Senin, 25 Juni 2012

BPR : Implikasi Penerapan Kebijakan Perkreditan


BPR : Implikasi Penerapan Kebijakan Perkreditan







Oleh : Kardi Jfi*

            Dari waktu ke waktu pertumbuhan dan perkembangan BPR masih cenderung bertumbuh diantara industri finansial lainnya. Sampai Maret 2012  total asset BPR nasional sudah berada pada posisi Rp 57 Triliun, dengan kredit yang disalurkan sebesar Rp 44 Triliun. Data tersebut menunjukkan, bahwa volume usaha BPR sudah kian terasa pada industri finansial nasional, serta semakin menunjukkan peranannya dalam kegiatan pembangunan.
            Dari perkembangan volume usaha BPR dan angka penyaluran kredit tersebut, maka penting juga menata lingkungan usaha BPR , supaya setiap resiko yang mungkin terjadi, seperti pengaruh resiko kredit dapat diantisipasi secara baik. Penataan yang dimaksudkan, disamping dapat meningkatkan kinerja, daya saing BPR, juga diharapkan dapat meningkatkan going concern atau kesinambungan usaha BPR.
            Salah satu bagian penting yang perlu diterapkan pada industri BPR , sebagai bagian dikeluarkannya PBI No.13/26/PBI/2011, adalah tentang Kebijakan Perkreditan BPR. Pada pasal 2A ayat 1 PBI tersebut dikatakan :”Dalam rangka penyediaan dana dalam bentuk kredit, BPR wajib memiliki Pedoman Kebijakan secara Tertulis”.  Landasan hukum lainnya tentang keberadaan kebijakan perkreditan bagi BPR diatur pada pasal 15 jo pasal 8 ayat 2 UU No.10/1998. Disana dikatakan :”BPR wajib memiliki dan menerapkan Pedoman Perkreditan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia”.
            Adapun latar belakang perlunya kebijakan perkreditan adalah 1) bahwa kepentingan dan kepercayaan masyarakat wajib dilindungi dan dipelihara, karena BPR melakukan kegiatan usaha dengan menggunakan dana masyarakat; 2) pemberian kredit merupakan kegiatan utama BPR; 3) supaya pemberian kredit dilaksanakan berdasarkan azas-azas perkreditan yang sehat.
            Sedangkan sasaran Kebijakan Perkreditan BPR paling tidak diarahkan pada dua hal utama. Pertama, mengoptimalkan pendapatan dan mengendalikan resiko BPR dengan cara menerapkan asas-asas perkreditan yang sehat. Kedua, BPR terhindar dari kemungkinan penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
            Ruang lingkup atau komponen kebijakan perkreditan terdiri dari 6 bagian, yaitu 1) Penerapan prinsip kehatia-hatian dalam perkreditan; 2) organisasi dan manajemen perkreditan; 3) Kebijaksanaan persetujuan kredit, 4) Dokumentasi dan Administrasi kredit; 5) Pengawasan Kredit; 6) Penyelesaian Kredit Bermasalah.
            Penerapakan kebijakan perkreditan tentu dapat menimbulkan beberapa implikasi penting bagi BPR, sebagian diantaranya dikedepankan pada uraian berikut. Pertama, penyempurnaan sistem dan prosedur kredit. Standar atau pedomanan yang sama bagi BPR akan terbentuk dengan diaturnya kebijakan perkreditan. Pengaturan tersebut dipastikan memiliki implikasi pada penyempurnaan sistem dan prosedur kredit.
            Kedua, SDM perkreditan.  Supaya kebijakan perkreditan efektif dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan industri BPR, maka sudah sebaiknya secara berkesinambungan dilakukan pengembangan SDM perkreditan, yang karenanya dapat meningkatkan profesionalisme dan integritas SDM BPR. Adapun profil SDM perkreditan yang terbentuk  dari pengembangan itu adalah karakteris SDM yang jujur, memiliki motivasi yang tinggi, obyektif, kompeten,  cermat, baik yang berada di jajaran pemasaran maupun operasional BPR.
            Ketiga, struktur organisasi. Struktur organisasi BPR merupakan bagian penting dari bentuk organisasi BPR mencapai tujuan di bidang perkreditan. Oleh karenanya, perlu diakomodasikan perubahan yang perlu dilakukan pada struktur yang ada kaitannya pada penerapan kebijakan perkreditan, baik  yang berkaitan dengan sisi Dewan Komisaris, Dewan Direksi, maupun pada sisi pejabat-pejabat perkreditan BPR, yang disinkronisasikan dengan kultur organisasi BPR, seperti pada integrasi pelayanan dan aspek lainnya.   


(*Penulis adalah Training Leader pada JFI )







Tidak ada komentar:

Posting Komentar