Kamis, 25 Juni 2020

Kaitan Amar Putusan Deklaratoir dengan Amar Komdemnatoir dalam Perkara Perdata

Catatan Hukum :
Kaitan Amar Putusan Deklaratoir dengan Amar Komdemnatoir dalam Perkara Perdata
Oleh : Kardi Pakpahan*
            Bagaimana sekiranya bila amar putusan kondemnatoir  pada perkara perdata dengan pokok perkara perbuatan melawan hukum, yang diputuskan tanpa memutus pokok perkara perdata, yang bersifat deklatoir  ? Untuk melihat bagaimana hubungan diantara amar putusan Deklatoir dengan   putusan kondemnatoir pada uraian berikut dikedepankan pengertian  3 sifat amar putusan perkara perdata. Pertama, putusan deklaratoir (declaratoir vonnis). Sifat putusan ini merupakan penjelasan atau penetapan tentang suatu hak maupun status, yang berisi tentang pernyataan atau penegasan tentang suatu keadaan atau kedudukan hukum semata-mata.  Misalnya, menurut M. Yahya Harahap, SH (2005 : 876),  tentang gugatan dengan pokok perkara perbuatan melawan hukum, berdasarkan pasal 1365 KUHPer, jika gugatan dikabulkan maka  putusan didahului dengan amar deklaratoir berupa pernyataan :”bahwa tergugat telah bersalah melakukan perbuatan melawan hukum” atau “Menyatakan demi hukum perbuatan Tergugat merupakan perbuatan melawan hukum kepada Penggugat”. Sedangkan bila pokok gugatan misalnya tentang wanprestasi maka amar deklatoirnya :”Menyatakan demi hukum perbuatan Tergugat wanprestasi kepada Penggugat”.
            Kedua, putusan konstitutif ( constitutief vonnis) adalah putusan yang memastikan suatu keadaan hukum, baik bersifat meniadakan suatu keadaan hukum maupun menimbulkan keadaan hukum baru. Misalnya amar putusan konstitutif perkara perceraian :”Menyatakan perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya”. Putusan perceraian ini  meniadakan keadaan hukum, yakni tidak ada lagi ikatan hukum antara suami dan istri sehingga putusan itu meniadakan hubungan perkawinan yang ada, bersamaan dengan itu mengemua keadaan hukum baru kepada suami istri sebagai Duda dan Janda.
            Ketiga, putusan kondemnatoir (comdemnatoir) adalah putusan yang memuat amar yang menghukum  salah satu pihak berperkara. Putusan yang bersifat kondemnatoir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari amar deklaratif atau konstitutif. Contoh  amar  putusan kondemnatoir misalnya kalau pokok perkaranya  wanprestasi : “Menghukum TERGUGAT untuk membayar seluruh hutangnya kepada PENGGUGAT, yaitu berupa pokok pinjaman, bunga, dan denda, berdasarkan Surat Perjanjian Kredit Nomor : 072/3319/5/PB/X/2017 tanggal 30 Oktober 2017, sebesar Rp 620.887.500,-, yang terdiri dari : Pokok Pinjaman Rp.    500.000.000,-; Tunggakan Bunga Rp.  112.750.000,- ; Denda Rp. 8.137.500” sedangkan kalau pokok perkaranya misalnya perbuatan melawan hukum, maka contoh amar putusan komdemnatoirnya :’Menghukum Tergugat untuk mengembalikan harta warisan Penggugat   dalam keadaan kosong dan baik, tanpa beban apapun”.
            Menurut M. Yahya Harahap, SH (2005 : 877), amar putusan komdentaoir merupakan satu kesatuan dengan amar deklaratif sehingga amar deklaratoir merupakan condition sine qua non atau syarat mutlak untuk menjatuhkan putusan komdemnatoir dan penempatan amar deklatoir dalam putusan yang bersangkutan, mesti ditempatkan mendahului amar kondemnatoir atau dengan perkataan lain amar putusan komdemnatoir merupakan asesoir dari amar putusan deklaratoir.
            Kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini, bagaimana misalnya dalam sebuah putusan  perkara perdata dengan pokok perkara perbuatan melawan hukum, membuat putusan kondemnatoir seperti :” ’Menghukum Tergugat untuk mengembalikan harta warisan Penggugat   dalam keadaan kosong dan baik, tanpa beban apapun”, tanpa membuat atau didahului dengan amar putusan deklaratoir, seperti :”Menyatakan demi hukum perbuatan Tergugat merupakan perbuatan melawan hukum kepada Penggugat”. Mengingat amar deklaratoir merupakan condition sine qua non atau syarat mutlak untuk menjatuhkan putusan komdemnatoir atau amar putusan komdemnatoir merupakan asesoir terhadap amar putusan deklatoir, maka amar putusan seperti hal tersebut mengandung cacad hukum.
(*Penulis adalah Praktisi Hukum dan Trainer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar