolut pengadilan dibagi dalam 4 (empat) lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum (mengadili perkara pidana dan perdata), peradilan agama (khususnya mengadili perkara perkawinan dan kewarisan bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam), peradilan militer (mengadili militer yang melakukan kejahatan), dan peradilan tata usaha negara (mengadili sengketa tata usaha negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku).

          Apakah  dimungkinkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk mengadili perkara klaim Penjaminan simpanan setelah LPS menentukan simpanan yang layak bayar atau simpanan yang tidak layak  bayar melalui  serangkaian rekonsiliasi dan verifikasi data simpanan yang diperoleh LPS dari LPP dan/atau Bank yang dicabut izin usahannya ?  Kalau dilihat dari konteks UU LPS di satu sisi dan UU No.5/1986, sebagaimana diubah dengan UU No.9/2004 dan UU No.51/2009 yang disebutkan juga dengan UU Peradilan Tata Usaha Negara atau UU PTUN di sisi lain, maka dapat dikatakan dari sisi kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidaklah berwenang mengadili perkara klaim simpanan kepada LPS. Apa alasan dikatakan demikian ?

          Pertama, LPS sebagai salah badan tata usaha negara hanya menentukan simpanan yang layak bayar atau tidak layak bayar berdasarkan data transaksi keuangan nasabah penyimpanan dana dari bank yang dicabut izin usahanya dengan melakukan rekonsiliasi dan verifikasi, tidaklah mengandung penetapan (beschikking) maupun pernyataan kehendak (wilsorming). Sehingga peristiwa hukum tersebut adalah peristiwa hubungan hukum perdata, bukanlah merupakan keputusan badan atau pejabat tata usaha negara. Sehingga kalau nasabah penyimpan memperkarakan keberatannya  karena LPS menyatakan simpannya pada bank yang ditutup tidak layak bayar, haruslah kepada Pengadilan Negeri atau Peradilan Umum.

Ikatan transaksi keuangan simpanan nasabah pada bank yang dicabut izinya adalah dalam konteks hubungan hukum perdata, yang mengandung fasilitas penjaminan dari LPS kalau bank dicabut izinya . Perikatan nasabah penyimpan dana dengan bank dalam hal transaksi keuangan simpanan bersumber dari persetujuan atau perjanjian (vide : pasal 1320 KUHper jo pasal 1338 KUHPer). Sedangkan ikatan nasabah penyimpan dana di bank dengan LPS yang wajib diikutkan dalam program penjaminan  merupakan perikatan yang timbul dari sisi undang-undang (Vide : pasal 1233 KUHPer).  

Dapat dikatakan, tugas LPS dalam menentukan simpanan nasabah Penyimpan yang layak atau tidak layak bayar merupakan instrument hukum publik pemerintah yang tidak memiliki sifat sepihak dan individual, karena dalam program penjaminan ada nasabah penyimpan dan bank (baik bank konvesional maupun syariah). Kalau LPS melakukan kesalahan atau kelalaian, , baik sengaja maupun kealpaannya, dalam menjalankan ketentuan atau peraturan sehubungan dengan tugas, fungsi dan wewenangnya dalam melaksanakan penjaminan kepada simpanan nasabah penyimpan, maka tidaklah masuk dalam kompetensi absolut PTUN, tetapi adalah kompetensi absolute Peradilan atau Pengadilan Negeri atau pengadilan umum.   

Dari sisi lapisan produk, maka dapat dikatakan fasilitas penjaminan LPS pada produk simpanan perbankan merupakan lapisan yang ketiga dan untuk itu perbankan membayar kontribusi kepesertaan dan premi penjaminan kepada LPS serta menyerahkan dokumen-dokumen penjaminan. Lapisan pertamanya, nama produk simpanan (Tabungan, Deposito, Giro), Lapisan Keduanya perhitungan ekonomis produk simpanan. Dengan demikian, fasilitas penjaminan LPS pada produk simpanan pada bank, yang terikat secara perdata karena perjanjian (Vide : Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata/KUHPer), yaitu perjanjian produk simpanan (tabungan, deposito, giro) dan terikat karena Undang-undang, yang berdasarkan pasal 8 ayat 1 UU LPS setiap Bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia wajib menjadi peserta Penjaminan (Vide : Pasal 1233 KUHPer).  Dengan demikian, wilayah putusan tata usaha negara yang dilaksanakan LPS dalam menentukan simpanan Penyimpan Dana di Bank, yang layak bayar atau tidak layak bayar,  berasal dari Perbuatan Hukum Perdata  yang karenanya bukanlah obyek gugatan PTUN (Vide : Pasal 2 angka 1 UU No.9/2004 jo UU No.5/1986).

        Kedua, masalah ganti rugi. Besarnya ganti rugi yang diperoleh Penggugat pada  PTUN berdasarkan pasal ayat 1 PP No.43/1991,  paling banyak Rp 5 juta. Pada kenyataannya tuntutan ganti rugi klaim penjaminan oleh Nasabah Penyimpan dapat jauh lebih besar dari Rp 5 Juta.   Sebagai contoh, Tuan B merupakan nasabah deposan pada bank yang dicabut izin usahanya, yaitu di PT BPR ABC (DL) dengan nilai Rp 2 Milyar (sebagaimana diketahui nilai simpanan yang dijamin LPS setiap nasabah berdasarkan pasal 1 PP No.66/2008 paling banyak Rp 2 M). LPS baru dapat menentukan dan mengumumkan bahwa deposito Tuan B, 90 hari setelah  izin PT BPR ABC (DL) dicabut, dan saat itu suku bunga penjaminan LPS untuk BPR adalah 7,75% per tahun. Setelah pengumuman tersebut, Tuan B melakukan upaya keberatatan ke LPS yang memakan waktu 1 bulan misalnya, dengan jawaban LPS bahwa simpanan Tuan B, tetap tidak layak bayar. Maka selanjutnya menyusun gugatan dengan nilai ganti rugi berdasarkan suku bunga 7,75 pa, untuk 4 bulan atas deposito Rp 2 Milyar dan setelah dikurangi PPh, yaitu sebesar Rp 41.333.332,-. Dengan demikan tidak tepat didaftar perkarannya ke PTUN.

          Jadi, tepatnya pengadilan yang dimaksud  pada  Pasal 20 ayat 1 huruf b UU LPS, adalah Pengadilan Negeri,  sebagaimana dimaksud pada pasal 1 angka 1 UU No.2/1986, yang telah diubah dengan UU No.49/2009 tentang Peradilan Umum. Tentu pada Pengadilan Negeri atau peradilan umum, disamping dapat melakukan gugatan perdata umum untuk klaim penjaminan kepada LPS, terbuka juga dilakukan gugatan perdata khusus melalui pengadilan niaga jika obyek simpanan yang diklaim sudah menjadi boedel pailit (Vide : Pasal 26 ayat 1 UU Kepailitan) dan melalui gugatan sederhana jika klaim penjaminan simpanan paling banyak Rp 500 juta, sebagaimana diatur pada  Perma No.2/2015/ jo Perma No.4/2019.

(Penulis adalah seorang Pengamat Hukum & Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia)

 #Klaimsimpanan    #KonsekuensiCabutIzinUsahaBank   

#HakNasabah


Selasa, 08 September 2020

Opini : Penggunaan Cap Jempol pada Dokumen di Bawah Tangan

 Opini :

Penggunaan Cap Jempol pada Dokumen di Bawah Tangan

(Transaksi Pengalihan Tanah dan Pendaftaran Tanah pada Kantor Pertanahan)


Oleh : Kardi Pakpahan, SH*

          Penggunaan Cap Jempol dalam berbagai pembuatan dokumen di bawah tangan masih sering dilakukan. Dokumen yang dimaksudkan misalnya pada  Surat Perjanjian, Surat Pernyataan, Surat Persetujuan, dan lain-lain. Sebagai contoh, penulis pernah temukan sebuah dokumen perjanjian pengalihan tanah yang belum terdaftar (masih status girik), dari pihak yang mengalihkan menggunakan cap jempol tanpa dilegaslisasi Notaris, yang kemudian digunakan untuk pendaftaran tanah sampai dikeluarkan status Sertifikat Hak Milik (SHM) pada sebuah kantor pertanahan.

          Dari sisi hukum supaya cap jempol sah, memerlukan syarat tertentu sebagaimana diatur pada pasal 1874 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KHUPer) jo pasal 286 ayat 2 RBg. Pada pasal 1874 ayat 2 KUHPer disebutkan :” Dengan penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang yang menyatakan bahwa pembubuhan cap jempol itu dikenal olehnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa di akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan pejabat yang bersangkutan. Pegawai ini harus membuktikan tulisan tersebut”. Sedangkan pada pasal 286 ayat 2 RBg atau Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura dinyatakan :”Cap jari atau cap jempol yang dibubuhkan di bawah surat di bawah tangan disamakan dengan tanda tangan asal disahkan dengan suatu surat keterangan yang bertanggal oleh notaris atau pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang dan menerangkan bahwa ia mengenal pemberi cap jari atau cap jempol yang diperkenalkan kepadanya, dan bahwa isi akta itu telah dijelaskan kepada si pembubuh cap jari dan bahwa cap jari tersebut dibubuhkan di hadapannya”. Dengan demikian, supaya dokumen di bawah tangan - yang bukti persetujuannya melalui cap jempol disamakan dengan tanda tangan manakala pembubuhan cap cempol dilaksanakan di hadapan notaris atau pejabat lain yang diatur oleh Undang-undang  dan tanggal pembubuhan cap jempol pada dokumen tersebut di hadapan notaris, dihitung tanggal mulai berlakunya dokumen di bawah tangan tersebut. Proses pengesahan tanda tangan atau cap jempol di hadapan notaris, saat ini dikenal dengan istilah Legalisasi.

          Notaris, dalam jabatannya, berwenang mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan, dengan mendaftar dalam buku khusus. Ketentuan ini, merupakan pengertian legalisasi terhadap akta di bawah tangan, yang dibuat sendiri oleh orang perseorangan, atau oleh para pihak, di atas kertas yang bermaterai cukup, dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus, yang disediakan oleh Notaris. Ringkasnya, inti dari legalisasi ini adalah, para pihak membuat suratnya, dibawa ke Notaris, lalu menandatanganinya di hadapan Notaris, kemudian dicatatkan dalam Buku Legalisasi. Tanggal pada saat penandatanganan dihadapan Notaris itulah, sebagai tanggal terjadinya perbuatan hukum, yang melahiran hak dan kewajiban antara para pihak sebagaimana diatur pada pasal 15 ayat 2 hurtuf a UU  No.30/2004 yang diubah dengan UU No.2/2014 tentang UU Jabatan Notaris.

          Legalisasi tentu berbeda dengan warmerking atau legalisir. Warmerking dilakukan Para Pihak manakala  atas perjanjian di bawah tangan yang sudah ditandatangani beberapa hari atau waktu sebelumnya, dibawa ke Notaris untuk  didaftarkan  dalam Buku Pendaftaran Surat di Bawah Tangan (Vide : pasal 15 ayat 2 huruf b UU Jabatan Notaris).

          Legalisir adalah kewenangan Notaris pada proses pencocokan dokumen fotocopy dengan dokumen asli di bawah tangan. Notaris akan memberikan cap atau stempel dan paraf di setiap halaman fotocopy dan pada halaman paling belakang, Notaris akan memberikan tanda tangan serta keterangan bahwa dokumen fotocopy tersebut sama dengan dokumen asli yang diperlihatkan di hadapan Notaris (Vide : Pasal 15 ayat 2 huruf c UU Jabatan Notaris).

        Dengan demikian, bagaimana sisi  hukum  bagi pihak ketiga yang dirugikan pada pengalihan tanah, yang disinylair merupakan budel waris Pihak Ketiga dan belum terdaftar, yang dilakukan dengan cap jempol yang dari pihak yang mengalihkan dan tidak dilegalisasi Notaris, kepada pihak yang menerima pengalihan, dan digunakan sebagai dokumen permohonan pendaftaran tanah pertama di kantor pertanahan sampai terbit sertifikat Hak Milik  ? Sisi Hukum utamanya dapat dilihat dari 3 hal.

        Pertama, tentang keabsahan dan kekuatan mengikat perjanjian. Supaya sebuah Perjanjian, seperti Perjanjian di bawah tangan atas pengalihan tanah yang belum terdaftar, supaya sah dan mengikat (Vide : pasal 1320 KUHPer jo 1338 KUHPer) harus memenuhi 4 syarat, yaitu 2 syarat subyektif yaitu a) adanya kata sepakat; b) pihak yang melakukan perjanjian sudah Dewasa dan 2 syarat obyektif, yaitu   a) hal tertentu; b) sesuatu yang halal atau yang diperjanjikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika syarat subyektif Perjanjian tidak dipenuhi, misalnya pihak yang mengalihkan  lagi sakit keras dipaksa membubuhkan cap jempolnya pada perjanjian pengalihan tanah maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan bila syarat obyektif tidak dipenuhi, misalnya terhadap perjanjian di bawah tangan pengalihan tanah yang belum terdaftar dengan cap jempol dari pihak yang mengalihkan  tidak dilegalisasi Notaris, maka Perjanjian tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum, yang karenanya sertifikat hak milik, yang diperoleh dari perjanjian pengalihan tersebut dapat dikatakan tidak sah atau tidak mengikat serta dapat dimintankan pembatalannya.

Kedua, perbuatan melawan hukum. Rangkaian peristiwa membuat Perjanjian di bawah tangan atas pengalihan tanah yang belum terdaftar dengan menggunakan cap jempol dari pihak yang mengalihkan dan tidak dilegalisasi Notaris, yang sesungguhnya masih obyek sengketa waris dan menggunakannya sebagai dasar permohonan hak pada pendaftaran tanah pertama sekali dan merugikan pihak ketiga, dapat dinyatakan adalah sebuah perbuatan melawan hukum atau onrechmatige daad, sebagaimana yang diatur pada pasal 1365 KUHPer, yang menyatakan :”Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut“. Ada 4 unsur dari perbuatan melawan hukum yaitu : a) ada perbuatan melawan hukum; b) ada kesalahan; c) ada hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan; d) ada kerugian.

Dalam konteks perjanjian di bawah tangan atas pengalihan tanah yang belum terdaftar dengan penggunaan cap jempol oleh pihak yang mengalihkan tanpa dilegalisasi Notaris, dan digunakan untuk mendaftarkan tanah di kantor pertanahan sehingga terbit sertifikat Hak Milik dan merugikan pihak ketiga dapat dikatakan adalah termasuk dalam perbuatan melawan hukum seperti yang diatur dalam pasal 1365 KUHPer, sehingga pihak-pihak yang terkait atau melakukan perbuatan melawan hukum tersebut haruslah mengganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.

Ketiga, jaminan ganti rugi dari sebuah perbuatan melawan hukum. Landasan perikatan untuk melakukan ganti rugi dari pihak atau para pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum kepada pihak yang dirugikan  tentu didasarkan sumber perikatan seperti yang diatur pada pasal 1233 KUHPer, yaitu 1) karena perjanjian (Vide : pasal 1313 KUHPer) dan karena Undang-undang (Vide : pasal 1352 KUHPer).  Dalam hal ini sumber perikatan untuk melakukan ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum oleh pihak atau para pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1365 KUHPer, adalah perikatan karena undang-undang akibat perbuatan orang. Dengan demikian, jaminan yang bisa didapatkan oleh pihak yang dirugikan dalam sebuah perbuatan melawan hukum, disamping pengembalian obyek yang dipersengkatakan atau berupa pembayaran,  adalah seluruh aset (baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak) dari pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 1131 KUHPer, yang dapat diperoleh dengan menempuh upaya gugatan perbuatan melawan hukum dengan memohonkan penetapan atau putusan sita jaminan atas pihak atau para pihak melakukan   perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad).

Tentu disamping tiga sisi hukum utama di atas, pihak yang dirugikan dari sebuah peristiwa hukum pada pelaksanaan perjanjian di bawah tangan atas pengalihan tanah ( yang belum terdaftar) dengan menggunakan cap jempol tanpa dilegalisasi Notaris, seperti yang disampaikan pada uraian sebelumnya, maka sisi hukum yang masih dapat digunakan adalah pada sisi pidana, manakala pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum, diduga juga menggunakan keterangan atau dokumen palsu (Vide : pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP), atau sisi hukum Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dalam hal ada cacat yuridis pada penerbitan sertifikat terkait.

(*Penulis adalah seorang Advokat dan Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia)

Selasa, 28 Juli 2020

Perjanjian Kredit sebagai Sumber Utama Perikatan antara BPR dengan Debitur

Catatan Hukum  :
Perjanjian Kredit sebagai Sumber Utama Perikatan antara BPR dengan Debitur

Oleh : Kardi Pakpahan*
          Perjanjian (kredit) merupakan sumber utama perikatan antara Bank Perkreditan Rakyat (BPR) selaku kreditur dengan debitur. Perjanjian atau persetujuan menurut pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
          Supaya sah, berdasarkan pasal 1320 KUHPer  Perjanjian harus memenuhi 4 syarat, yaitu  1) adanya kata sepakat; 2) Para pihak yang membuat perjanjian sudah dewasa; 3) Hal Tertentu; 4) suatu sebab yang halal atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan.  Perjanjian yang dibuat secara sah, berdasarkan pasal 1338 KUHPer berlaku atau mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
          Dalam perkreditan, disamping perjanjian sebagai sumber utama perikatan diantara para pihak, berdasarkan pasal 1233 KUHPer sumber perikatan lainnya adalah  undang-undang. Misalnya, jika Debitur tidak mampu memenuhi kewajibannya (Schuld) kepada BPR, maka berdasarkan pasal 1131 KUHPer, seluruh harta Debitur adalah menjadi jaminan terhadap hutang-hutangnya (haftung), walapun tidak diatur dalam Perjanjian Kredit. Pada pasal 1131  KUHPer disebutkan :”semua kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.
          Dalam kebijakan dan prosedur perkreditan, aspek perjanjian kredit didepankan pada bagian kebijakan persetujuan kredit. Standar perjanjian kredit, baik bentuk, format dan isi biasanya sudah ditentukan oleh BPR yang dikenal juga dengan standar baku perjanjian kredit, berdasarkan Lampiran POJK Nomor : 33/POJK.03/2018, paling sedikit untuk  : 1) memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat melindungi kepentingan BPR dan Debitur; 2) memuat jumlah, jangka waktu, suku bunga, tujuan penggunaan, tata cara pembayaran kembali Kredit serta persyaratan Kredit lainnya sebagaimana ditetapkan dalam keputusan persetujuan Kredit dimaksud; dan 3) perjanjian Kredit paling sedikit dibuat dalam rangkap 2 (dua) dan salah satunya disampaikan kepada Debitur.
          Dengan demikian, berdasarkan POJK Nomor : 33/POJK.03/2018 setelah  pengikatan kredit dilaksanakan maka BPR wajib memberikan satu rangkap dokumen Perjanjian Kredit kepada Debitur, termasuk tentunya kalau pengikatan kredit dilaksanakan di hadapan Notaris/PPAT.
          Ketentuan tentang kewajiban BPR untuk menyerahkan Perjanjian Kredit kepada Debitur juga diatur pada pasal 26 POJK No.1/POJK.07/2013. Disana dikatankan :”Pelaku jasa usaha keuangan wajib memberikan tanda bukti kepemilikan produk dan/atau pemanfaatan layanan kepada Konsumen tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian dengan Konsumen”.
          Disamping dokumen perjanjian kredit, dokumen yang perlu disediakan oleh BPR kepada Dibitur, khususnya atas permintaan Debitur adalah rekening Koran maupun dasar pengenaan bunga kredit. Permintaan rekening Koran oleh debitur dapat juga digunakan oleh BPR sebagai bagian dari pengendalian internal atau pengawasan perkreditan.
          Adalah kewajiban dari BPR apabila nasabah Debitur meminta rekening Koran atas seluruh transaksi kredit  yang dilakukan sebagaimana yang telah diatur pada pasal 27  POJK No.1/POJK.07/2013, yang menyatakan :”Pelaku usaha jasa keuangan memberikan laporan kepada  konsumen tentang posisi saldo dan mutasi simpanan, dana, aset, atau kewajiban konsumen secara akurat, tepat waktu, dan dengan cara atau sarana sesuai dengan perjanjian dengan Konsumen”. Pelaksanaan ketentuan pasal 27 POJK No.1/POJK.07/2013 oleh BPR, adalah senada dengan ketentuan pasal 67 POJK Nomor 4/POJK.03/2015  yang menyebutkan :”BPR wajib melaksanakan transparansi informasi mengenai produk dan/atau layanan dan penggunaan data nasabah BPR dengan berpedoman pada persyaratan dan tata cara sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan dan ketentuan yang mengatur mengenai transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah”.
          Perihal pemenuhan BPR kalau ada debitur meminta dokumen perhitungan dasar bunga kredit masih relevan dengan ketentuan pasal 13  POJK No.1/POJK.07/2013. Di sana dikatakan :”Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyusun pedoman penetapan biaya atau harga produk dan/atau layanan jasa keuangan”.  
(*Kardi Pakpahan adalah seorang Advokat & Trainer)

Kamis, 25 Juni 2020

Perihal Perlindungan Hukum bagi Pembeli Beritikad Baik atas Sebidang Tanah


Catatan Hukum :
Perihal Perlindungan Hukum bagi Pembeli Beritikad 
Baik atas Sebidang Tanah
Oleh : Kardi Pakpahan*
                Bagaimana sekiranya Piter (bukan nama sebenarnya), telah membeli sebidang tanah kosong dengan bukti kepemilikan Hak Milik dari Tigor (bukan nama sebenarnya) dan sudah  menempuh  prosedur standar dalam proses pembelian lahan, yaitu menyepakati harga jual beli dengan Penjual,  memeriksa dokumen kepemilkan tanah, dilakukan  pengecekan status alas hak tanah ke kantor pertanahan atau Badan Pertanahan Nasional (BPN),  pembuatan akta jual beli dilakukan oleh PPAT/Notaris yang bewewenang serta dilaksanakan  proses balik nama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
                Setelah dua tahun, tatkala Piter telah rampung membangun rumah di atas tanah yang dibeli dari Penjual, yang telah dicita-citakannya selama 15 tahun sejak bekerja di sebuah perusahaan swasta, tiba-tiba ada  2 pihak, yaitu Dame (bukan nama sebenarnya)  dan Jojor (bukan nama sebenarnya),   mengajukan gugatan perbuatan melawaan hukum melalui pengadilan negeri tentang jual-beli  tanah yang dilakukan oleh Piter dan Tigor.  Tentu, Piter merasa kuatir dengan gugatan tersebut, dengan 2 alasan utama. Alasan pertama, bahwa Piter telah menabung sekitar 15 tahun untuk dapat membeli tanah tersebut. Kedua, untuk membangun rumah di atas tanah tersebut, Piter mendapatkan fasilitas pinjaman dari salah satu bank swasta.
                Bagaimana perlindungan hukum terhadap Piter, yang membeli sebidang tanah dari Tigor ? Setelah berkas gugatan dipelajari Piter, didapatkan data-data sebagai berikut. Pertama, asal tanah memang asalnya dari warisan orang tua Tigor yang lebih lama hidup, yang bernama Tingkos (bukan nama sebenarnya). Pada dokumen keterangan waris yang diketahui Piter sebelumnya, ada 3 orang ahli waris  dari orang tua Tigor,  yaitu Tigor, Tagor (bukan nama sebenarnya) dan Togar (bukan nama sebenarnya). Tanah yang dibeli Piter merupakan pemecahan dari tanah, dengan alas hak milik, objek warisan  dari orang tua mereka. Dari berkas gugatan itu, didapatkan keterangan bahwa ahli waris dari dari orangtua Tigor sebetulnya ada 5 orang, yaitu Tigor, Tagor, Togar, Dame dan Jojor.
                Untuk melihat perlindungan hukum kepada Piter atas jual beli tanah yang dilakukan dengan Tigor, pertama-tama dapat dicermati melalui keabsahan perjanjian dan kekuatan mengikat sebuah perjanjian. Dari sisi keabsahan perjanjian, yaitu perjanjian jual beli tanah, yang dibuat dengan akta otentik, prinsipnya sudah memenuhi pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Adapun 4 syarat sahnya perjanjian, yang diatur pada pasal 1320 KUHPer adalah 1) sepakat mereka yang mengikatkan diri pada suatu perjanjian; 2) kecakapan untuk bertindak melakukan suatu perjanjian; 3) suatu hal tertentu; 4) suatu sebab yang halal atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
                Akibat hukum suatu perjanjian yang telah dibuat para pihak secara sah, dapat diketehui dari pasal   1338 HUHPer. Disana dikatakan :”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam pada itu, pada pasal 1338 ayat 2 KUHPer juga disebutkan :” Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”.   Perjanjian jual beli tanah antara  Piter dan Tigor harus juga dilaksanakan dengan itikad baik (vide: pasal 1338 ayat 3 KUHPer).
                Dari sisi syarat sahnya perjanjian dan proses jual beli tanah yang telah dilakukan, maka dapat dikatakan bahwa Piter adalah termasuk pembeli beritikad baik. Untuk mengetahui batasan pembeli tanah beritikad  baik itu , dapat diketahui dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.4/2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil  Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Republik  Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan (halaman 6 sd 7).  Pada SEMA No.4/2016 dikedepankan 2 kriteria pembeli beritikad baik yang perlu dilindungi.
                Pertama, melakukan jual beli atas obyek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundangan-undangan, yaitu : 1)  Pembelian tanah melalui pelelangan umum atau 2) Pembelian tanah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah ( sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor : 24/1997 atau ; 3) Pembelian terhadap tanah milik adat/yang belum terdaftar yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum adat, yaitu : a) dilakukan secara tunai dan terang (dihadapan/diketahui Kepala Desa/Lurah setempat); b) didahului dengan penelitian mengenai status tanah obyek jual-beli dan berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanah obyek jual beli adalah milik penjual; 4) Pembelian dilakukan dengan harga yang layak.
                Kedua, melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek yang diperjanjaikan antara lain : 1) Penjual adalah orang yang berhak/memiliki hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli, sesuai dengan bukti kepemilikan, atau 2) Tanah/objek yang diperjualbelikan tersebut tidak dalam status disita; atau 3) Tanah objek yang diperjualbelikan tidak dalam status jaminan/hak tanggungan, atau 4) Terhadap tanah yang bersertifikat, telah memperoleh keterangan dari BPN dan riwayat hubungan hukum antara tanah tersebut dengan pemegang sertifikat.
                Bagaimana perlindungan bagi pembeli tanah yang beritikad baik, sebagaimana yang disebutkan pada SEMA No.4/2016 ? Untuk mengetahuinya dapat dibaca pada butir IX SEMA No.7/2012. Pertama, Perlindungan harus diberikan kepada Pembeli beritikad baik sekalipun kemudian diketahui bahwa Penjual adalah orang yang tidak berhak (Objek jual beli tanah). Kedua, Pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada Penjual yang tidak berhak. 
                Dengan demikian, dalam jual beli atas tanah yang disebutkan di atas, Pembeli, yaitu Piter pada posisi yang  dilindungi, kalau pun Pemilik asal mau meminta ganti rugi, harus mengajukannya kepada Penjual, yaitu Tigor.
(*Kardi Pakpahan, seorang advokat dan trainer di bidang Perbankan/Hukum)


Kaitan Amar Putusan Deklaratoir dengan Amar Komdemnatoir dalam Perkara Perdata

Catatan Hukum :
Kaitan Amar Putusan Deklaratoir dengan Amar Komdemnatoir dalam Perkara Perdata
Oleh : Kardi Pakpahan*
            Bagaimana sekiranya bila amar putusan kondemnatoir  pada perkara perdata dengan pokok perkara perbuatan melawan hukum, yang diputuskan tanpa memutus pokok perkara perdata, yang bersifat deklatoir  ? Untuk melihat bagaimana hubungan diantara amar putusan Deklatoir dengan   putusan kondemnatoir pada uraian berikut dikedepankan pengertian  3 sifat amar putusan perkara perdata. Pertama, putusan deklaratoir (declaratoir vonnis). Sifat putusan ini merupakan penjelasan atau penetapan tentang suatu hak maupun status, yang berisi tentang pernyataan atau penegasan tentang suatu keadaan atau kedudukan hukum semata-mata.  Misalnya, menurut M. Yahya Harahap, SH (2005 : 876),  tentang gugatan dengan pokok perkara perbuatan melawan hukum, berdasarkan pasal 1365 KUHPer, jika gugatan dikabulkan maka  putusan didahului dengan amar deklaratoir berupa pernyataan :”bahwa tergugat telah bersalah melakukan perbuatan melawan hukum” atau “Menyatakan demi hukum perbuatan Tergugat merupakan perbuatan melawan hukum kepada Penggugat”. Sedangkan bila pokok gugatan misalnya tentang wanprestasi maka amar deklatoirnya :”Menyatakan demi hukum perbuatan Tergugat wanprestasi kepada Penggugat”.
            Kedua, putusan konstitutif ( constitutief vonnis) adalah putusan yang memastikan suatu keadaan hukum, baik bersifat meniadakan suatu keadaan hukum maupun menimbulkan keadaan hukum baru. Misalnya amar putusan konstitutif perkara perceraian :”Menyatakan perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya”. Putusan perceraian ini  meniadakan keadaan hukum, yakni tidak ada lagi ikatan hukum antara suami dan istri sehingga putusan itu meniadakan hubungan perkawinan yang ada, bersamaan dengan itu mengemua keadaan hukum baru kepada suami istri sebagai Duda dan Janda.
            Ketiga, putusan kondemnatoir (comdemnatoir) adalah putusan yang memuat amar yang menghukum  salah satu pihak berperkara. Putusan yang bersifat kondemnatoir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari amar deklaratif atau konstitutif. Contoh  amar  putusan kondemnatoir misalnya kalau pokok perkaranya  wanprestasi : “Menghukum TERGUGAT untuk membayar seluruh hutangnya kepada PENGGUGAT, yaitu berupa pokok pinjaman, bunga, dan denda, berdasarkan Surat Perjanjian Kredit Nomor : 072/3319/5/PB/X/2017 tanggal 30 Oktober 2017, sebesar Rp 620.887.500,-, yang terdiri dari : Pokok Pinjaman Rp.    500.000.000,-; Tunggakan Bunga Rp.  112.750.000,- ; Denda Rp. 8.137.500” sedangkan kalau pokok perkaranya misalnya perbuatan melawan hukum, maka contoh amar putusan komdemnatoirnya :’Menghukum Tergugat untuk mengembalikan harta warisan Penggugat   dalam keadaan kosong dan baik, tanpa beban apapun”.
            Menurut M. Yahya Harahap, SH (2005 : 877), amar putusan komdentaoir merupakan satu kesatuan dengan amar deklaratif sehingga amar deklaratoir merupakan condition sine qua non atau syarat mutlak untuk menjatuhkan putusan komdemnatoir dan penempatan amar deklatoir dalam putusan yang bersangkutan, mesti ditempatkan mendahului amar kondemnatoir atau dengan perkataan lain amar putusan komdemnatoir merupakan asesoir dari amar putusan deklaratoir.
            Kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini, bagaimana misalnya dalam sebuah putusan  perkara perdata dengan pokok perkara perbuatan melawan hukum, membuat putusan kondemnatoir seperti :” ’Menghukum Tergugat untuk mengembalikan harta warisan Penggugat   dalam keadaan kosong dan baik, tanpa beban apapun”, tanpa membuat atau didahului dengan amar putusan deklaratoir, seperti :”Menyatakan demi hukum perbuatan Tergugat merupakan perbuatan melawan hukum kepada Penggugat”. Mengingat amar deklaratoir merupakan condition sine qua non atau syarat mutlak untuk menjatuhkan putusan komdemnatoir atau amar putusan komdemnatoir merupakan asesoir terhadap amar putusan deklatoir, maka amar putusan seperti hal tersebut mengandung cacad hukum.
(*Penulis adalah Praktisi Hukum dan Trainer

Senin, 16 Desember 2019

Perihal Eksekusi Hak Tanggungan

Catatan Eksekusi Jaminan :
Perihal Eksekusi Hak Tanggungan


Oleh : Kardi Pakpahan*
                Bagian dari persyaratan persetujuan fasilitas kredit adalah collateral atau jaminan, diantara persyaratan kredit lainnya, seperti capacity, capital, condition of economic, dan character.  Salah satu bentuk pengikatan jaminan kredit yang banyak diterapkan pada penyaluran kredit oleh Penyelenggara Jasa Keuangan, selaku Kreditur, baik perbankan maupun non perbankan, adalah Hak Tanggungan.
                Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, menurut pasal 1 angka 1 UU No.4 Tahun 1996, yang juga disebut UUHT, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
            Dilipilihnya Hak Tanggungan sebagai bentuk jaminan kredit, karena kekhususan dalam menguasai obyek jaminan oleh Kreditur dan 3 alternatif eksekusi hak tanggungan. Tiga alternatif eksekusi hak tanggungan yang dimaksudkan, pertama,   eksekusi parat atau eksekusi langsung atau parate eksekusi (pasal 20 ayat 1a UUHT  jis Pasal 6 dan pasal 11 ayat 2e UUHT. Pada pasal 20 ayat 1a UUHT disebutkan :”Apabila Debitor cidera janji, maka berdasarkan : hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek HakTanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT”. Sedangkan pada pasal 6 UUHT dinyatakan :”Apabila debitor cidera janji, pemegang HakTanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”. Sementara itu, pada pasal 11 ayat 2e UUHT :” Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain : janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji”. Dengan demikian, pelaksanaan eksekusi langsung hak tanggungan pada bagian ini tidaklah melalui fiat eksekusi ketua Pengadilan Negeri yang berwewenang, tetapi langsung lelang umum melalui KPKNL atau Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang, sesuai  Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan PMK No.90/PMK.06/2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Lelang dengan Penawaran secara Tertulis tanpa Kehadiran Peserta Lelang melalui Internet.
            Pada pasal 5 PMK No.27/PMK.06/2016 dinyatakan bahwa jenis lelang terdiri dari : a) lelang eksekusi; b) lelang non eksekusi wajib; c) lelang noneksekusi sukarela. Sedangkan menurut pasal 6e PMK No.27/PMK.06/2016  lelang eksekusi terdiri : lelang eksekusi pasal 6 UUHT.
            Kedua, eksekusi melalui titel eksekutorial atau eksekusi melalui pertolongan hakim/fiat eksekusi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat 1b UUHT jo pasal 14 ayat 2 dan pasal 14 ayat (3) UUHT. Pada pasal 20 ayat 1b UUHT disebutkan :”Apabila Debitor cidera janji, maka berdasarkan : titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului dari pada kreditor-kreditor lainnya”.
            Dasar hukum titel eksekutorial diatur  pada pasal 14 ayat 2 UUHT, yang menyebutkan :” Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". Menurut pasal 14 ayat 3 UUHT, sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah”. Adapun hukum acara yang terkait dengan eksekusi pada bagian ini saat ini masih menggunakan ketentuan pasal 224 Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herzeiene Indonesisch Reglement/HIR, S.1941 : 44) dan Pasal 258 Reglement Acara Hukum untuk daerah Luar Jawa dan Madura, S.1927 : 227). Adapun tahapan sita eksekutorial hak tanggungan pada bagian ini, Ketua Pengadilan terlebih dahulu melakukan penetapan anmaning dan penyitaan (Vide : pasal 196 sd 200 HIR), dan kemudian Ketua Pengadilan membuat penetapan lelang dan selanjutnya mengajukan permohonan lelang kepada KPKLN.
Sedangkan proses pelelangan obyek hak tanggungan pada eksekusi dengan title eksekutorial ini juga  dilakukan melalui KPKNL (Vide : pasal 6b  PMK No.27/PMK.06/2016).
Ketiga, eksekusi atas kesepakatan Kreditur dan Debitur ( Pasal 20 ayat 2 UUHT dan Pasal 20 ayat 3 UUHT). Pada pasal 20 ayat 2 UUHT dinyatakan :”Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak”. Pelaksanaan penjualan obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada pasal 20 ayat 2 UUHT, menurut pasal 20 ayat 3 UUHT hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.
Dari ketiga jenis eksekusi hak tanggungan yang diatur pada pasal 20 UUHT, yang membutuhkan bantuan ketua pengadilan negeri adalah eksekusi hak tanggungan dengan title eksekutorial, sedangkan eksekusi langsung atau parat dan eksekusi kesepakatan tidaklah membutuhkan fiat ketua pengadilan.   
(*Penulis adalah Advokat & Trainer, Telp/WA : 0813-2895-0019)