Senin, 23 September 2019

UU LPS 15 Tahun : Efektivitas Penerapan dan Urgensi Perubahan


Rubrik  Opini :
UU LPS 15 Tahun : Efektivitas Penerapan 
dan Urgensi Perubahan


Oleh : Kardi Pakpahan*
            Lembaga Penjaminan Simpanan atau LPS didirikan dengan diundangkannya UU No.24/2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan, yang disebut juga Undang-undang  LPS atau UU LPS,  pada 22 September 2004.  LPS hadir untuk menjamin simpanan nasabah penyimpan dan mendukung stabilitas sistem perbankan.   Sistem penjaminan simpanan nasabah melalui LPS dapat dikatakan menggantikan sistem penjaminan yang berlaku sebelumnya. Sebagaimana yang telah diketahui sistem penjaminan simpanan nasabah sebelumnya diatur melalui  Kepres No.26/1998 tentang jaminan terhadap kewajiban pembayaran Bank Umum dan Kepres No.193/1998 tentang  jaminan terhadap kewajiban pembayaran Bank Perkreditan Rakyat, yang mengedepankan pemberian jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank termasuk simpanan masyarakat, yang dikenal dengan istilah blanket gurantee.
            Melalui UU No.7/2009 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.66/2008, nilai simpanan yang dijamin LPS untuk setiap nasabah pada satu bank yang berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UU LPS ditetapkan paling banyak Rp 100.000.000,- diubah menjadi paling banyak Rp 2.000.000.000,- . Hal ini bisa terjadi karena UU LPS menganut sistem penjaminan simpanan  yang terbatas.
            Disamping merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan nasabah pada perbankan, berdasarkan pasal 5 UU LPS tugas lain dari LPS adalah a) merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan; b) merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik; dan c) melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.
            Pada tanggal 22 September 2019 penerapan UU LPS telah genap 15 tahun. Apakah kira-kira yang menjadi catatan yang perlu dikedepankan pada penerapan UU LPS selama ini dan masa yang akan datang ? Kalau dicermati penerapan UU LPS selama ini, catatan yang perlu dikedepankan pada dua sisi utama, yaitu perlu penerapan secara efektif dan untuk mengantisipasi perkembangan lingkungan usaha perbankan/jasa keuangan perlu dilakukan perubahan. Sebagian dari catatan itu akan dikedepankan pada uraian berikut.
            Pertama,  kantor LPS. Jaringan usaha LPS sebetulnya adalah seluruh wilayah Indonesia, Namun hingga  saat ini kantor LPS cuma  di Jakarta, di kawasan elit Sudirman Central Business District (SCBD), Jakarta Selatan, dengan cara sewa. Mungkin kalau digunakan dana sewa kantor LPS secara optimal selama ini di kawasan SDBD Jakarta, maka LPS sebetulnya terbuka peluangnya berkantor atau memiliki  kantor di beberapa kota besar untuk menjalankan seluruh fungsi, tugas dan wewenangnya secara efektif. Akibat kantor LPS yang cuma ada di Jakarta misalnya, dapat dikatakan adalah berpengaruh pada efektivitas penyelenggaraan klaim simpanan nasabah pada Bank yang telah dicabut izin usahanya, pengawasan pelaksanaan likuidasi bank, pelaksanaan  rekonsiliasi, verifikasi dan/atau konfirmasi yang terkait dengan pelaksanaan penjaminan simpanan.  Contohnya,  seorang nasabah yang telah menabung bertahun-tahun di suatu bank yang telah ditutup atau dicabut izin usahannya dengan saldo Rp 80 juta yang relatif jauh dari Jakarta, setelah mengajukan klaim tetapi ditolak LPS, dan tahap berikutnya hal yang dilakukan menempuh upaya hukum, yaitu mengajukan gugatan ke LPS melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (vide : pasal 20 ayat 1 huruf b UU LPS), selaku tempat kedudukan hukum LPS (actor sequitur forum rei). Kalaupun nasabah tersebut memenangkan gugatannya, bisa menjadi tidak dapat apa-apa karena tingginya biaya yang dikeluarkan melakukan upaya hukum.
            Berdasarkan pasal 3 ayat 2 UU LPS sebetulnya LPS dapat mempunyai kantor perwakilan di wilayah Negara Republik Indonesia. Mengingat hal tersebut, model baru kantor LPS di wilayah lain di Nusantara, dapat dikembangkan, baik secara permanen atau sementara. Kantor LPS sementara, antara 1 sampai 2 tahun  dapat diselenggarakan di luar Jakarta dalam rangka pengawasan likuidasi bank (vide : pasal 49 UU LPS), atau pelaksanaan klaim simpanan nasabah, khususnya melalui upaya hukum, manakala ada Bank yang ditutup yang  jauh dari kantor  pusat LPS.
Kedua, kedudukan kreditur. Kreditur  merupakan setiap pihak yang memiliki tagihan kepada Bank dalam Likuidasi.  Setiap pembayaran yang dilakukan Tim Likuidasi kepada para Kreditur pada sebuah Bank dalam Likuidasi, berdasarkan pasal 2 ayat 3 UU LPS harus akuntabel, yaitu dapat dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedudukan dan susunan kreditur pada Bank dalam Likuidasi diatur pada pasal 54 ayat 1 UU LPS. Disana dikatakan :”Pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan dilakukan dengan urutan sebagai berikut : a) penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang terutang; b) penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai; c) biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terutang, dan biaya operasional kantor; d) biaya penyelamatan yang dikeluarkan oleh LPS dan/atau pembayaran atas klaim Penjaminan yang harus dibayarkan oleh LPS; e) pajak yang terutang; f) bagian Simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dibayarkan penjaminannya dan Simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dijamin; dan g) hak dari kreditur lainnya”. Kalau dicermati susunan kreditur pada Bank dalam Likuidasi, maka Kreditur a sampai dengan f merupakan kreditur yang diistimewakan, berdasarkan skala prioritas dari Kreditur a sampai f, sedangkan kreditur lainnya berada pada kelompok huruf  g. Sehingga kalau ada kreditur yang memegang jaminan gadai atau hak tanggugan/hipotik pada Bank dalam likuidasi, dapat dikatakan berada pada kelompok Kreditur lainnya, dengan tetap memegang hak preferen diantara kreditur lainnya yang mungkin ada.
            Di dalam kondisi tertentu  terbuka kreditur yang diistimewakan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari kreditur pemegang jaminan gadai atau hipotik/hak tanggungan. Ketentuan yang terkait dengan hal tersebut diatur  pada pasal 1134 KUHPerdata. Disana dikatakan :”Hak istimewa adalah hak yang diberikan oleh Undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-semata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotik lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal Undang-undang dengan menentukan kebalikannya”.
            Dalam pada itu, berbeda dengan pasal 55 UU No.37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sesuai dengan pasal 54 ayat 1 UU LPS pada Bank dalam Likuidasi, tidak dikenal dengan kedudukan kreditur  separatis. Dengan demikian, supaya akuntabel, pembayaran yang dilakukan kepada Kreditur pada Bank dalam likuidasi dilaksanakan sesuai dengan urutan kreditur pada pasal 54 ayat 1 UU LPS.
            Ketiga,  masalah pesangon pegawai yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Pembayaran pesangon pegawai pada Bank dalam Likuidasi, sebagaimana yang ditentukan pada pasal 54 ayat 1 huruf  b UU LPS,  berupa penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai. Dalam penerapannya, ada pihak yang mereduksi hak-hak pegawai sebagai konsekuensi PHK pada Bank dalam Likuidasi adalah pesangon saja.  Jika dikaitkan dengan alasan PHK dikarenakan perusahaan tutup atau karena bank ditutup, menurut pasal 164 ayat 1 UU No.13/2003 hak-hak pegawai  yang mengalami PHK adalah uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”. Ketentuan pasal 164 ayat 1 UU No.13/2003 juga seirama dengan imbalan kerja Pesangon yang ditentukan pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 24 (PSAK 24) yang substansinya terdiri dari 3 bagian yaitu pesangon, penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
            Hak-hak pegawai sebagai konsekuensi dari PHK pada Bank dalam Likuidasi, yang terdiri dari pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak juga telah dikuatkan  melalui putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan pada putusan Perkara Nomor : 250/Pdt.Sus-PHI/2017/PN Medan tertanggal 21 Maret 2018. Berangkat dari hal tersebut, maka istilah pesangon pada ketentuan pasal 54 ayat 1 huruf b UU LPS, sudah sepantasnya berisi 3 komponen hak-hak pegawai yang mengalami PHK pada Bank dalam Likuidasi, yaitu pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak.
            Keempat, dewan pengawas. Organ LPS menurut  pasal 62 UU LPS terdiri atas Dewan Komisioner dan Kepala Eksekutif. Dewan Komisioner adalah pimpinan LPS (Vide : pasal 63 ayat 1 UU LPS). Dalam pada itu, menurut pasal  70 ayat 1 UU LPS, Dewan Komisioner berwenang mewakili LPS di dalam dan di luar pengadilan. Mengingat tugas LPS akan bertambah dengan diberlakuknya UU No.6/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan dan kecenderungan bertambahnya volume usaha LPS sekitar 1 sampai 2 kali dari dari yang ada saat ini sebagai konsekuesni pengumpulan dana premi Restrukturisasi Perbankan untuk Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, maka organ LPS dari yang ada saat perlu ditambah Dewan Pengawas LPS dengan melakukan perubahan terhadap UU LPS.
            Kelima, substansi tata kelola LPS. Asas tata kelola LPS menurut pasal 2 ayat 3 UU LPS terdiri dari 3, yaitu independen, transparan, dan akuntabel.  Searah dengan pengembangan LPS, asas tata kelola LPS tersebut perlu dilengkap dengan asas kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas tata kelola pertanggungjawaban (responsibility) yang merupakan kesesuaian pengelolaan LPS dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip pengelolaan LPS yang sehat. Penambahan asas tata kelola ini dapat dimasukkan dalam program perubahan UU LPS, khususnya pasal 2 ayat 3. Semoga
(*Penulis adalah Alumnus FHUI, Advokat  &  Pengamat Perbankan, Telp/WA : 0813-2895-0019; IG : kardi_pakpahan)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar