Selasa, 15 Oktober 2013

Catatan Training Leader JFI :"Keterkaitan Produk Asuransi dengan BPR"

Keterkaitan Produk Asuransi dengan BPR
Oleh : Kardi JFI*

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) merupakan salah satu bisnis institusi keuangan yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang signifikan, khususnya dalam enam tahun terakhir. Mengingat hal tersebut, maka diperlukan berbagai upaya supaya bisnis BPR dapat bertumbuh dan berkembang secara lebih baik lagi. Salah satu upaya lain yang dapat ditempuh untuk mengwujudkan hal tersebut adalah semakin meningkatkan keterkaitan (linkage) bisnis BPR dengan bisnis lembaga-lembaga keuangan lainnya, seperti asuransi misalnya.  Karena tak dapat dipungkiri keterkaitan bisnis Asuransi dan BPR masih belum maksimal dilakukan selama ini.
            Bila dicermati keterkaitan antara Bank Umum dan Asuransi dapat dikatakan sudah berlangsung dalam waktu yang lama. Sebagian besar penyaluran dana premi dari nasabah asuransi, baik dari asuransi jiwa maupun dari asuransi umum atau kerugian,  ditempatkan pada instrumen Deposito pada Bank Umum. Keterkaitan produk bank umum dengan asuransi selama ini di sini dikenal dengan istilah bancassurance.
            Apa saja keterkaitan bisnis yang dapat dilakukan perusahaan asuransi dengan BPR, khususnya dalam membentuk rantai nilai (value chain) yang saling menguntungkan.  Pertumbuhan kredit yang disalurkan BPR dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami pertumbuhan. Untuk untuk pertumbuhan portofolio kredit yang relative besar  itu, tentu diperlukan juga prospek bisnis asuransi, baik dalam produk asuransi jiwa kredit maupun asuransi jaminan kredit. Sudah sebaiknya potensi yang baik tersebut dapat digarap oleh industri asuransi.
            Produk asuransi, seperti asuransi jiwa kredit maupun asuransi untuk menjamin agunan kredit, memang diperlukan oleh BPR dalam rangka mengelola resiko kredit bagi BPR. Hanya saja selama ini, masih belum begitu tinggi penetrasi promosi produk asuransi kepada BPR.  Mengingat hal tersebut, maka untuk menciptakan keterkaitan usaha yang produktif, sudah sebaiknya perusahaan asuransi dengan baik menangani  implementasi produk asuransi bagi BPR. Disamping itu, seiring dengan perkembangan yang semakin kentara pada BPR, para pekerja BPR tentunya membutuhkan produk asuransi, seperti asuransi jiwa, ansuransi pensiun, asuransi kesehatan, dan lain-lain.


Terganjal KMK        
Dari sisi BPR, apa kira-kira produk yang dapat dipergunakan oleh perusahaan asuransi. Tentu, jawabnya adalah produk yang terkait dengan produk funding, seperti Deposito berjangka.  Hanya saja, hubungan mesra antara perusahaan asuransi dengan BPR saat ini terganjal dengan salah satu Keputusan Menteri Keuangan (KMK), yaitu  KMK No : 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, sebagaimana disempurnakan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 135/PMK.05/2005. Ketentuan tersebut kurang mendukung perusahaan asuransi untuk menempatkan deposito pada BPR, yaitu tidak diperhitungkan dalam penentuan Risk Base Capital (RBC) asuransi, karenanya sampai saat ini, perusahaan asuransi belum leluasa menempatkan dananya pada BPR. Marilah kita simak isi pasal 1 ayat 1 KMK No.424/KMK.06/2003. Disana dikatakan :”Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Perbankan”. Jadi, pengertian bank pada KMK tersebut, tidak termasuk BPR. Dalam KMK yang dimaksudkan, diatur batasan penempatan Deposito perusahaan asuransi yang diikutkan dalam perhitungan RBC adalah penempatan Deposito perusahaan asuransi pada Bank Umum. Berdasarkan pasal 1 ayat 1 KMK No.424/KMK.06/2003,  kalau perusahaan asuransi menempatkan deposito pada BPR tidak diiuktsertakan dalam perhitungan RBC (sejenis CAR diperbankan).
            Untuk mendukung keterkaitan sistem finansial, maka menteri keuangan ada baiknya menyempurnakan ketentuan pembatasan bagi perusahaan asuransi untuk menempatkan dananya di BPR. Tentu, ada beberapa alasan yang berkenaan dengan hal tersebut. Pertama, ditengah-tengah telah berlakunya ketentuan Lembaga Penjaminan Simpanan  (LPS) di perbankan sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 24/2004, maka ketentuan KMK No.424/KMK.06/2003  membatasi perusahaan asuransi melakukan penempatan dalam bentuk deposito di BPR sebaiknya segera diperbaharui. Saat ini, dana simpanan di Bank Umum dan BPR sudah sama-sama dijamin.
Kedua, kecenderungan semakin baiknya pengawasan BPR oleh Bank Indonesia, khususnya melalui Direktorat pengawasan BPR. Disamping terus meningkatkan penagawasan BPR, saat ini Bank Indonesia, juga aktif mendukung pengaturan untuk semakin efektifnya penagawasan BPR, seperti melalui PBI (Peraturan Bank Indonesia) Nomor : 7/51/PBI/2005 jo Surat Edaran Direktorat Pengawasan BPR Bank Indonesia Nomor : 8/7/DPBPR/2006 tentang Laporan Bulanan BPR, sudah disampaikan secara elektronis kepada Bank Indonesia. Dalam pada itu, untuk mendukung transparansi keuangan BPR, semenjak 5 Oktober 2006 yang lalu Bank Indonesia, telah mengundangkan PBI No 8/20/PBI/2006 tentang Transparansi Kondisi Keuangan BPR.  Dalam pada itu, system akuntansi pada BPR sudah menerapkan pedomanan akutansi yang baru melalui penerapan SAK ETAP dan PA BPR.
Pada masa lalu, memang ada BPR yang sulit melakukan pencairan Deposito para nasabahnya, tetapi untuk saat ini, hal seperti itu sudah tipis kemungkinan terjadinya, apalagi dengan berlakunya lembaga pejaminan simpanan (LPS), PBI No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah, PBI No.7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
Diperkirakan ketika pengawasan BPR beralih ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maka pengawasan pada usaha BPRberpotensi  cenderung semakin baik.
Ketiga, suku bunga. Suku bunga deposito di BPR, masih cenderung lebih baik bila dibandingkan dengan bank umum. Dengan demikian, return investasi deposito di BPR masih cenderung lebih menarik.
Keempat, untuk mendukung terciptanya kesetimbangan volume usaha diantara industri finansial, maka perlu diberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi untuk dapat menempatkan deposito di BPR. Fakta emperik menyatakan, ketika sebagian besar bank umum bermasalah di penghujung tahun 1997 sampai tahun 1998 yang lalu, menimbulkan krisis ekonomi yang relatif lama. Saat itu volume usaha industri finansial berada di tangan bank umum.
Akhirnya,  penempatan dana  perusahaan asuransi akan cenderung lebih besar ke BPR  kalau ketentuan KMK No.424/KMK.06/2003 yang membatasi perusahaan asuransi membatasi penempatan depositonya pada BPR dapat diperbaiki. Untuk hal tersebut, sudah sebaiknya Menteri Keuangan dapat menyempurnakan ketentuan pasal 1 ayat 1 KMK No.424/KMK.06/2003 yang berisi batasan  bagi perusahaan asuransi untuk menempatkan deposito pada BPR. Bila hal tersebut dapat dilakukan, penyebaran portofolio investasi pada industri keuangan akan kian tersebar dengan, sehingga resikonya pun cenderung lebih mudah dikendalikan secara nasional.
            Supaya keterkaitan antara perusahaan asuransi dengan BPR dapat menciptakan rantai nilai yang saling menguntungkan, maka masing-masing para pihak haruslah menyajikan pelayanan prima dan saling menguntungkan. Misalnya, kalau muncul resiko yang diasuransikan BPR, maka diharapkan perusahaan asuransi dengan cepat dapat melayaninya sesuai dengan kontrak polis asuransi. Begitu juga BPR yang mengelola portofolio deposito perusahaan asuransi misalnya, sudah sebaiknya melakukan penghitungan dan pembayaran bunga secara akurat dan tepat waktu.
            Peningkatan keterkaitan perusahaan  asuransi dengan BPR akan besar artinya dalam mendukung peningkatan volume usaha perusahaan asuransi dan BPR. Oleh karena itu, instansi yang terkait dengan pembinaan dan penagawasn asuransi, sudah seharusnya melakukan berbagai kebijakan yang positif dan konstruktif untuk mendukung peningkatan keterkaitan perusahaan asuransi dengan BPR. Semoga.

( *Penulis adalah Training Leader pada JFI  dan Advokat, serta  Alumnus Program Hukum Kegiatan Ekonomi FH-UI,  PIN BB = 27DA4B26, Email = jfipusat@gmail.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar